Kamis, 03 Desember 2009

[ME]MAKNAI KEBEBASAN PERS


”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” (UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers)

Dalam pengertian ini berarti sudah menjadi tanggung jawab pers untuk menyiarkan informasi kepada masyarakat dalam perannya sebagai lembaga komunikasi massa. Jika kita melirik kepada Pers yang ada di Indonesia, maka yang didapat adalah pers bebas bertanggung jawab. Bebas dalam arti bahwa pers di Indonesia dapat mencari, meliput, mengumpulkan, serta menyiarkan berita yang layak dan berhak diketahui oleh khalayak, dan bertanggung jawab berarti tidak ada berita yang melanggar etika dan norma moral yang dianut oleh masyarakat, termasuk di dalamnya tidak menghina SARA.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, berarti Indonesia juga memiliki kemajemukan dalam kultur, adapt istiadat, agama, suku, dan lain sebagainya. Dalam hal ini pers diharapkan mampu mengakomodir kemajemukan itu sendiri. Hal ini sesuai cerminan dari pers nasional sebagai pers pemersatu bangsa.

Setidaknya kita bangga dengan pencapaian pers nasional saat ini. Pasca reformasi, keran kebebasan pers sudah terbuka lebar. Arus informasi terbuka untuk umum. Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi, tidak ada lagi yang disembunyi-sembunyikan, semua berhak diketahui, semua berhak diungkapkan. Sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta kebebasan dalam memperoleh informasi dan mengemukakan pendapat dijamin oleh negara.

Sebuah prestasi yang membanggakan memang, jika dibandingkan dengan kehidupan pers pada masa sebelumnya. Jika kita buka kembali sejarah, maka akan kita temukan masa kelam pers di Indonesia, masa ketika kebebasan pers itu dirampas, masa itu adalah saat Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto berkuasa di Negeri ”rayuan pulau kelapa” ini. Kehidupan pers sangat tergantung mood (perasaan-red) pemerintah. Pemerintah merasa berhak untuk mengetahui segala sesuatunya. Tidak ada berita yang tidak luput dari pantauan pemerintah. Ketika itu ada sebuah departemen yang sengaja dibentuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk ”membungkam” pers, Departemen Penerangan namanya. Melalui Departemen Penerangan (Deppen) pemerintah mengeluarkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dimana setiap lembaga pers harus memilikinya. Untuk ijin, setiap tahunnya harus diperpanjang dengan persetujuan pemerintah dengan melihat track record lembaga penerbitan pers itu sendiri.

Sebelum terbit, semua berita harus diberitahukan dulu kepada Kementerian Penerangan untuk dilihat, mana berita yang layak terbit dan mana berita yang harus ditunda atau sama sekali tidak boleh terbit, atau jika bersikeras untuk menerbitkan berita yang menurut pemerintah terlalu ”vulgar”, maka Surat Ijin Terbit (SIT) akan dicabut. Aturan ini bukanlah aturan baru, ini aturan warisan dari penjajah kolonial Belanda. Dulu dikenal aturan bernama Haatzaai Artikelen yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda.

Atas dasar percepatan pembangunan - alasan pemerintah saat itu - pers yang menguntil ”kamar tidur” pemerintah akan dibreidel bahkan dicabut SIUPP-nya. Misalnya saja pada tanggal 21 Juni 1994 terjadi pembreidelan tiga lembaga pers yaitu Detik, Editor, dan Tempo hanya karena masuk dalam daerah intim pemerintah, bahkan Tempo mendapatkan breidel untuk kedua kalinya dari pemerintah. Bukan hanya tiga media ini yang pernah mendapat ”kado istimewa” atas ketidaksukaan pemerintah orde baru atas berita-beritanya, ada puluhan media yang harus gulung tikar akibat SIT dan SIUPP-nya dicabut, dan kejadian ini bukan hanya tahun itu terjadi, bahkan hampir selama pemerintah orde baru berkuasa banyak media yang harus tutup atau ditutup.

Pun demikian, tidak semua pers pernah mengecap breidel pemerintah. Hanya pers yang berani mengungkapkan fakta dan benar-benar membela kepentingan masyarakatlah yang dapat kisah suram itu. Sedangkan lembaga pers yang berada di bawah ketiak pemerintah hanya memberitakan yang baik-baik saja dan jika memang dirasa perlu mengungkap tabir kebobrokan pemerintah, itu hanya dalam lingkup kecil dan tidak mendalam, terkadang juga dengan polesan-polesan kalimat yang tepat atau bahkan sengaja diganti dengan isu lain agar tidak membuat pemerintah marah.

Semua kepahitan ini harus diterima pers dan jurnalisnya hanya karena mempunyai ideologi membela kepentingan rakyat, dan benar-benar menjalankan fungsi kontrol sosial, disaat pers memang menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999, malah dianggap salah oleh pemerintah. Benar apa yang dikatakan pepatah, ’jika kita hendak berbuat benar maka akan ada saja pihak yang tidak senang’. Demikian pula halnya dengan media.

Tidak saja media di Indonesia yang mendapat ”kado” ini, media Internasional yang masuk lima kategori Pulitzer (sebuah penghargaan bergengsi dalam dunia jurnalistik), The New York Times pernah mendapat gugatan karena menulis tentang Indonesia. Bukan hanya bentuk gugatan dengan denda yang lumayan banyak di pengadilan, bentuk protes dari orang-orang yang tidak senang terhadap suatu pemberitaan bisa berakibat lebih fatal lagi. Tempo, sudah pernah merasakan kantor redaksinya diobrak abrik, pemimpin redaksinya dipukul, medianya juga digugat, hanya karena Tempo menurunkan berita tentang kebakaran pasar Tanah Abang pada tahun 2003 yang membawa-bawa nama Tommy Winata. Sebuah resiko yang sangat berat, meskipun pekerjaan mulia dilakukan. Lantas bagaimana perlindungan negara terhadap pers itu sendiri?, inilah yang harus dikaji ulang dan menjadi ”pekerjaan rumah” bagi pemegang kekuasaan di negara ini, untuk selanjutnya menuangkan dalam bentuk undang-undang guna melindungi pers secara keseluruhan bukan sekedar perlindungan keselamatan dan advokasi hukum namun juga menjamin kesejahteraan hidup insan pers agar kebebasan pers terlaksana seperti yang diharapkan.

Makna Kebebasan Pers

Sebuah negara yang merdeka, maka ia harus memiliki pers yang merdeka pula. Kiranya hal inilah yang perlu kita renungi bersama. Apakah pers dinegara kita memang sudah merdeka atau bebas dari tekanan dari mana pun. Atau jangan-jangan pers di negara kita ini ”makan hati” karena tekanan dari berbagai pihak.

Secara kasat mata, keterbukaan informasi dan lahirnya undang-undang pokok pers nomor 40 tahun 1999 menggantikan undang-undang nomor 21 tahun 1982 adalah sebuah pencapaian yang membanggakan. Reformasi bukan hanya dilihat dari segi berubahnya tata laksana pemerintahan namun juga berubahnya keadaan yang dialami pers itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, pers juga menjadi penentu terciptanya iklim demokrasi pasca 1998 di Indonesia. Saat para mahasiswa dan rakyat turun ke jalan, meneriakkan hati nurani yang sudah terinjak-injak, pers membantu melalui tulisan-tulisan jurnalisnya. Mereka menanamkan di benak rakyat, bahwa perjuangan membela kebenaran harus tetap diperjuangkan. Ketidakadilan harus dimusnahkan dari bumi pertiwi Indonesia, meskipun tidak jarang pers sendiri berbenturan dengan keinginan pemerintah.

Orde Baru memang sudah rubuh, saat ini tinggal masa reformasi yang menanti untuk dititi. Tidak ada lagi akses langsung pemerintah kepada pers. Hubungan trikotomi sudah tertata dengan baik, namun yang menjadi permasalahannya saat ini adalah apakah pers kita memang sudah bebas?.

Sebuah pertanyaan yang harus digali lagi jawabannya. Kembali lagi saya tekankan, secara kasat mata pers kita memang sudah bebas tapi jika kita mau membuka mata dan melihat lebih dalam, masih ada sekat-sekat kepentingan yang menekan pers untuk bebas. Pemerintah tidak lagi membuat aturan yang menekan – dibuktikan dengan dibubarkannya Departemen Penerangan - sekarang sudah ada aturan baru yang tidak keras secara fisik, namun sangat ”kejam” dalam prakteknya. Anggap saja undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang keuangan, undang-undang kekayaan, undang-undang Rahasia Negara, dan lain sebagainya. Setidaknya undang-undang ini menjadi penghalang bagi pers itu sendiri untuk mendapatkan dan menggali isu lebih dalam lagi. Hal ini juga membuktikan bahwa betapa lemahnya undang-undang pers dimata undang-undang lain. Untuk itu dirasa sangat perlu untuk merevisi kembali undang-undang pokok pers tersebut agar tidak terjadi benturan-benturan dengan undang-undang atau aturan lainnya yang dibuat pemerintah sehingga berdampak pada tidak leluasanya kerja jurnalistik itu sendiri.

Bentuk pengekangan bukan hanya berasal dari pemerintah. Pasca reformasi persaingan media sangat tinggi. Misalnya saja perusahaan televisi terus bersaing untuk menghadirkan berbagai acara - terkadang keluar dari batas kewajaran suatu tayangan - demi sebuah rating. Media-media cetak saling bersaing mengeluarkan berita-berita ”panas” hanya untuk mendongkrak oplahnya. Sebuah pemandangan yang miris kita saksikan. Media yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan malah menjadi media ”pembodohan”. Tidak usah terlalu jauh kita membahas ini, karena media itu kan butuh makan. Toh sudah ada kode etik yang mengatur mereka, jika tidak senang laporkan saja ke Dewan Pers atau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), tapi seberapa besar wewenang Dewan Pers dan KPI, patut dipertanyakan.

Selain persaingan media yang tinggi, kehidupan pers juga dikekang oleh pemilik media itu sendiri. Hanya segelintir orang yang tahu, pemilik media atau pemegang saham di salah satu media juga merupakan pemilik perusahaan lain. Sang penguasa media selalu mengontrol dapur redaksi, jika ada berita-berita yang akan mengganggu sahamnya di perusahaan lain, maka ia akan melarang berita itu terbit. Praktek ini sebenarnya sudah lama terjadi di dapur media. Ada permainan dan dominasi dari pemilik media untuk dalam menentukan isu mana yang layak diangkat dan tidak layak untuk diangkat, mau tidak mau atau suka tidak suka para jurnalis harus menurutinya walau bathin mereka menjerit karena harus menutupi informasi yang seharusnya diketahui publik.

Apa yang terjadi saat ini bolehlah ini kita sebut sebagai pengekangan bentuk baru, meskipun prakteknya sudah lama dilakukan. Perbedaannya adalah jika dulu media dikontrol secara penuh oleh pemerintah, sedangkan saat ini media dikekang oleh kekuasaan pemilik media, alasan yang dapat diterima logika adalah baik orde baru maupun pemilik media sama-sama mengekang jurnalis dan kamar redaksi untuk kelanggengan kekuasaan dan kebebasan ekonomi individu.

Ketika suatu waktu jurnalis ingin menulis mengenai skandal sebuah perusahaan logam, maka itu tidak akan terlaksana karena salah satu pemilik saham di perusahaan logam itu adalah pemilik media tempat jurnalis tersebut bekerja. Selama ini kita hanya mempermasalahkan mengenai etika wartawan. Kita selalu menilai berita-berita yang dimunculkan wartawan saat ini tidak berbobot, namun kita tidak pernah mau tahu mengapa mereka melakukan itu dan atas perintah siapa. Pilihannya hanya dua, ikuti kemauan pemilik media atau hengkang dari media tersebut. Jurnallis juga manusia, mereka butuh makan, ada keluarga yang harus ditanggung kebutuhannya.

Bisnis media sudah lama menggaung di semua industri media. Saling sikut antar pemilik media sudah menjadi hal yang lumrah. Mungkin nurani jurnalis sendiri menjerit atas pengekangan ini. Semacam perang dingin, para pemilik media terus mencari-cari kesalahan dan kelemahan media lainnya. Misalnya saja, ketika media pemilik media A yang juga sebagai pemilik kebun karet yang bermasalah maka ”bak pahlawan kesiangan” media B memberitakannya dengan alasan menjalankan fungsi kontrol sosial, demikian pula sebaliknya saat pemilik media B yang juga sebagai pemilik perusahaan emas yang tersngkut masalah maka media A membeberkan kasusnya secara blak-blakan dan ini dilakukan terus-menerus. Lantas apakah pers kita sudah bebas?, apakah industri media sudah efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana sosial yang menjalankan fungsi kontrol sosial di masyarakat?. Perlu dicari solusi bersama, termasuk jika perlu merevisi kembali undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

Harus ada tata aturan yang jelas yang mengatur tentang kepemilikan media berikut hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemilik media. Tawaran ini semata-mata untuk menciptakan iklim sehat industri media dan menjadikan pers nasional yang benar-benar bebas di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Museum Aceh dan Komunikasi Budaya


Oleh: Yuhdi Fahrimal*

Berbicara mengenai museum, berarti kita sudah memasuki koridor sebuah perjalanan sejarah. Kita ketahui atau mungkin beberapa belum mengetahui isi dari sebuah museum. Disini saya menuliskan pandangan saya pribadi terhadap apa yang terdapat di dalam sebuah museum. Biasanya di dalam museum disimpan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu atau penemuan-penemuan yang berkaitan dengan sejarah.

Di Indonesia saja sangat banyak museum yang menyimpan bukti-bukti sejarah bangsa Indonesia. Semua tertata rapi agar generasi masa depan dapat melihat dan mengenal atau bahkan mengenang peristiwa sejarah yang dialami oleh negara dan bangsanya. Di Aceh terdapat sebuah museum yang menyimpan benda-benda peninggalan sejarah Aceh. Meskipun tidak semua benda-benda peninggalan sejarah Aceh tidak semua terdapat disini, karena banyak benda-benda peninggalan sejarah Aceh yang dibawa oleh bangsa Belanda ketika mereka “eksodus” ke negaranya, dan menyimpannya di museum yang ada di negaranya.


Demikian juga halnya dengan Museum Aceh. Bangunan yang terletak di pusat kota Banda Aceh, berdekatan dengan Meuligo Gubernur Aceh, di pinggir Krueng Daroy ini menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah kerajaan dan perang di Aceh. Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Kaisar Cina. Meriam-meriam yang digunakan selama perang berkecamuk. Rumoh Aceh lengakap dengan peralatan adat Aceh di dalamnya. Foto-foto raja dan pahlawan asal Aceh. Senjata-senjata tradisional Aceh, dan lain sebagainya.


Semua alat ini bukanlah dengan sengaja hadir di museum ini. Ada sebuah garis sejarah yang harus dirunut agar kita tahu bagaimana benda-benda bersejarah ini bisa ada. Ada sebuah alur sejarah yang harus dipelajari agar kita tahu bagaimana bentuk kebudayaan Aceh dulu.


Aceh merupakan daerah yang memiliki kearifan lokal. Tidak hanya itu kebudayaan yang ada di Aceh juga berbeda dengan daerha lainnya di Indonesia. Watak yang dimiliki masyarakatnya jauh berbeda dengan masyarakat daerah lainnya. Semangat juang yang dimiliki oleh rakyatnya sangat berbeda dengan rakyat daerah lainnya. Keberanian dan ketangguhan rakyat Aceh dalam berperang khususnya untuk mempertahankan kedaulatan bangsanya tidak dapat dipungkiri, bahkan kolonial Belanda mengakui ketangguhan ini. Ada beberapa kutipan dari penulis Belanda yang menggambarkan tentang watak orang Aceh. Seperti yang dikatakan oleh A. Doup dalam Gedenkboek van het korps marechaussee 1890-1940, KoetaRadja, p. 248:


”Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakannya selama ’Perang Aceh’ menimbulkan rasa hormat di pihak Marsose serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanannya dan daya tahanny yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya ketika menciptakan dan melaksanakan siasat yang sejati, sementara itu daya pengamatannya sangat tajam. Mereka mengamat-amati setiap gerak gerik pemimpin brigade dan tahu benar tang mana melakukan patroli dengan ceroboh atau yang mana pula yang siap siaga dan terjun teratur”. (Tgk. A.K. Jakobi. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949. hal. xxxvi).


Terlihat jelas bahwa bagaimana karakter orang Aceh yang bersedia mati-matian untuk membela harga diri dan bangsanya dari penjajah. Semangat yang terdapat dalam diri orang Aceh tidak terlepas dari filosofi hidup yang diyakininya, yaitu Hikayat Prang Sabi. Satu kalimat pembangkit semangat yang tertera dalam hikayat ini; ”Hudep saree, matee syahid”. Rakyat Aceh lebih mau memilih mati dari pada harus hidup dibawah pendudukan penjajah yang selalu menyengsarakan rakyat dan memonopoli perdagangan. Karena ketangguhan dan keberanian dengan filosofi Hikayat Prang Sabi inilah yang menyebabkan Aceh tidak pernah berhasil dikuasai secara penuh oleh Belanda.


Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Aceh yang sangat terkenal adalah penerapan Syari’at Islam, dan Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan hukum Islam ini. Jika kita lihat sejarahnya. Penerapan Syari’at Islam ini bahkan telah jauh ada ketika kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya. Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia dan merupakan kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara. Bukti bahwa penerapan Syari’at Islam secara kaffah di kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika Sultan Iskandar Muda menghukum anaknya Meurah Pupok yang ketahuan berzina dengan memancung kepala putra mahkota satu-satunya.


Lantas, apa hubungannya dengan komunikasi?. Inti dari suatu komunikasi adalah terjadinya kesepahaman antara komunikator dan komunikannya. Komunikator disini adalah rakyat Aceh pada masa kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya atau rakyat Aceh yang bertempur melawan Belanda, sedangkan komunikannya adalah masyarakat Aceh saat ini dan masa depan. Semua catatan sejarah dan benda-benda peninggalan sejarah merupakan media untuk mengkomunikasikan suatu kebudayaan dan sejarah. Substansi pesan yang disampaikan adalah adanya transfer kearifan dan bentuk-bentuk kebudayaan yang hingga saat ini masih terjaga dan berkembang dengan utuh. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat Aceh dahulu mewariskan sesuatu kepada masyarakat Aceh saat ini. Museum Aceh hanya merupakan media atau sarana untuk menyampaikan pesan dari masyarakat Aceh terdahulu. Selanjutnya masyarakat Aceh saat ini yang akan menginterpretatif pesan tersebut dan akan meneruskannya kepada gernerasi setelahnya.

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisip, Unsyiah dan Pimpinan Umum Lembaga Publisistik Komunikasi, Fisip, Unsyiah.


Jumat, 16 Oktober 2009

Pesan Seorang Sahabat

Nafasnya terengah-engah. Seluruh badan dirasakannya sangat letih. Otot-ototnya menegang. Bajunya basah oleh keringat. Diletakkannya ransel di dekat tempat tidur. Lalu ia bergegas ke kamar mandi. Mencuci mukanya. Lalu kembali lagi ke dalam kamar.

”baru pulang aksi lagi kau fir?”, tanya Umam

Firdaus hanya mengangguk. Tangannya meraih handuk yang digantung di atas pintu. Dilapnya wajahnya yang basah.

”hari ini kantor mana lagi yang kau demo?”, tanya Umam lagi

”Dinas Pendidikan”, jawab Firman singkat

Ia berjalan menuju lemari. Diambilnya baju ganti untuk mengganti bajunya yang basah oleh keringat tadi. Ia tidak terlalu mempedulikan Umam, teman satu kosnya yang dari tadi berdiri di depan pintu kamarnya dengan berbagai pertanyaan.

Setelah mengganti pakaian, Firman membuka ranselnya. Dikeluarkannya sebuah laptop. Lalu menghidupkannya untuk mencari beberapa data yang diperlukan untuk aksi besok.

”besok apa lagi yang akan kau demo?”, Umam kembali bertanya

”rencananya kantor DPRA”

Tangan Firman sibuk menekan-nekan tombol laptop. Entah dari mana ia mendapatkannya. Matanya seperti tidak merasa lelah setelah berdiri di tengah panas seharian. Berteriak-teriak di antara massa demonstran. Umam beranjak dari tempatnya. Ia paham betul, kawannya yang satu ini tidak bisa diganggu kalau sedang mengerjakan sesuatu. Ia pernah dimarahi oleh Firman. Ketika itu Firman sedang membuat sebuah makalah untuk presentasi di kampusnya. Umam sedang mencari selotip untuk membungkus kotak yang akan dikirimnya ke kampungnya. Lantas ia bertanya kepada Firman. Tiga kali ia bertanya. Semuanya tidak dijawab oleh Firman. Saat bertanya lagi, Firman menatap tajam padanya dan keluar makian dari mulut Firman. Ia tidak balas marah. Ia tidak mau permasalahan semakin berlarut-larut. Toh..dari pada persahabatan mereka rusak.

Umam kembali ke kamarnya. Mengambil sebuah buku dari kotak penyimpan bukunya. Ia lebih memilih membaca beberapa artikel dari pada melihat pekerjaan Firman yang tidak jelas. Hampir setiap saat ia berdemo. Entah untuk siapa dan untuk kepentingan siapa. Jika ditanya kepada Firman, pasti jawabannya untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas.

***

”Kau mau masuk fakultas apa nanti fir?”, tanya Umam saat sedang istirahat jam sekolah

”Aku mau masuk fakultas teknik, aku mau jadi teknokrat, biar bisa bangun kampung kita ini”, jawab Firman sambil tertawa. Ia membayangkan akan menjadi seorang insinyur yang akan membangun kampungnya.

”kau sendiri akan masuk fakultas apa mam?”, balas Firman

”aku mau masuk fakultas keguruan. Aku mau jadi guru. Kata ibuku jadi guru itu merupakan tugas mulia”, jawab Umam tersenyum

Umam teringat masa-masa mereka masih menjadi siswa putih abu-abu dulu. Ia dan firman adalah sahabat. Mereka sudah berteman sejak kecil. Orang tua mereka sama-sama berprofesi sebagai petani. Mereka sadar bahwa harapan orang tua mereka ada di pundak mereka. Cita-cita keluarga berada di tangan mereka. Merekalah yang akan merubah nasib keluarga agar lebih baik.

***

Pagi belum sempurna betul. Matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Tanah masih basah karena sisa hujan tadi malam. Umam sudah bangun. Ia mengambil wudhu lalu mengerjakan shalat fardu dua raka’at. Setelah selesai shalat. Ia menuju kamar Firman. Didapatinya pintu kamar tidak terkunci. Ditolaknya pintu kamar pelan. Dilihatnya sahabatnya itu masih tertidur pulas. Beberapa kertas bertumpuk dilantai kamarnya.

”Fir bangun. Shalat dulu. Sudah subuh nih”, Umam menguncang-guncang pelan tubuh firman

”iya mam”, Firman menggeliat, mengubah posisi tidurnya

Umam keluar kamar. Mengambil kitab suci, lalu membaca beberapa lembar ayatnya. Setelah selesai membaca Al-qur’an, Umam kembali ke kamar. Tiba-tiba rasa kantuk menderanya. Untunglah hari ini tidak ada jadwal kuliah. Jadi ia bisa bangun agak siangan.

Ketika banngun, Umam melihat sebuah surat lebih tepat disebut memo. Ini dari Firman. ”aku tidak akan pulang untuk beberapa hari. Setelah selesai aksi di DPRA, aku akan berangkat keluar kota untuk beberapa hari”. Itulah isi memonya.

Dalam benak Umam bertanya, kemana sahabatnya itu akan pergi. Untuk beberapa hari pula. Lantas untuk kepentingan apa. Apakah untuk tugas kampus. Entahlah, ia tak mau terlalu terlibat dalam hal ini.

***

Umam terperangah saat membaca koran pagi. Headline-nya menyebutkan bahwa kemarin telah terjadi bentrok antara mahasiswa dan aparat kepolisian. Demo yang berpusat di gedung DPR-RI tersebut berakhir rusuh. Dipastikan korban tewas berjumlah 4 orang dari kubu mahasiswa. Sementara 7 orang luka berat, baik dari kubu mahasiswa maupun polisi.

Umam membaca dengan seksama berita itu. Hingga matanya berhenti pada satu tulisan yang menyebutkan nama-nama korban yang tewas.

”Firman”. Umam merasa aliran darahnya begitu kuat dipompa. Kakinya bergetar. Ia teringat surat Firman 5 hari lalu. Firman akan pergi untuk beberapa saat. Namun sekarang ia pergi untuk selama-lamanya.

Umam merasa getaran hebat menguncang tubuhnya. Detak jantungnya semakin tak terkendali. Tubuhnya hoyong ke tanah.

(Lingke, 6 Oktober 2009)

Selasa, 06 Oktober 2009

Surat Untuk Zarkawi

Senja menyinsing. Matahari perlahan turun dari singgasannya, menuju satu titik perubahan menjadi malam hari. Kemilau emas bertaburan di permukaan air laut. Ombak bermain-main kecil menuju pantai. Burung-burung putih berimigrasi, entah kemana. Nelayan memacu perahunya agar sesegera mungkin sampai ke pantai. Di tepian, sudah ada anak-anak yang menunggu mereka, bersiap mengangkut jala dan jaring yang mereka bawa. Memberesi ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap, lalu bergegas pulang ke rumah untuk menyantap ikannya.

Suasana yang hampir menjadi rutinitas harian warga desa Kuala Baro, Aceh Singkil. Sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Bukan karena kemauan, tapi karena letak geografis desa ini yang mengharuskan seperti itu. Kuala Baro ibarat pulau kecil. Diapit oleh laut dan sungai. Jaraknya lumayan jauh dari Singkil. Mencapai desa ini harus menggunakan perahu bermotor sebagai alat penyeberangan. Masyarakat setempat menyebutnya robin. Sebenarnya robin adalah motor penggerak perahu.

Malam pun menghampiri. Lampu berbinar-binar dari rumah warga. Hanya ada satu mesin pembangkit listrik berkekuatan rendah dari PLN. Jika siang, listrik mati dan baru dihidupkan lagi saat malam hari.

Jalan perkampungan masih ditutupi pasir. Jika angin bertiup kencang, pasir-pasir itu akan beterbangan. Rumah-rumah warga pun semi permanen, karena sangat susah mengangkut semen dan material lain dari Singkil.

”Sudah makan kau nak?”, tanya Siti Hajar pada anak bungsunya

”sudah mak”, jawab Zarkawi

Siti Hajar adalah janda 4 anak yang berprofesi sebagai penenun benang emas. Setiap sulamannya dijual seharga Rp.150.000,-. Malam itu ia sedang mengerjakan sulaman benang emasnya. Besok ia harus membawanya ke Singkil untuk dijual. Sementara Zarkawi bungsu yang sangat disayangnya sedang menghaluskan bambu untuk dijadikan layang-layang. Besok pulang sekolah ia akan bermain layang-layang sepuasnya di lapangan dekat rumah mereka. Ia akan berlari bebas menikmati angin yang menerbangkan layangannya setinggi mungkin, setinggi cita-citanya yang ia gantungkan.

”kawi, mak besok akan ke Singkil”

”buat apa mak ke Singkil besok?”, tanya Zarkawi terus menghaluskan bambu.

Ia harus hati-hati menghaluskan bambunya. Jika tidak maka layangannya tidak akan jadi, dan ia harus membuatnya lagi. Itu berarti ia harus mencari bambu lagi, di hutan seberang sungai dengan biawak-biawak sebesar paha orang dewasa.

”besok kan ada pekan Singkil, mak mau menjual hasil tenunan ini, siapa tahu besok mak dapat rejeki. Mak bisa beli baju sekolah baru untuk Kawi. Jadi, do’akan mak ya semoga besok Allah memberi kita rejeki”, ujar Siti Hajar sambil membetulkan letak duduknya

Kawi hanya menggangguk. Siti Hajar tersenyum melihat putra bungsunya. Anak laki-laki berusia 9 tahun dan duduk di kelas 4 sekolah dasar satu-satunya di Kuala Baro. Dalam hati yang dalam ia berharap anaknya ini kelak akan menjadi orang yang sukses dan berguna bagi agama serta keluarga. Ia teringat amanah almarhum suaminya. Kelak saat suaminya tidak ada lagi, pendidikan anak-anak tetap menjadi nomor satu. Jangan biarkan anak-anak tidak bersekolah. Jika tidak sanggup untuk menyekolahkan ke empat anak mereka, sekolahkan saja satu diantara mereka.

Pesan terakhir suaminya itu diingat lekat-lekat oleh Siti Hajar. Karena faktor ekonomi mereka yang pas-pasan. Maka ia hanya memprioritaskan pendidikan bagi Kawi. Tentunya ini merupakan hasil kesepakatan bersama keluarga. Kakak-kakak Zarkawi sudah besar-besar. Mereka hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah menengah atas. Selanjutnya mereka memilih bekerja menjadi nelayan.

”mak menangis?”, pertanyaan Zarkawi memecah lamunan siti hajar

Ia tidak menyadari anaknya memperhatikannya dari tadi.

”mak kenapa menangis?”, pertanyaan lugu dari bocah kesayangannya

Siti Hajar hanya tersenyum. Ia merasa tidak perlu memjawab pertanyaan ini. Diletakkannya sisa tenunan benang emas, dirangkulnya anaknya.

”Kawi, kamu harus menjadi seorang yang sukses. Dulu Abu berpesan pada mak agar menyekolahkanmu hingga kau berhasil”, mata Siti Hajar terus basah. Tetesan airnya jatuh di tangan Kawi. Tidak ada kata-kata lagi bisa diucapkan Siti Hajar. Dipeluknyan erat-arat bungsunya.

***

Azan subuh menggema di belantara desa. Embun pagi menyibak di atas rerumputan dan dedaunan. Suara gemercik air terdengar dari rumah-rumah yang penghuninya sudah bangun untuk mengerjakan perintah tuhannya. Angin bertiup sepoi tapi menusuk. Menambah kenikmatan untuk memperpanjang tidur bagi mereka yang tak tersentuh hatinya oleh panggilan Illahi.

Siti Hajar bangkit dari tempat tidurnya. Meraba-raba skring lampu di dinding kamar. Ia tersenyum melihat Kawi yang mengernyitkan matanya karena silau oleh cahaya lampu. Siti Hajar mendekat ke sisi tempat tidur. Dibelainya rambut Kawi dengan lembut.

”Kawi...bangun. shalat subuh dulu”, ujar Siti Hajar membangunkan anaknya

Kawi menggeliat. Matanya masih tertutup. Tangannya meraba kesana kemari mencoba menemukan selimut. Setelah dapat, ditariknya selimut itu lalu dilanjutkannya tidurnya.

”Kawi...bangun nak. Orang-orang yang tidak shalat itu berdosa. Apa Kawi mau jadi anak yang berdosa”

Kawi kembali menggeliat. Membuka sebelah matanya. Lalu menggangguk.

”sebentar lagi mak”, ujar Kawi

Siti Hajar bangkit dari tempat tidur menuju belakang rumah. Mengambil air sembahyang. Kawi berjalan sedikit sempoyongan karena masih didera kantuk. Ia menyusul ibunya ke belakang. Mengambil air sembahyang. Tidak berapa lama ia sudah bergabung bersama ibu dan kakak-kakaknya yang sudah mengatur shaf. Shalat dipimpin oleh Syafrizal, kakak kedua Kawi.

Shalat ditegakkan dengan khusyuk. Semua orang larut dalam takjub menyembah Rabbnya. Takbirratur Ihram, rukuk, ’itidal, sujud, hingga salam dilaksanakan dengan tertib. Usai salam, Kawi bergegas bangkit dari tempat duduknya, berlari ke dalam kamar melanjutkan kembali tidurnya.

Sementara ibunya, Siti Hajar mempersiapkan tenunan benang emas untuk dibawa ke Singkil. Hari ini adalah hari pekan besar Singkil. Hampir semua warga Kuala Baro pergi ke Singkil untuk berjualan atau hanya sekedar belanja. Memang sudah menjadi tradisi di masyarakat Singkil, ada dua hari pekan. Pekan kecil pada hari Senin, sedangkan pekan besar pada hari Kamis.

***

Kawi kecil beranjak remaja saat negeri leluhurnya dilanda konflik. Kala itu ia masih duduk di kelas 2 sekolah menengah atas.

Banyak warga sipil hilang dan besoknya ditemukan mati. Tidak satu orang pun yang tahu siapa pelakunya. Semua orang saling menyalahkan.

Sebenarnya kampung Kawi tidak terlalu terkena imbas konflik. Tidak ada suara dentuman senjata. Tidak ada kabar orang hilang. Tidak ada mayat tanpa identitas ditemukan. Semuanya tentram.

Namun keharmonisan ini terpecah ketika sekumpulan orang yang mengatasnamakan organisasi pembebasan rakyat masuk ke kampungnya. Mereka mulai mempengaruhi satu persatu orang-orang kampung untuk ikut memberontak seperti mereka. Sasaran utama perekrutannya adalah para pemuda kampung. Kawi tak luput dari ajakan.

Kawi diajak oleh temannya untuk ikut pertemuan di surau nanti sore. Ini kali pertamanya ikut pertemuan kelompok yang ia sendiri tak tahu arah dan tujuan pergerakannya. Ba’da ashar pemuda yang diundang hadir dalam pertemuan itu sudah berkumpul di dalam surau. Ada sekitar 50 orang, salah satu diantara mereka adalah Kawi.

Kawi mengambil tempat duduk di dikat pintu keluar surau. Matanya tajam melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya. Kata temannya mereka adalah para pejuang bangsa yang tangguh. Mereka yang akan mengangkat marwah bangsa kita yang sudah lama dijajah oleh Jakarta. Mereka yang akan membalaskan dendam anak yang ayahnya dibunuh. Dendam istri yang suaminya dihilangkan. Dendam gadis remaja yang diperkosa.

”Assalamu’alaikum, wahai saudara bangsa Aceh yang saya cintai”, ujar seorang laki-laki bertubuh kekar. Janggut dan kumisnya tebal. Laki-laki itu memakai baju kaos warna hitam. Celananya loreng. Ada kain merah bergambar bulan dan bintang diikat dikepalanya. Kawi tidak tahu apa makna kain itu. Dalam benaknya, orang dihadapannya terlihat seram.

”Saudara-saudara ku”, suara laki-laki itu lantang

”kita harus meneruskan perjuangan guna membela bangsa Aceh yang kita cintai ini”, kata-kata laki-laki itu tegas. Menyihir semua peserta pertemuan sore itu.

Kawi mengikuti pertemuan itu dengan seksama. Konsentrasinya terpecah ketika seorang pria pendek tergopoh-gopoh memasuki surau. Badannya basah karena keringat. Kelihatannya ia berlari tadi.

”Assalamu’alaikum panglima”, ujar pria pendek itu

”wa’alaikumsalam”, jawab semua orang serentak

”Tentara republik baru saja merapat di dermaga simpang empat. Kita harus segera melarikan diri”, tukas pria itu dengan nafas yang masih susah diatur

Sontak semua orang yang ada disurau itu berhamburan keluar. Tidak ada lagi waktu untuk memakai alas kaki. Keadaan sangat kacau. Kepanikan terlihat jelas diwajah mereka. Beberapa orang membopong senjata laras panjang. Hanya laki-laki berbadan tegap tadi yang memiliki pistol, dan tiga buah granat manggis yang diikatkan di pinggangnya.

Mereka berlari ke arah pantai. Disana sudah ada dua orang dan sebuah boat yang menunggu. Kawi juga ikut dalam rombongan itu. Ia tidak tahu mengapa mereka lari. Ia tidak tahu kemana mereka akan pergi. Ia sudah bertanya kepada orang-orang yang dikenalnya. Namun mereka juga tidak tahu.

***

Matahari baru saja bangkit dari peraduannya. Sisa-sisa embun masih melekat di rerumputan. Kicauan burung menyemarakkan pagi.

Seorang pria menatap dalam sebuah nisan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia baru sampai di desa itu setelah 5 tahun berkelana di rimba Aceh.

Pria itu mengenal persis nama di batu nisan itu. Orang yang sangat ia cintai terkubur disitu.

”Zarkawi”

Pria itu menoleh ke belakang. Disana sudah berdiri seorang laki-laki tua. Kawi mendekat. Kaki-kakinya tidak mampu menopang berat tubuhnya. Ia tersungkur di depan laki-laki itu. Tangannya memegang paha laki-laki itu dengan erat. Semua jemarinya mencengkram erat celana laki-laki itu. Air matanya tumpah. Membasahi tanah yang masih lembab karena hujan semalam.

”sudahlah, kau jangan menangis’, ujar laki-laki tua itu

”pak... tolong ceritakan pada saya mengapa ibu meninggal”, ujar kawi terisak

”marilah ke rumah dulu, nanti bapak ceritakan”, ajak laki-laki itu

Di beranda rumah yang semi permanen. Lelaki itu menceritakan semua hal kepada kawi. Keadaan kampung mereka yang dijadikan daerah merah setelah kejadian di surau sore itu. Penyebab ibu kawi meninggal.

”Ibumu diserang penyakit”, ujar lelaki tua itu membetulkan letak pecinya

”Ia tidak mau makan. Berobat pun tidak mau. Kakak-kakakmu sudah membujuknya. Tapi ia tetap bersikeras tidak mau. Ibumu memikirkanmu. Kata orang kampung kau juga ikut memberontak kepada republik. Kabarnya kau sudah jadi panglima untuk wilayah Bulussama dan Barus. Terakhir ibumu mendengar kau tertangkap dalam sebuah penggerebekan. Lalu kau dibawa ke penjara di Tapaktuan. Ibumu menyusulmu ke Tapaktuan, berharap dapat berjumpa denganmu. Saat ibumu sampai ke Tapaktuan, kau malah dipindahkan ke Kuala Simpang. Penyakit ibumu semakin bertambah. Pamanmu di Tapaktuan sudah mengobatinya. Tapi ibumu minta pulang ke kampung saja. Baru dua hari ibumu sampai dikampung ini. Ajal menjemputnya. Kakak-kakakmu sudah pindah ke singkil semua”, lelaki tua itu mengakhiri ceritanya

Asap kretek mengepul dari mulut laki-laki tua itu. Diambilnya peci usang yang menutupi kepalanya. Dikeluarkannya secarik kertas.

”ini wasiat dari ibumu”, ujar lelaki itu menyodorkan kertas yang dikeluarkannya tadi kepada kawi

Kawi membuka surat itu, di dalamnya tertulis

”Kawi

Kau harapan abu. Kau juga harapan mak. Dalam kepergianmu, mak selalu berdo’a semoga Allah menjagamu. Tidak ada harta yang mak wariskan padamu. Hanya saja sebuah Al-qur’an yang dapat mak berikan. Semoga kau tetap berpegang teguh kepadanya. Jika mak sudah tak ada, susullah kakak-kakakmu ke singkil. Tuntutlah kembali ilmu. Jadilah kau seperti harapan abu dan mak”.

Setelah membaca surat wasiat ibunya, kawi melipat surat itu. Disimpannya di saku kemejanya. Matanya kembali basah. Ia bangkit dari tempat duduknya, menyalami lelaki tua tadi. Berpaling dan meneruskan langkah hidupnya.

(Banda Aceh, 05 Oktober 2009)

Selasa, 18 Agustus 2009

Es Dawet; Kuliner Baru di Banda Aceh

Kehadiran es dawet menambah ragam kuliner di Banda Aceh. Minuman yang berasal dari Bandung ini baru 3 bulan beredar di Banda Aceh.

Untuk pemasaran, dilakukan dengan menggunakan gerobak yang dibawa berkeliling oleh seorang penjual. Menurut salah seorang penjual es dawet yang enggan menyebutkan namanya, ketika dijumpai saat melintas di jalan T. Iskandar, Beurawe (Jum’at, 24/7), sekarang sudah ada 25 gerobak yang beroperasi di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Minuman yang berbahan dasar cendol, gula merah, dan santan ini dijual Rp. 3000/cup. Muharir (22 tahun) seorang pembeli es dawet mengatakan minuman ini sangat nikmat.

”Es dawet ini segar, apa lagi diminum siang hari yang panas seperti ini”, Ujar Muharir, warga Lhong Raya yang membuka toko buku di kawasan Beurawe.

Bagi Muharir, es dawet tidak hanya sekedar nikmat, namun juga memiliki daya tarik lainnya, seperti desain gerobak dan pakaian yang digunakan penjualnya.

”Baru kali ini saya melihat ada penjual minuman yang memakai seragam dan membawa gerobak yang unik”, tukas Muharir.

Wartawan dan Konsekuensinya

Tantangan terbesar dari seorang jurnalis adalah ketika karir dan nyawa mereka teracam oleh pemberitaan yang mereka lakukan, meskipun itu demi kebenaran. Beberapa kasus telah menunjukkan betapa beresikonya pekerjaan ini. Dalam bukunya ”Kapita Selekta Komunikasi; Pendekatan Budaya dan Agama”, Drs. Ujang Saefullah menyatakan bahwa menjadi seorang jurnalis merupakan sebuah tugas mulia namun penuh resiko. Mulia karena jurnalis merupakan pembawa pesan atau informasi kepada publik, apa yang berhak diketahui oleh publik.

Bisa dibayangkan betapa besar jasa seorang jurnalis dalam menyampaikan informasi kepada publik mengenai suatu hal yang selama ini sengaja ditutup-tutupi untuk diketahui publik. Jurnalis bisa membongkarnya dan menyuguhkan beritanya kepada publik. Misalnya saja Ersa Siregar, waartawan RCTI yang menjadi sandera dan akhirnya meninggal saat melakukan liputan Darurat Militer di Aceh. Ada lagi wartawan SCTV yang menjadi korban saat meliput KMP Livina. Banyak contoh yang bisa menjadi pelajaran untuk kita, bahwa betapa beresikonya pekerjaan jurnalis atau wartawan tersebut. Pun demikian inilah resiko dan konsekuensi yang harus diterima oleh jurnalis untuk mendapatkan sebuah berita.

Jika menelaah kasus yang diberikan, berita digunakan sebagai alat tawar menawar iklan, ini merupakan kasus terumit karena menyangkut informasi publik dan karir sang wartawan itu sendiri. Misalnya saja wartawan membeberkan sebuah penyelewengan oleh sebuah Bank. Pihak manajemen bank tersebut mengetahui bahwa berita mengenai penyelewengan tersebut akan dimuat di beberapa media. Lantas pihak bank melakukan lobi kepada pihak manajemen media, dengan dalih pemasangan iklan dengan biaya tinggi dan feedback-nya adalah pengurangan isi berita yang terlalu tajam atau bahkan tidak jadinya pemuatan berita tersebut.

Sebuah kasus yang sangat disayangkan bila memang terjadi. Keprofesionalan seorang jurnalis seakan sengaja dikebiri dengan dalih industri media. Memanglah media butuh hidup, salah satunya dari pemasangan iklan, namun tidak serta merta membuang berita yang seharusnya menjadi hak publik. Pembuangan berita ini bisa menjadi pembohongan terhadap publik. Akibatnya adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap pers dan medianya. Dapat dibayangkan berapa banyak korban yang akan kena imbas dari tidak dimuatnya pemberitaan tersebut hanya karena pemuatan iklan. Hal seperti ini dapat dikategorikan pada tidak adanya kebebasan pers. Masih berlakunya self-cencorship dari manajemen pers hanya demi sebuah iklan.

Jumat, 24 Juli 2009

”Damai di Jambo”

”Berdo’a saja, semoga tidak ada lagi perang di Aceh, semoga damai tetap terjaga di Aceh”

Matahari baru naik. Sengatan sinarnya belum terlalu panas. Tidak ada angin sedikit pun bertiup. Tidak ada dedaun yang bergoyang. Hanya ada beberapa petani yang sedang menanam bibit padi di sawahnya ditemani kerbau-kerbau juga ikut meramaikan. Pemandangan ini yang dapat ku tangkap ketika berjalan ke sebuah desa terpencil di Kabupaten Aceh Besar.

Cot Jambo, nama desa itu. Desa yang berjarak 16 kilometer dari pusat kota Banda Aceh ke arah bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan rawa. Sungai yang sedikit jernih masih mengalir lancar ke setiap sawah desa itu.

Suasana itu persis sama dengan beberapa tahun lalu, ketika Aceh dilanda konflik. Konflik kemanusiaan yang menelan banyak korban. Pada masa konflik Aceh, hampir di semua daerah dipenuhi oleh TNI dan Polisi. Banyak pos yang dibangun, dengan alasan pertahanan keamanan dan kedaulatan Indonesia. Daerah-daerah terpencil yang diduga menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diberi julukan dengan istilah daerah merah atau daerah hitam. Banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak TNI/Polri, GAM, bahkan masyarakat sipil.

”Desa kami tidak pernah kacau”, ujar Ramli, 33 tahun, seorang warga desa Cot Jambo, Aceh Besar. Belakangan baru ku ketahui bahwa dia adalah Keuchik desa Cot Jambo.

Ramli mengisahkan dulu ketika Aceh dilanda konflik desa mereka diberikan lampu hijau (petanda daerah aman). Tidak ada pos TNI/Polisi yang didirikan disana. Namun, sekali-kali mereka juga berpatroli untuk berjaga-jaga.

Setiap harinya tidak ada bedil yang menyalak minta korban. Letusan bom juga tidak terdengar bahkan nyaris mereka tidak merasa Aceh, daerah mereka, sedang dilanda konflik.

”Kalau daerah sekitar kita ini baru rawan”, tambah Ramli sambil menunjuk ke arah beberapa desa lain yang berbatasan dengan desa mereka. Desa-desa yang ditunjuk oleh Keuchik Ramli terlihat kecil dari kejauhan karena berada disekitar kaki gunung Seulawah.

”Apakah warga di desa ini ada yang terlibat GAM?”, tanyaku

”Sepengetahuan saya selama saya menjadi Keuchik tidak ada satu orang pun warga desa ini yang terlibat GAM”, jawabnnya tegas.

”Mengapa bisa demikian?, tanyaku lagi

”Para pemuda desa kami semua memiliki kerja, jadi tidak bisa dipengaruhi untuk ikut yang seperti itu”, ujar Ramli yang hampir 8 tahun menjadi Keuchik Cot Jambo.

”Kami tidak pernah memihak siapa pun”, tambah Ramli sambil membakar kretek yang dari tadi di pegangnya.

”Sama TNI kami kawan, sama GAM juga”, lanjutnya menghembuskan asap kretek dari mulutnya.

Menurut Ramli, dulu ketika lagi panas-panasnya konflik warga desa mereka memberikan bantuan kepada GAM. Pemberian itu dilakukan karena mereka (GAM) yang meminta bantuan. Bantuan yang diberikan dalam bentuk makanan.

Sebelum bantuan diberikan, seorang anggota GAM keluar dari markas mereka, lalu datang ke desa Cot Jambo menuju rumah Ramli. Setelah bantuan terkumpul Ramli yang akan pergi mengantarkan bantuan itu ke basis GAM di bawah komando Mukhlis, seorang panglima sagoe GAM wilayah Blang Bintang.

”Saya sendiri yang pergi mengantarkan bantuan warga itu ke basis mereka”, ungkap Ramli

Basis, yang menurut Ramli, berada di sebuah pesantren di daerah kaki gunung Seulawah. Disitulah semua kombantan Gerakan Aceh Merdeka yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh berkumpul dan bertahan. Sekali-kali mereka pindah jika TNI/Polri melakukan penyerangan dan penyisiran.

Tanggung jawab Ramli sebagai seorang pemimpin di desanya sangat besar. Pernah suatu ketika Ramli harus bolak-balik ke Pos TNI, Komando Rayon Militer Blang Bintang, Polsek Blang Bintang, hanya untuk membei jaminan warga yang ditangkap karena dicurigai terlibat GAM.

”Saya bolak-balik ke Pos TNI dan harus membuat beberapa surat jaminan atas nama saya, ini saya lakukan karena saya yakin warga yang saya beri jaminan bukanlah anggota GAM”, tutur Ramli kemudian mempersilakan aku minum yang dari tadi sudah disiapkan oleh istri Ramli.

Segelas air sirup merah yang memikat hati, lumayan bisa melepaskan dahaga ku karena hari mulai panas. Belakangan ini cuaca selalu panas, hampir sama dengan cuaca politik yang sedang hangat-hangatnya terjadi. Hanya baru beberapa bulan pemilihan umum legislatif berlangsung, masyarakat sudah dihadapkan oleh pemilihan presiden.

Sepanjang jalan menuju Cot Jambo, belum ada pamflet, baliho, spanduk, dan poster untuk kampanye presiden. Hanya terlihat beberapa poster calon legislatif yang masih memenuhi pohon dan tiang listrik.

Semangat warga desa Cot Jambo untuk mengikuti pemilu presiden nanti akan sama ketika pemilu legislatif yang lalu. Pada pemilu yang lalu warga sangat antusias megikutinya. Dan pemilu berjalan dengan sukses. Tidak ada intimidasi sedikitpun. Tidak ada bentrokan baik besar maupun kecil. Meskipun di beberapa tempat diisukan terjadi intimidasi oleh beberapa tim sukses caleg dan partai.

”Secara lahir warga desa Cot Jambo akan memilih SBY nanti”, ujar Ramli

”Kalau hati siapa tahu”, tambah Ramli tertawa

Bagi warga Cot Jambo SBY merupakan sosok pemimpin yang pantas dipilih kembali. Di mata warga Cot Jambo ditangan SBY-lah Aceh mendapat damai. Jika bukan karena kepemimpinan SBY, maka konflik Aceh pasti akan memanas dan tidak akan pernah berakhir.

”Berdo’a saja, semoga tidak ada lagi perang di Aceh, semoga damai tetap terjaga di Aceh”, harap Ramli mengakhiri pertemuan kami hari itu dengan senyuman. (yf)

Jumat, 08 Mei 2009

Khanduri Laot: Wujud Syukur Nelayan Aceh

Adat dan tradisi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Seperti halnya tradisi khanduri laot. Trasdisi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat daerah pesisir Aceh. Tradisi yang sudah menjadi turun-temurun bagi nelayan Aceh ini merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan ketika mereka mendapat hasil yang banyak. Kadang-kadang saat pergantian panglima laot juga dilakukan khanduri laot.

Bagi masyarakat Aceh, khanduri laot merupakan bentuk rasa syukur kepada sang Khalik atas limpahan rahmat-Nya, laot (laut) yang menjadi tumpuan hidup masyarakat pesisir Aceh menjadi lebih berkah. Khanduri Laot merupakan kearifan lokal Masyarakat Aceh. Selain menjadi wujud syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan Allah, khanduri laot dilakukan untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.

Secara historis, tradisi khanduri laot memiliki nilai yang cukup dalam. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, asal mula khanduri laot dilatarbelakangi karamnya kapal seorang panglima Aceh yang kala itu pergi melaut. Panglima diselamatkan oleh seekor lumba-lumba yang mengantarkannya ke daratan. Sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan sang panglima maka diadakanlah khanduri laot selama tujuh hari-tujuh malam. Seperti halnya ritual lain, khanduri laot juga memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan itu dibagi kedalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan upacara. Pada tahap persiapan masyarakat mempersiapkan sajian makanan yang akan diberikan pada tamu-tamu dan warga masyarakat yang mengikuti upacara. Perahu yang akan digunakan untuk mengangkut makanan ke tengah laut juga harus dipersiapkan. Tidak lupa juga perlengkapan peusijuk yang menjadi prosesi utama dalam khanduri laot.

Tahap selanjutnya adalah upacara memandikan kerbau yang aka disembelih. Upacara ini dilakukan oleh Panglima Laot. Setelah itu, kerbau dipeusijuk yang diawali oleh panglima laot, diikuti oleh imum dan tokoh masyarakat. Saat prosesi mempeusijuk kerbau, masyarakat akan membaca takbir dan membaca shalawat Nabi SAW.

Kerbau tersebut akan disembelih. Lalu dagingnya dimasak bersam-sama dalam sebuah kuali besar. Setelah masak, masyarakat yang mengikuti prosesi khanduri laot tidak dibenarkan mengambil makanan apapun, baik daging kerbau atau yang lainnya sebelum ada perintah dari panglima laot dan pihak panitia. Daging kerbau dipisah, sebagian dinaikkan ke perahu dan sebagian lainnya disisakan untuk disantap bersama.

Daging yang ada dalam perahu dibawa ke tengah laut untuk diletakkan di karang. Di dalam perahu juga ada ustadz, panglima laot, tokoh adat yang berfungsi membacakan do’a saat ritual membuang daging ke karang.

Bagi para nelayan, khanduri laot merupakan ritual penting yang harus diadakan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan. Ismail Arahman (70 tahun), salah seorang nelayan di Lampulo, Banda Aceh mengatakan bahwa sudah sejak lama sekali tradisi khanduri laot ini dilakukan. Ini sebagai bentuk rasa syukur dari kita kepada Allah SWT sebagai pemberi rejeki.

”Meunyo hana ta peuget khanduri laot na bencana nyang teuka (kalau khanduri laot tidak dilaksanakan maka akan ada bencana yang melanda)”, ujar pria paruh baya itu.

Bagi Ismail, khanduri laot mesti diadakan, agar para nelayan selamat di lautan dan hasil tangkapan juga melimpah. Lelaki asal Krueng Manee, Aceh Utara ini mengisahkan pernah pada suatu ketika khanduri laot tidak diadakan oleh para nelayan. Akhirnya seorang nelayan meninggal ketika melaut. Setelah kejadan itu barulah para nelayan dan warga pesisir mengadakannya.

Untuk pembiayaan pelaksanaan khanduri laot, dibebankan kepada tiap-tiap tauke boat (pemilik perahu). Biasanya tiap-tiap boat harus membayar lebih kurang Rp. 5.000.000,-. Biaya yang terkumpul akan diperguanakan untuk membeli keperluan upacara.

Dalam khanduri laot biasanya diundang anak-anak yatim, pejabat, ustadz. Orang-orang yang melintas juga dipanggil untuk ikut serta.

”Meunyoe na ureueng lewat dihoi, mangat ikot di khanduri (setiap ada orang yang melintas dipanggil, disuruh ikut khanduri”, tutur Ismail membetulkan topinya yang sudah agak memudar.

”Khanduri laot nyoe hana tiep thon thon dipeuget, kadang-kadang limong thon sigoe (Khanduri laot ini tidak setiap tahun dibuat, kadang-kadang lima tahun sekali)”, ujar Ismail sambil menjahit pukatnya yang robek.

Meski ada kontrofersi mengenai khanduri laot ini. Bagi sebagian masyarakat, khanduri laot merupakan perbuatan syirik. Bagi Ismail, khanduri laot merupakan warisan endatu moyang (nenek moyang) manusia. Tidak ada unsur syirik dalam pelaksanaan khanduri laot. Menurutnya khanduri laot harus tetap ada karena tradisi ini sudah ada sepanjang sejarah manusia ada di dunia ini.

Kamis, 30 April 2009

Laporan Pengawasan Pemilu 2009

TPS : I

Desa : Cot Jambo

Kecamatan : Blang Bintang

Kabupaten : Aceh Besar

Pemilu 2009 yang digelar 9 April 2009 merupakan pesta demokrasi terumit dalam catatan pemilu di Indonesia. Tidak saja dari jumlah parpol yang bertarung. Cara menentukan pilihan, penentuan kemenangan caleg dan partai, masa kampanye juga menjadi hal-hal yang menyebabkan pemilu kali ini menjadi sedikit rumit. Pelaksanaan pemilu 2009 menjadi hal yang sangat menarik perhatian para pengamat. Mulai dari pengamat politik hingga ekonomi. Semua memberikan pandangan dan prediksi terhadap masa depan bangsa Indonesia pasca pemilu. Dalam pemilu kali ini terdapat 44 partai dengan pemabagian; 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal. Lahirnya partai politik lokal di Aceh merupakan pelaksanaan dari butir-butir MoU Helsinski. Persaingan antar parpol sangat terasa di Aceh. Tidak saja partai politik nasional, partai politik lokal juga tidak mau kalah untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Ini terbukti dari hasil perolehan suara yang diterima oleh Partai Aceh. Partai politik lokal Aceh ini memperoleh suara terbanyak di Nanggroe Aceh Darussalam. Semua ini terlepas dari ada intimidasi atau tidak.

Berdasarkan pengamatan penulis saat mengawasi jalannya pemilu di TPS I Desa Cot Jambo, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar Partai Aceh menang untuk DPRA dan DPRK Acveh Besar. Untuk DPRA, Partai Aceh memperoleh suara sebanyak 61 suara dari 174 pemilih. Sedangkan untuk DPRK, Partai Aceh memperoleh suara sebanyak 48 suara dari 174 pemilih. Untuk DPR-RI, Let Bugeh caleg dari partai Patriot memperoleh suara terbanyak, sedangkan untuk partai politik, Partai Demokrat menempati urutan pertama. Suara untuk DPD diraih oleh Bachrum Manyak nomor urut 6.

Secara garis besar pelaksanaan pelimu di desa Cot Jambo berlangsung sukses. Namun, untuk satu-dua hal masih terdapat kekurangan. Menurut Keuchik Cot Jambo, ini wajar terjadi karena baru kali ini untuk pertama kalinya desa Cot Jambo melaksanakan pemilu di TPS desanya sendiri. Pada pemilu-pemilu yang lalu warga desa Cot Jambo melaksanakan pemilu di SD Simpang Keuramat bersama dua desa tetangga mereka lainnya. Tempat Pemungutan Suara (TPS) baru dibuka pada pukul 08.15 WIB, seharusnya TPS dibuka pada jam 07.00 atau jam 08.00 WIB. Sumpah Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) juga tidak dilakukan oleh Ketua KPPS. Anggota KPPS tidak memakai tanda pengenal kecuali Pengamanan TPS yang memakai atribut Hansip.

Antusias masyarakat Cot Jambo untuk berpartisipasi dalam pemilu 2009 sangat tinggi. Terlihat ketika warga berduyun-duyun menuju TPS untuk memberikan suranya. Hanya saja masih ada masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Entah karena memang masuk ke dalam “golongan putih” atau malah tidak mendapat surat undangan untuk mencontreng. Menurut Ketua KPPS TPS I desa Cot Jambo, Ilias, semua warga yang sudah memiliki hak pilih sudah diberikan undangan tapi beliau tidak tahu pasti mengapa ada warga yang tidak mau menggunakan hak pilihnya. Dari 223 orang pemilih di daftar pemilih tetap (DPT) hanya 174 orang yang menggunakan hak pilihnya.

Saat istirahat makan siang, penulis duduk bersama warga desa Cot Jambo yang menunggu penghitungan suara dilaksanakan. Seorang bapak berceloteh sambil tersenyum bahwa nasib Aceh akan sama untuk 5 tahun ke depan. Pendapat sepihak bapak itu disambut baik oleh seorang ibu yang duduk di sebelah bapak itu dan di depan penulis. Beliau berkata bahwa mereka (caleg-pen) duduk di DPR hanya untuk memperkaya diri sementara nasib rakyat ditelantarkan. Sebuah kalimat yang kritis memang, namun itulah masyarakat Aceh yang menggunakan hati nurani dan pikiran mereka dalam mencari sebuah kebenaran dalam memperjuangkan hak mereka.

Pada saat penghitungan suara dilakukan pada pukul 14.00 WIB banyak warga yang menyaksikan. Mungkin mereka mau tahu siapa yang akan duduk di kursi dewan dan akan membuat kebijakan untuk mereka. Penghitungan suara dimulai dari caleg DPR-RI disusul suara untuk caleg DPRA dan DPRK. Satu per satu kertas suara dikeluarkan oleh petugas KPPS. Ketika membaca surat suara DPRA, yang dominasi pemenangnya adalah caleg dari Partai Aceh, seorang ibu yang ikut menyaksikan jalannya penghitungan suara berkata dengan nada sinis kepada penulis. “Mereka (caleg Partai Aceh-pen) lagi yang naik, kita lihat saja apa yang akan terjadi”. Penulis terhenyak ketika mendengar kata-kata ibu itu. Apa yang akan terjadi jika memang Partai Aceh menang dan calegnya memenangkan pemilu?. Apakah ada dosa yang dibuat oleh mereka?. Entahlah ibu itu lebih mengerti apa yang benar menurutnya dan siapa yang berhak menjadi wakilnya di parlemen.

Penghitungan suara berakhir pada pukul 18.37 WIB. Terdapat perbedaan yang sangat kentara pada perolehan suara caleg. Jumlah suara keseluruhan untuk DPR RI adalah 174 suara, DPRA 173 suara, DPRK 175 suara, dan DPD 173 suara sedangkan jumlah pemilih yang memberikan suara berjumlah 174 pemilih. Kepanikan terlihat di wajah semua anggota KPPS. Ketua KPPS berinisiatif akan melakukan penghitungan ulang dengan teliti pada pukul 19.30 WIB. Perbedaan tadi mungkin karena keadaan TPS yang disesaki warga yang ingin menyaksikan proses penghitungan suara. Penghitungan suara baru berakhir pada pukul 23.05 WIB, selanjutnya diantar ke Kantor Kecamatan dengan pengawalan dua personel Polisi dari Poltabes Banda Aceh.

Yuhdi Fahrimal

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Unsyiah

Pengawas Pemilu Partisipatif Mahasiswa 2009