Kamis, 12 Maret 2009

Komunikasi Politik Para Calon Legislatif Menjelang Pemilu 2009

“Tebar Pesona Untuk Kursi Panas”

Tulisan ini kita awali dengan melirik kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berimplikasi pada kemajuan teknologi komunikasi. Dalam kehidupan nyata, kita tidak dapat melepaskan diri dari komunikasi. Hampir setiap saat kita melakukan suatu proses komunikasi. Berbagai tipe komunikasi kita lakukan, dari komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok (besar atau kecil), komunikasi organisasi, hingga komunikasi massa. Sangat mustahil jika ada orang berkata ia tidak pernah melakukan komunikasi, orang bisu sekalipun juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat yang masuk dalam kajian komunikasi non-verbal. Sementara kita yang bisa menggunakan peralatan lahiriah seperti mulut dibantu tenggorokan untuk bercakap maka kita melakukan komunikasi verbal.

Permasalahan komunikasi merupakan permasalahan yang kompleks. Kita harus memahami dulu bagaimana cara kita berkomunikasi, apa yang akan kita sampaikan ketika berkomunikasi dan kepada siapa kita berkomunikasi serta tujuan apa yang ingin kita capai ketika berkomunikasi. Terlihat mudah memang, namun sangat sulit pada prakteknya.

Komunikasi memiliki andil yang sangat besar pada kehidupan kita selaku makhluk individu dan sosial. Dengan komunikasi kita membentuk saling pengertian sehingga menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan,dan yang paling penting adalah dengan komunikasi kita dapat melestarikan peradaban. Perlu disadari, komunikasi juga dapat menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, serta menanamkan kebencian. Biasanya ini dilakukan oleh orang-orang untuk mempropaganda masyarakat sehingga terjadi konflik di masyarakat. Cara penyebaran isunya pun sangat mudah, bisa digunakan dengan bertatapan langsung dengan masyarakat sebagai terget atau dengan menggunakan media massa. Dengan demikian terlihat begitu dominan dan kompleksnya komunikasi mempengaruhi kehidupan manusia.

Apa yang kita lihat hari ini adalah kemajuan dari komunikasi itu sendiri. Kemajuan yang sangat pesat ini seiring kemajuan peradaban manusia yang terus berkembang kearah yang lebih baik. Manusia menciptakan teknologi yang mempermudah manusia untuk berkomunikasi, tidak ada lagi batasan jarak dan waktu. Dulu mungkin kita menggunakan surat dengan tulisan tangan ataupun ketikan dan harus bolak-balik ke kantor pos untuk mengantarnya agar dikirim ke tempat tujuan. Sekarang kita sudah dapat menikmati surat elektronik (e-mail) yang bisa kita kirim lewat internet dalam waktu yang cepat.

Namun seiring berkembangnya zaman, perkembangan teknologi khususnya dibidang komunikasi telah menyebabkan pergeseran norma dalam masyarakat. Syekh Ali Syariati, seorang filsuf Mesir pernah mengatakan:

“Semakin tinggi perkembangan sains dan teknologi maka semakin tinggi pula manusia itu menuju ke arah kebiadaban”

Inilah yang sedang terjadi saat ini di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari dari globalisasi yang bagi sebagian masyarakat Indonesia, globalisasi berarti westernisasi. Artinya budaya barat merupakan patokan untuk sebuah keberhasilan globalisasi. Dalam Cultural Imperealism Theory dikatakan bahwa budaya budaya barat sudah melakukan monopoli dan menjadi kiblat bagi pergeseran budaya di negara-negara berkembang. Tak heran jika saat ini anak-anak sudah bisa mengakses situs-situs ”porno” di internet. Penipuan dan pembobolan bank juga bisa dilakukan lewat media komunikasi dunia maya ini. Jadi secara tidak langsung komunikasi juga telah menyebabkan degradasi moral dalam masyarakat. Untuk itu perlu kiranya kita melakukan penyaringan (filter system) dalam menggunakan media komunikasi yang sudah terkontaminasi sedemikian rupa oleh perkembangan teknologi.

Komunikasi dan Politik

Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana dalam proses tersebut adanya usaha atau upaya untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media (saluran) yang dipilihnya guna mendapatkan efek dari komunikan tersebut. Kata komunikasi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris “communication” dan bahasa Latin “communicatus” yang berarti berbagi. Apa yang dibagi?, yaitu informasi. Menurut Carl Hovland, Janis dan Kelley, Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dengan kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lainnya (khalayak). Sedangkan menurut Harold Lasswell, Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa (who)”, “mengatakan apa (say what), “melalui saluran apa (in which channel)”, “kepada siapa (to whom)”, “dengan akibat atau efek apa (with what effect)”.

Dalam kehidupan nyata, kita tidak bisa lepas dari komunikasi. Dalam bukunya “Dinamika Komunikasi”, Prof. Onong Uchyana Effendy mengatakan, “Setiap orang yang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur lagi, secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi”, (Onong Uchyana, 1986). Begitu dominannya komunikasi mempengaruhi kehidupan kita. Komunikasi sudah menjadi kebutuhan yang sangat primer bagi manusia, tanpa komunikasi manusia bukan apa-apa. Coba banyangkan apa yang terjadi jika dalam satu rumah tangga tidak ada komunikasi antar anggota keluarga. Apa yang akan terjadi jika dalam lingkungan masyarakat tidak ada komunikasi. Satu jawaban yang mungkin bisa kita jadikan acuan yaitu kehancuran dan salah penertian yang berdampak kepada “peradaban akan hilang”.

Komunikasi memiliki tatanan yang tersusun seperti piramida, makin ke bawah maka luas cakupan komunikasinya akan semakin besar dan media yang digunakan semakin banyak dan komplit. Mulai dari komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication), interpersonal komunikasi (interpersonal communication), komunikasi kelompok (groups communication), komunikasi organisasi (organizations communication), dan komunikasi massa (mass communication). Beberapa model telah diturunkan untuk berbagai tipe komunikasi guna mempermudah masyarakat untuk mengenal dan menelaah jalannya proses komunikasi itu sendiri.

Politik hampir sama dengan komunikasi. Ada unsur siapa mendapat apa (who get what). Pada hakikatnya berbicara masalah politik berarti kita berbicara mengenai kekuasaan (power) atau suatu cara untuk memerintah. Beberapa ahli mendefenisikan politik sebagai cara yang dilakukan atau ditempuh seseorang dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mempengaruhi orang lain guna berbuat sesuai yang dikehendakinya. Roger F. Soltau mendefinisikan politik sebagai sesuatu yang menyangkut negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga negara yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain. Disini terlihat sebuah sinkronisasi antara politik dengan komunikasi. Komunikasi adalah proses penyampaian pesannya sementara politik adalah strategi yang digunakan guna mendapatkan apa yang diinginkannya.

Hakikat Komunikasi Politik

Para pakar komunikasi beranggapan bahwa komunikasi mencakup politik. Sementara itu para pakar politik beranggapan bahwa politik mencakup komunikasi. Perdebatan ini menunjukkan taraf signifikansi bahwa komunikasi dan politik saling mencakupi. Kedua bidang kajian ini bergabung dalam satu subdisiplin Komunikasi Politik. Komunikasi politik merupakan modifikasi dan gabungan dari disiplin ilmu komunikasi dan politik namun keduanya saling terkait dengan erat.

Secara sederhana, komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang di dalamnya berisi pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik. Disisi lain komunikasi politik dapat diartikan sebagai komunikasi yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Dalam hal ini yang paling mendasar adalah komunikasi yang dilakukan oleh ”yang memimpin atau memerintah” dengan ”yang dipimpin atau diperintah”. Alur komunikasi yang dilakukan adalah top-down atau bottom-up, maksudnya alur komunikasi politik itu bisa dari seorang atasan kepada bawahan atau dari bawahan kepada atasan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, komunikasi politik selalu hadir menyertai. Bentuk kegiatan komunikasi politik yang sering kita jumpai adalah kampanye politik. Kegiatan ini mampu menyedot perhatian banyak orang untuk terlibat dalam sebuah proses komunikasinya. Biasanya kegiatan ini diselenggarakan menjelang pemilihan umum. Di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila selalu mengadakan pemilu tiap 5 tahun sekali untuk memilih Calon Legislatif, Bupati/Wali Kota, Gubernur, bahkan pada tahap pemilihan Presiden. Pesta demokrasi yang melibatkan massa ini menjadi ajang lobi politik para elit pada masyarakat. Dengan berbagai jargon-jargon yang diusungnya, para calon legislatif (caleg) yang bertarung di pemilu berusaha menarik simpati masyarakat. Dalam kegiatan komunikasi politik fungsi media massa seperti koran, radio, televisi, dan lain-lain hadir sebagai sumber informasi politik, guna implementasi fungsi media massa di bidang komunikasi politik sebagai fungsi partisipasi, fungsi sosialisasi dan pendidikan politik, fungsi mengembangkan budaya politik dan fungsi integritas bangsa.

Pada kenyataannya, komunikasi politik banyak diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan oleh siapa saja: pemerintah, mahasiswa, dosen, tukang becak, penjual sayur, dan seterusnya. Konon lagi jika kita berbicara masalah komunikasi politik para caleg (calon legislatif), menjelang pemilihan umum yang akan berlangsung pada tanggal 9 April 2009 nanti menjadi tolak ukur keberlanjutan demokrasi di Indonesia khususnya di Aceh.

Momen terbesar yang tinggal menghitung hari ini banyak digunakan oleh caleg dari partai peserta pemilu untuk ”melobi” masyarakat agar ia dapat suara terbanyak dan nantinya akan memenangkan pemilu. Kita mengenal bentuk atau jenis komunikasi politik ini, masyarakat awam biasa menyebutnya ”kampanye”. Dalam bukunya ”Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi, dan Komunikasi Politik Indonesia”, Prof. Dr. Anwar Arifn menjabarkan bahwa Kampanye Politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat”. Inilah yang saat ini sedang dkerjakan oleh caleg untuk mendapatkan simpati rakyat.

Media Massa dan Komunikasi Politik Para Calon Legislatif

Media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi konsumsi primer bagi mayoritas penduduk dunia. Tanpa memandang usia, media telah diterima secara terbuka oleh masyarakat. Media merupakan agen penyebaran arus informasi dari dan menuju masyarakat dibelahan dunia mana pun. Kita yang saat ini berada di Indonesia dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi di negara lain. Contonya saja, kita dapat mengontrol jalannya pemilu Presiden di Amerika Serikat. Semua itu karena arus media yang tidak bisa dibendung. Informasi yang disajikan media selalu menarik minat masyarakat untuk menyaksikannya. Indonesia saat ini menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu pada teori “pers tanggungjawab sosial (Social-Responsibility)”. Konkritnya, teori ini mengatakan bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah. Inilah system yang berlangsung di Indonesia.

Ada beberapa fungsi dari media massa yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), mempengaruhi (to influence), dan sebagai kontrol sosial (social control). Sejalan dengan fungsinya yang terakhir media massa dapat ditempatkan sebagai kekuasaan yang keempat (fourth estate), artinya media massa mampu membangun dan meruntuhkan suatu pemerintahan. Ini dilakukan media massa jika pemerintah melakukan pengekangan yang berlebihan dan tekanan kepada media massa. Selanjutnya media massa mempengaruhi kekuasaan rakyat yaitu melalui fungsi mempengaruhinya. Media massa akan menanamkan isu-isu yang menyudutkan pemerintah sehingga rakyat tidak lagi simpati pada pemerintah. Pada akhirnya suatu pemerintahan itu akan runtuh.

Menjelang Pemilu 2009, banyak partai politik dan calon legislatif menggunakan media massa sebagai sarana untuk berkampanye kepada khalayak. Tidak bisa dilepaskan bahwa mempengaruhi dan mengontruksi pikiran masyarakat adalah fungsi utama yang dimainkan oleh sebuah media massa baik cetak maupun elektronik. Inilah yang dilirik bagi sebagian besar partai politik sebagai sasaran empuk untuk menghimpun suara terbanyak dalam pemilu nanti. Kita menyaksikan, betapa banyaknya iklan-iklan yang menampilkan calon dari berbagai partai politik. Khususnya di Aceh, iklan-iklan seperti ini hampir ada di setiap sudut jalan dan tempat yang kita lewati. Ketika jalan-jalan disuatu sore, saya pernah menemukan poster-poster caleg yang ditempel di lingkungan kuburan, hingga seorang teman berkata kepada saya, “Partai politik dan caleg sekarang aneh, lingkungan kuburan pun dijadikan tempat untuk berkampanye, memangnya orang yang sudah meninggal ikut pemilu nanti?”. Mungkin bagi kita terdengar lucu, namun itulah realitanya. Karena ingin mendapatkan simpati publik dan memenangkan pemilu tempat dan tata cara kampanye pun dilupakan.

Beriklan dengan media menimbulkan gengsi tersendiri bagi partai politik. Meskipun harus merogoh kocek dalam-dalam bukanlah menjadi suatu kendala jika dibandingkan denga efek yang akan mereka (partai politik dan caleg-red) terima. Ketenaran dan popularitas di masyarakat adalah imbalan yang setimpal dengan harga iklan melalui media massa sehingga mereka dapat menduduki kursi dewan. Bayangkan saja, harga iklan kampanye di televisi saat ini mencapai angka 1 milyar rupiah. Angka yang fantastis dan sangat besar. Namun kembali lagi kepada hasil yang mereka terima, ketenaran dan popularitas serta kemenangan dalam pemilu.

Tidak ada suatu larangan untuk beriklan di media massa, sebatas tidak menyinggung dan melanggar aturan perundang-undangan. Banyak fakta yang menunjukkan betapa kuatnya peran media massa (TV, Radio, dan surat kabar) dalam memenangkan seseorang dalam pemilu. Contoh kecilnya adalah kemenangan Presiden AS, Barrack Obama. Kelihaian pihak media dalam menyusun tayangan (melalui Agenda Settingnya) yang memperlihatkan karakter Obama yang baik menyebabkan masyarakat bersimpati pada Obama. Bukan hanya masyarakat Amerika, masyarakat dunia menyukai Obama dan mendukung jika Obama terpilih menjadi presiden Amerika menggantikan Bush. Suatu strategi yang sangat baik dijalankan oleh partai politik dalam berkampanye. Ingin cara praktis?, gunakan media massa untuk berkampanye.

Kekuatan tayangan/siaran di media massa tidak terlepas dari kepintaran aktor-aktor di dalamnya. Media massa hanyalah alat, selanjutnya orang-orang yang berada di media itu sendiri yang mengendalikannya, kemanakah arah sebuah media itu akan berjalan, semua tergantung reporter/wartawan, hingga gatekeeper media itu sendiri. Merekalah aktor dan aktris di balik wajah layar media yang kita lihat saat ini. Sama halnya jika kita kaitkan dengan pengaruh media terhadap masyarakat menjelang pemilu 2009. Pihak media, yaitu orang-orang yang bekerja di dalamnya merupakan tokoh utama kesuksesan itu. Kita mungkin pernah melihat, begitu banyaknya iklan-iklan politik di TV, contoh kecilnya saja iklan politik Partai Demokrat Bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kita mungkin belum mengenal siapa SBY sebelumnya, atau kita hanya tahu beliau adalah mantan Menkopolhukam era Megawati. Ketika beliau muncul di TV dengan kampanye politik dan pemaparan program-programnya maka kita menganggap beliau adalah sosok yang cocok memimpin negri ini, alhasil beliau memenangkan pemilu 2004 dan menjadi preseden Indonesia. Media massa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mempengaruhi komunikator (penerima pesan)-nya, sehingga tidak salah jika banyak partai politik menggunakan media massa untuk berkampanye guna memenangkan pemilu 2009.

Menjelang pemilu legislatif pada 9 April 2009 mendatang, para caleg yang bertarung ibarat ”artis film India”. Tebar pesona kesegala penjuru daerah. Disetiap sudut kota bahkan gampong (kampung-red) mustahil kita tidak menemukan atribut kampanye berupa poster, spanduk, bahkan baliho. Isinya pun sama; gambar para caleg lengkap dengan embel-embel kampanye. Ibarat ”cendawan di musim hujan”, para caleg sudah sangat banyak dan atribut kampanye mereka sangat mengganggu baik dari segi kebersihan maupun keamanan berkendara karena ada beberapa atribut kampanye (khususnya bendera) yang penulis temukan menghalangi jalan raya bahkan ada poster yang ditempel menutupi rambu-rambu lalu lintas. Tindakan seperti ini sudah mengarah kepada pelanggaran tata cara kampanye. Bayangkan saja jika di Aceh saja ada 40 partai, tiap partai memiliki minimal 5 calon bisa dibayangkan banyaknya poster, spanduk, dan baliho yang dipasang berjumlah 200 buah dengan ukuran yang berbeda, ini untuk satu lokasi saja.

Jargon-jargon kampanye yang disuguhkan oleh para caleg agaknya berupaya menggaet suara masyarakat untuk memenangkan pemilu kali ini. Banyak kalimat yang dijadikan ”senjata pamungkas” untuk mempengaruhi masyarakat pemilih (terlepas dari peran serta media massa), seperti : ”Muda, Cerdas, Amanah”, ”Berjuang Untuk Rakyat”, ”Awak Geutanyoe Kon Gob Laen”. Embel-embel seperti ini sudah sangat banyak dan hampir muak tiap hari kita lihat. Begitu keluar rumah, kita langsung disuguhi ”kata-kata bijak penyejuk hati” dari caleg. Suatu ketika penulis dapat pesan singkat melalui Hand Phone yang dikirim oleh seorang teman. Katanya seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan saat ini mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI tengah melakukan kampanye tertutup dan menurut si teman ada indikasi kampanye berbalut ”makan gratis”. Memang kampanye tertutup diperbolehkan untuk kampanye menjelang pemilu kali ini, namun seberapa efektifkah kampanye tertutup itu?, konon lagi dilaksanakan berbalut dengan suguhan makanan dan minuman baru selanjutnya melakukan kampanye.

Penulis teringat pada suatu cerita mengenai sebuah negeri yang bernama Batu Gamping, salah satu daerah di tanah Melayu. Ketika itu negeri itu sedang dilanda kekeringa hebat. Sultan memerintahkan untuk segera mengirimkan bantuan agar rakyat di Batu Gamping tidak kelaparan disebabkan bencana kekeringan itu. Namun, pemberian bantuan ini dipergunakan oleh orang-orang yang berhati busuk untuk menjelek-jelekkan Sultan dimata rakyat. Ada hal ganjil saat hendak membagikan bantuan. Rombongan dari istana selalu berpidato membuka aib Sultan terlebih dahulu sebelum membagikan bantuan. Akhirnya rakyat terpengaruh dan menaruh kebencian pada Sulatan yang dianggap tidak peduli pada penderitaan rakyat. Niat busuk ini tercium oleh seorang pemuda kampung yang memiliki otak cerdas dan selalu membaca melalui sesuatu yang tersirat. Si pemuda dengan kecerdasan yang dimilikinya mencoba menyadarkan rakyat terhadap tipu muslihat ini. Pemuda itu menggunakan sengaja mengahdirkan anak-anak yang sedang lapar tepat di samping para rombongan tadi. Tindakan itu dilihat oleh kepala rombongan karena tangisan anak-anak itu terlalu mengganggu. ”Hai pemuda, mengapa mereka menangis?”, ujar kepala rombongan. ”Mereka lapar”, jawab si pemuda. ”Lantas mengapa kau tidak memberi mereka makan?”, balas kepala rombongan. ”Aku memberi mereka makan. Tetapi, saat ini aku sedang menasihati mereka agar mereka dapat mengerti bahwa kampung ini sedang ditimpa kekeringan dan kelaparan”, jawab si pemuda enteng. ”wahai pemuda, sungguh bodoh engkau, mereka lapar. Orang yang lapar harus diberi makan bukan malah diberi nasihat. Kalau perut sedang dalam keadaan lapar bagaimana mereka akan mendengar nasihatmu”, ujar kepala rombongan dengan angkuhnya. ”Hai orang kota, kalian sudah tahu orang lapar ahrus diberi makan bukan nasihat, lantas mengapa kalian menasihati berpidato pada kami dulu sebelum kalian memberikan bantuan?. Bukankah jika perut kami lapar kami tidak dapat mendengar pidato kalian dengan baik?”, jawab si pemuda.

Cerita tersebut setidaknya mewakili apa yang saat terjadi di Aceh dan di beberapa daerah di Indonesia. Para calon legislatif terus memberikan ”nyanyian nina bobo” pada rakyat agar rakyat mau memilih mereka. Dengan berbagai janji manis dan program ”fiktif” caleg berupaya mengelabui rakyat. Kembali lagi pada satu pernyataan bahwa rakyat tidak bodoh. Dalam buku ”Aceh Pungo” karang Taulik Al-Mubarrak (Redaktur Pelaksana Harian Aceh) mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Aceh tidak akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu nanti. Hal terbesar yang menyebabkan keinginan ini terjadi adalah hilangnya rasa percaya masyarakat pada calon anggota dewan. Pertanyaannya adalah apakah masyarakat bodoh?, tidak. Masyarakat memang menginginkan perubahan, namun bukan berarti dengan kata-kata perubahan itu akan terealisasi.

Selain kata-kata pembujuk yang dilontarkan para caleg, permasalahan baru yang timbul adalah munculnya caleg-caleg muda. Mengikuti ungkapan dari sebuah iklan rokok ”yang muda yang tidak dipercaya”, itulah yang timbul di masyarakat. Masyarakat kurang percaya dengan pemimpin muda karena kaum muda dianggap kurang/belum ada pengalaman untuk memimpin atau membuat suatu kebijakan yang memihak rakyat. Dalam sebuah seminar dengan tema ”Merespon Kondisi Kriminalitas Menjelang Pemilu Serta Mencari Solusi Dalam Menjaga Pemilu Damai” yang diadakan di Banda Aceh pada tanggal 11 Maret 2009 bertempat di Sulthan hotel, sorang pembicara mengatakan bahwa perlu adanya kolaborasi lintas generasi dalam menemukan bentuk politik yang ideal dalam membangun Aceh. Ini dimaksudkan pada tidak ada salahnya caleg muda ikut muncul dan ikut bertarung di pemilu nanti karena kaum muda juga memiliki potensi untuk membangun Aceh ke arah yang lebih baik.

Akhirnya rakyatlah yang akan menilai, layak atau tidaknya seorang calon legislatif untuk menduduki kursi dewan. Perlu diingat bahwa rakyat tidak menginginkan kata-kata, tetapi ingin melihat program itu terlaksana dan rakyat bisa tersenyum tanda sejahtera. Rakyat sedang haus kesejahteraan, inilah yang menjadi cambuk bagi caleg guna menyusun program agar terpilih nanti. Sah-sah saja jika para caleg beriklan dengan menggunakan berbagai media selama apa yang dikatakannya dapat dipenuhi ketika sudah menduduki kursi dewan nanti. Kaum muda juga tidak salah jika ikut dalam pesta demokrasi kali ini. Bukankah pemuda juga warga negara yang berhak memilih dan dipilih. Tidak selamanya kaum muda bodoh dan tidak berpengalaman, justru ditangan merekalah masa depan bangsa, negara, dan daerah ini dipertaruhkan.



Referensi :

Drs. Ujang Saefullah, M.Si. Kapita Selekta Komunikasi, Pendekatan Budaya dan Agama. 2007. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, MA. Dinamika Komunikasi. 1986. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Prof. Dr. Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi, dan Komunikasi Politik Indonesia. 2003. Jakarta: PT. Balai Pustaka.

Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi “Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. 2006. Jakarta: Predana Media Group.

Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. 1977. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Riswandi. Ilmu Komunikasi. 2009. Jakarta: Graha Ilmu dan Universitas Mercu Buana.

Prof. Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. 1993. Bandung: Citra Aditya Bakti.

. Dinamika Komunikasi. 1986. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nuruddin, M.Si. Pengantar Komunikasi Massa. 2007. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Harlis Kurniawan. Debat Plus Humor Islami “Melatih Berpikir Kritis dan Berani”. 2006. Jakarta: Rihlah Press.

Taufik Al-Mubarak. Aceh Pungo. 2008. Banda Aceh: Bandar Publishing.

www.google.com, Diakses pada 2 Maret 2009.

“Seminar Sehari; Merespon Kondisi Kriminalitas Menjelang Pemilu Serta Mencari Solusi Dalam Menjaga Pemilu Damai”. Dilaksanakan di Banda Aceh pada 11 Maret 2009 di Sulthan Hotel. Pembicara: Dir Reskrim Polda NAD (Kombes. Pol. Drs. H. S. Maltha, SH. M.Si), Ketua Panwaslu Aceh (Nyak Arif), IDSPS (Mufti Makaarim A.), dan Civil Society Organization (Juanda Djamal).




Geliat Pers Mahasiswa

Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia (dari perang kemerdekaan hingga reformasi)

Keberadaan pers mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia merupakan bukti aktualisasi diri mahsiswa guna merespon isu-isu yang beredar di tubuh mahasiswa dan di tengah masyarakat. Pers mahasiswa merupakan wadah yang menampung ide kreatif mahasiswa yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Mahasiswa terkenal dengan idealismenya yang kuat dan kental dalam memperjuangkan hak rakyat yang tertindas. Hal ini juga merupakan perjuangan yang dilakukan oleh para kuli tinta mahasiswa dalam pergerakannya. Pers mahasiswa merupakan pers alternatif namun tidaklah jauh berbeda dengan pers umum lainnya. Hanya dari segi redaksi dan rubrikasi yang tampak perbedaan diantara keduanya. Media pers mahasiswa lebih condong kepada peliputan seputar mahasiswa dan kebijakan pemerintah yang pada tahap pemberitaannya sangat kritis, keras, dan pedas demi mempertahankan idealismenya sebagai mahasiswa.

Lahirnya pers mahasiswa tidak terlepas dari sejarah perjuangan mahasiswa itu sendiri. Pers mahasiswa lahir sebagai media alternatif untuk penyebaran informasi kepada masyarakat khususnya masyarakat kampus. Berbeda dengan pers profesional lainnya, mayoritas pers mahasiswa menyebarkan informasi terkait dengan isu-isu di kampus mereka masing-masing. Sejarah pers mahasiswa itu sendiri sama dengan sejarah pers pada umumnya. Berawal dari ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, kebangsaan Jerman pada tahun 1456. Penemuan ini merupakan penemuan terbesar seorang tukang emas seperti Gutenberg. Awalnya Gutenberg heran penemuannya bisa melipat gandakan tulisan. Lambat laun temuannya ini menjadi promotor didirikannya percetakan di beberapa Negara di eropa. Sesuai perkembangan jaman, banyak perusahaan penerbitan pers lahir, tidak terkecuali pers mahasiswa.

Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1914-1941, pers mahasiswa Indonesia muncul bersamaan dengan lahirnya Gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia yang diprakarsai oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa. Sesuai dengan konteks waktu pada saat itu, pers mahasiswa lahir sebagai sarana untuk penyebaran ide-ide dan pemikiran yang disebarkan kepada masyarakat akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Penciptaan kesadaran di tengah masyarakat ini sesuai dengan fungsi pers itu sendiri yaitu untuk penyebaran informasi (to inform) dan melakukan kontrol sosial (social control) dan juga untuk mempengaruhi (to influence) khalayak dalam hal ini masyarakat pribumi Indonesia. Pada masa ini bermunculan beberapa organisasi pers pemuda, pelajar, dan mahasiswa seperti Hindia Putra (1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (1938). Organisasi pemuda, pelajar, dan mahasiswa lainnya yang memiliki kesamaan tujuan adalkah Moehammadiah (Pemuda Moehammadiah), Partai Sjarekat Islam Indonesia (Pemoeda Moeslimin), Nahdatul Oelama (Pemuda Ansor) yang melakukan penerbitan secara berkala. Pers mahasiswa ini melakukan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Namun, pada era ini pula pers mahasiswa dianggap kurang professional. Hal ini sesuai pendapat dari Nugroho Notosusanto yang mengatakan bahwa pada masa perang kemerdekaan Indonesia, pers mahasiswa belum memiliki keprofesionalan dalam hal pergerakannya sebagai pers mahasiswa.

Geliat pergerakan pers mahasiswa baru terlihat pada masa setelah kemerdekaan. Di era ini pemuda dan mahasiswa diberikan kesempatan untuk membentuk lembaga seperti halnya lembaga pers mahasiswa. Seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan pers mahasiswa sangat pesat. Ditandai dengan munculnyanya beberapa lembaga pers mahasiswa setelah tahun 1950 seperti Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) yang saat itu diketuai oleh T. Jacob, ada pula Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) yang diketuai oleh Nugroho Notosusanto. Selanjutnya dua lembaga ini digabungkan menjadi sebuah lembaga pers mahasiswa yaitu Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1958. Penggabungan atas dasar pemikiran sulit dibedakannya kegiatan perusahaan pers mahasiswa dan kegiatan kewartawanan pers mahasiswa itu sendiri.

Amir Effendi Siregar dalam bukunya yang berjudul Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1983 mencatat bahwa pada kisaran tahun 1950-an banyak lahir pers mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia. Di Jakarta lahir beberapa pers mahasiswa seperti Akademika, Mahasiswa, Forum, Vivat, Fiduca, Pemuda Masyarakat, PTD-Countrier, Ut Ommes Umum Sint. (GMNI), Pulpus, dan Aesculapium (kedokteran). Mahasiswa di Bandung telah melahirkan lembaga pers mahasiswa juga seperti Bumi Siliwangi (IKIP), Gema Physica, Gunadaharma, Intelegensia (Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung), Mesin, Suluh Pengetahuan, IDEA (PMB, Scientia (FIPIA), Scythesia (CMB-CMI) dan Ganeca. Mahasiswa di Yogyakarta pun tak mau ketinggalan. Mereka berhasil membentuk pers mahaisswa seperti Criterium (IAIN), Gajah Mada (UGM), GAMA (UGM), Media (HMI), Tunas, Pulpus (PMKRI, Pantai Thei (Perhimi), Uchuwah (Islam), Universitas (Komunis). Di Surabaya juga lahir pers mahasiswa yaitu Ut Omnes Umum Sint (GMKI) dan Ta Hsueh Ta Chih. Sedangkan di Makasar lahir pers mahasiswa Duta Mahasiswa (Dema Hasannudin). Di Medan lahir pers mahasiswa Vidia dan Gema Universitas. Di Padang juga lahir pers mahasiswa yaitu Tifa Mahasiswa (Dema Universitas Andalas).

Tantangan dan Hambatan Pers Mahasiswa

Pasca runtuhnya Demokrasi Terpimpin, tampuk kepemimpinan bangsa ini dipegang oleh Soeharto, seorang Jenderal yang berhasil meredam dan membungkam pergerakan PKI pada tahun 1965. Perpolitikan Indonesia memasuki era Orde Baru. Penguasa pada masa itu menjanjikan sebuah kehidupan liberal kepada mahasiswa dan masyarakat. Pada implementasinya penguasa malah memberikan iklim politik yang otoriter. Sistem politik bangsa Indonesia ini akhirnya berdampak kepada pergerakan dan aktifitas para aktifis mahasiswa yang harus kembali ke kampus (back to campus). IPMI yang notabenenya merupakan aliansi mahasiswa Indonesia mengalami krisis identitas. Dengan sangat terpaksa atas dasar peraturan yang diberlakukan pemerintah orde baru IPMI melepas Harian KAMI dan selanjutnya menjadi pers umum. Lambat laun media pers mahasiswa yang ada di luar kampus harus berguguran satu persatu.

Pemerintahan yang otoriter mengancam keselamatan semua lembaga pers. Tidak hanya lembaga pers mahasiswa, pers umum pun terancam keselamatannya. Bagi pers yang melakukan pemberitaan yang keras dan menyudutkan pemerintah akan dikenakan sangsi pembredelan. Tak khayal beberapa pers umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, serta Indonesian Times dibredel karena pemberitaannya terkesan pedas dan keras. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan bagi setiap lembaga pers agar mempunyai Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini guna meredam tulisan-tulisan provokatif yang dilakukan oleh insan pers terhadap pemerintah. Tidak ubahnya dengan keadaan pers mahasiswa. Setelah terjadinya peristiwa pada tanggal 15 Januari 1974 yang sangat tragis dikenal dengan Peristiwa Malari, pemerintah memberlakukan sistim NKK/BKK yang dikeluarkan melalui SK No. 0156/U/1978 oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoet Joesoef pada tanggal 19 April 1979 tentang NKK disusul instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi 002/DK/Inst/1978 tentang pembentukan BKK.

Dikeluarkannya dua surat keputusan ini memaksa semua pers mahasiswa untuk kembali ke “kandang” mereka. Kebijakan ini sengaja dikeluarkan untuk menutup gerak pers mahasiswa yang kritis, pedas, dan berani dalam membeberkan kesalahan-kesalahan pemerintah yang dinilai menyengsarakan rakyat. Dengan kebijakan ini, banyak pers mahasiswa yang dibredel dan akhirnya tidak mampu untuk hidup kembali.

Sementara di Aceh sendiri juga lahir beberapa pers mahasiswa pada era 80-an dan awal 90-an seperti Ar-Raniry Post, Fosma Unsyiah, Ulul Albab IMM, Gebrak, Forum Dakwah (Senat Fakultas Dakwah), Sinar Darussalam, dan lain sebagainya. Namun, dengan sendirinya semua pers mahasiswa ini mundur dengan sendirinya.

Pasca reformasi 1998, gaung pergerakan pers mahasiswa kembali memudar. Keadaan ini menjadi sangat menyedihkan ditengah kebebasan arus informasi dan komunikasi pers mahasiswa malah mengalami kemunduran. Sangat jarang ditemukan mahasiswa menghasilkan sebuah tulisan yang kritis, tajam, dan berimbang. Sangat jarang didapati tulisan dari mahasiswa yang mampu membentuk opini publik. Kalaupun ada, media yang mereka terbitkan kurang atau bahkan tidak lagi diminati oleh masyarakat. Ini terjadi karena pers tidak lagi dijadikan sarana untuk mengaktualisasikan idealisme yang dimiliki oleh mahasiswa.

Jika dulu semua pers mahasiswa memiliki kesatuan ide dan gagasan mengenai pengangkatan isu seputar demokratisasi, keadilan hukum, dan kesenjangan sosial di Indonesia. Sekarang pers mahasiswa sudah terkotak-kotak pada idealisme yang dianut oleh lembaga mereka. Diperparah oleh adanya kelompok mahasiswa yang underbow suatu gerakan politik tertentu. Jika ini terus terjadi maka tidak ada lagi kesatuan pikiran intelektual muda sehingga tidak salah jika kita sering melihat terjadi bentrok antar mahasiswa. Pers mahasiswa saat ini seperti kehilangan rohnya. Tidak ada lagi semangat perjuangan mereka yang berkecimpung dalam pers mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri, saat ini media yang diterbitkan mahasiswa dikalahkan oleh media umum, baik dari segi isi berita yang dihasilkan, banyaknya oplahan, serta target dan strategi distribusinya.

Masih banyak lagi hambatan dan kendala yang dialami oleh pers mahasiswa. Secara umum hambatan dan kendala itu terdiri dari: Internal, Eksternal, dan Finansial. Keadaan internal selalu menjadi permasalahan utama bagi sebuah lembaga pers mahasiswa. Lemahnya kaderisasi, kurangnya SDM, dan konflik internal menjadi contoh kecil dari hambatan itu. Permasalahan inilah yang sampai sekarang sebagian besar pers mahasiswa belum mampu mengatasinya. Belum lagi intervensi (tekanan) dari luar baik berasal dari rektorat, dosen, sesama mahasiswa menjadi kendala eksternal yang mengancam kehidupan sebuah lembaga pers mahasiswa. Meskipun pasca reformasi pers mahasiswa tengah mencari kebebasan dan coba terlepas dari tekanan dari berbagai pihak, namun disisi lain tekanan dari pihak kampus tidak dapat terelakan.Permasalahan finansial selalu menjadi ujung tombak terhadap kompleksitas kendala yang dimiliki oleh pers mahasiswa. Apalagi pers mahasiswa hanya sebagian kecil dari masyarakat kampus dan selalu mendapat suntikan dana utama berasal dari pihak rektorat, semua ini bermuara pada sisi pemberitaannya. Tidak ada lagi pemberitaan yang membongkar aib rektorat karena takut tidak ada lagi ssuntikan dana dan berdampak pada matinya sebuah lembaga pers mahasiswa.

Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat mendesak para aktivis pers mahasiswa untuk terus menggeluti dunia cyber. Ini menjadi solusi bagi sebuah lembaga pers yang memiliki permasalahan di atas khususnya permasalahan finansial. Meskipun tidak terbit cetak, semua berita yang diperoleh penggiat pers mahasiswa dapat di-online-kan. Pembuatan situs website dan blog akan mempermudah dalam penyebaran informasi dan berita karena internet memiliki kelebihan kecepatan dan daya jangkau yang yang luas. Siapa saja biasa mengakses situs tersebut dan memperoleh beritanya. Inilah yang menjadi cikal bakal pers cyber yaitu pers yang menggunakan dunia maya dalam hal penyebaran informasinya. Alhasil, informasi yang sudah dijadikan berita oleh wartawan mahasiswa dapat dinikmati oleh masyarakat luas pengguna internet

Referensi:

Didik Supriyanto, “Menggagas Media Kampus Online.” Makalah disampaikan pada Seminar Cyber Media : Menuju Media Campus Online, 24 Februari 2000 di Kampus UGM Bulaksumur yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan Majalah Mahasiswa UGM Balairung, diakses pada tanggal 2 Maret 2009.

Amir Effendi Siregar. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia. Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: PT. Karya Unipress. Hlm 41.

Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia. 1971. Jakarta: SPS Pusat. Hlm. 91-95.

Didik Supriyanto, 1998. op cit, diakses 2 Maret 2009.

Blog Bungkapit21, diakses 2 maret 2009.

Blog Agus Gussan Susantoro (Presidium Nasional PPMI periode 2000-2001 dari wilayah Jawa Timur), diakses 2 Maret 2009.

Muhammad Hamzah (Mantan Ketua AJI Aceh), disampaikan pada Kegiatan Evaluasi dan ProyeksiPenguatan Program Pers Mahasiswa oleh ACSTF dan YAPIKA di Sabang, 22-25 Februari 2009.

Said Mahyiddin Muhammad, S.Pd.I (Biro Kemahasiswaan Unmuha Aceh), disampaikan pada Kegiatan Evalusi dan Proyeksi Penguatan Pers Mahasiswa oleh ACSTF dan YAPIKA di Sabang, 22-25 Februari 2009.

Minggu, 01 Maret 2009

Keberhasilan Media Massa Dalam Kampanye Menjelang Pemilu 2009

Oleh: Yuhdi Fahrimal[*]

Media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi konsumsi primer bagi mayoritas penduduk dunia. Tanpa memandang usia, media telah diterima secara terbuka oleh masyarakat. Media merupakan agent penyebaran arus informasi dari dan menuju masyarakat di belahan dunia mana pun. Kita yang saat ini berada di Indonesia dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi di negara lain. Contonya saja, kita dapat mengontrol jalannya pemilu Presiden di Amerika Serikat. Semua itu karena arus media yang tidak bisa dibendung. Informasi yang disajikan media selalu menarik minat masyarakat untuk menyaksikannya.

Ada beberapa fungsi dari media massa, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), mempengaruhi (to influence), dan sebagai kontrol sosial (social control). Sejalan dengan fungsinya yang terakhir media massa dapat ditempatkan sebagai kekuasaan yang keempat (fourth estate), artinya media massa mampu membangun dan meruntuhkan suatu pemerintahan. Ini dilakukan media massa jika pemerintah melakukan pengekangan yang berlebihan dan tekanan kepada media massa. Selanjutnya media massa mempengaruhi kekuasaan rakyat yaitu melalui fungsi mempengaruhinya. Media massa akan menanamkan isu-isu yang menyudutkan pemerintah sehingga rakyat tidak lagi simpati pada pemerintah. Pada akhirnya suatu pemerintahan itu akan runtuh.

Apa yang dilakukan media saat ini adalah suatu bentuk kesuksesan yang patut kita acungi jempol. Tanpa ada pengekangan terhadap lembaga media dengan sendirinya menjadikan kebebasan arus informasi mudah diakses oleh masyarakat secara kontinue. Informasi yang disajikan media mampu mempengaruhi masyarakat. Sadar atau tidak, media telah membodohi masyarakat. Dengan tayangan-tayang yang terlalu dibuat-buat, media berhasil mempengaruhi masyarakat hingga mempercayai tayangan-tayangan itu adalah suatu kenyataan.

Menjelang Pemilu 2009, banyak partai politik dan calon legislatif menggunakan media massa sebagai sarana untuk berkampanye kepada khalayak. Tidak bisa dilepaskan bahwa mempengaruhi dan mengontruksi pikiran masyarakat adalah fungsi utama yang dimainkan oleh sebuah media massa baik cetak maupun elektronik. Inilah yang dilirik bagi sebagian besar partai politik sebagai sasaran empuk untuk menghimpun suara terbanyak dalam pemilu nanti. Kita menyaksikan, betapa banyaknya iklan-iklan yang menampilkan calon dari berbagai partai politik. Khususnya di Aceh, iklan-iklan seperti ini hampir ada di setiap sudut jalan dan tempat yang kita lewati. Ketika jalan-jalan disuatu sore, saya pernah menemukan poster-poster caleg yang ditempel di lingkungan kuburan, hingga seorang teman berkata kepada saya, “Partai politik dan caleg sekarang aneh, lingkungan kuburan pun dijadikan tempat untuk berkampanye, memangnya orang yang sudah meninggal ikut pemilu nanti?”. Mungkin bagi kita terdengar lucu, namun itulah realitanya. Karena ingin mendapatkan simpati publik dan memenangkan pemilu tempat dan tata cara kampanye pun dilupakan.

Beriklan dengan media menimbulkan gengsi tersendiri bagi partai politik. Meskipun harus merogoh kocek dalam-dalam bukanlah menjadi suatu kendala jika dibandingkan denga efek yang akan mereka (partai politik-red) terima. Ketenaran dan popularitas di masyarakat adalah imbalan yang setimpal dengan harga iklan melalui media massa. Bayangkan saja, harga iklan kampanye di televisi saat ini mencapai angka 1 milyar rupiah. Angka yang fantasitis dan sangat besar. Namun kembali lagi kepada hasil yang mereka terima, ketenaran dan popularitas.

Tidak ada suatu larangan untuk beriklan di media massa, sebatas tidak menyinggung dan melanggar aturan perundang-undangan. Banyak fakta yang menunjukkan betapa kuatnya peran media massa (TV, Radio, dan surat kabar) dalam memenangkan seseorang dalam pemilu. Contoh kecilnya adalah kemenangan presiden AS, Barrack Obama. Kelihaian pihak media dalam menyusun tayangan (melalui Agenda Settingnya) yang memperlihatkan karakter Obama yang baik menyebabkan masyarakat bersimpati pada Obama. Bukan hanya masyarakat Amerika, masyarakat dunia menyukai Obama dan mendukung jika Obama terpilih menjadi presiden Amerika menggantikan Bush. Suatu strategi yang sangat baik dijalankan oleh partai politik dalam berkampanye. Ingin cara praktis?, gunakan media massa untuk berkampanye.

Kekuatan tayangan/siaran di media massa tidak terlepas dari kepintaran aktor-aktor di dalamnya. Media massa hanyalah alat, selanjutnya orang-orang yang berada di media itu sendiri yang mengendalikannya, kemanakah arah sebuah media itu akan berjalan, semua tergantung reporter/wartawan, hingga gatekeepernya media itu sendiri. Merekalah aktor dan aktris di balik wajah layar media yang kita liat saat ini. Sama halnya jika kita kaitkan dengan pengaruh media terhadap masyarakat menjelang pemilu 2009. Pihak media, yaitu orang-orang yang bekerja di dalamnya merupakan tokoh utama kesuksesan itu. Kita mungkin pernah melihat, begitu banyaknya iklan-iklan politik di TV, contoh kecilnya saja iklan politik Partai Demokrat Bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kita mungkin belum mengenal siapa SBY sebelumnya, atau kita hanya tahu beliau adalah mantan Menkopolhukam era Megawati. Ketika beliau muncul di TV dengan kampanye politik dan pemaparan program-programnya maka kita menganggap beliau adalah sosok yang cocok memimpin negri ini. Media massa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mempengaruhi komunikator (penerima pesan)-nya, sehingga tidak salah jika banyak partai politik menggunakan media massa untuk berkampanye guna memenangkan pemilu 2009.

Lembaga Publisitik Komunikasi & Lembaga Analisis Media Publisistik

(LAMPU Komunikasi)



[*] Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala.

PEMUDA DAN PEMILU 2009

Pemuda merupakan generasi penerus bangsa. Di pundak merekalah harapan Bangsa Indonesia terletak. Tanggung jawab untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sejarah perjalanan Bangsa Indonesia selalu menyertai pemuda yang baik diminta maupun secara sukarela aktif di dalamnya. Bahkan lebih daripada itu, sering kali berbagai peristiwa penting bagi Bangsa Indonesia lahir dari ide, semangat, dedikasi dan kepemimpinan para pemuda. Perjuangan pemuda bagi Bangsa Indonesia dimulai sejak angkatan ’28 menyatukan semangat dan komitmen untuk perjuangan Indonesia. Pemuda yang bagi sebagian besar orang dianggap belum memiliki pengalaman dan pemahaman yang cukup untuk membangun dan memikirkan negara telah membuktikan keberhasilannya menyumbang kemerdekaan bagi seluruh Bangsa Indonesia. Jika kita membuka buku-buku sejarah yang telah usang, maka akan tercantum nama Bung Tomo, Chairul Saleh, dan tokoh-tokoh pemuda lainnya yang dengan penuh semangat menyingsingkan lengan bajunya demi kemerdekaan Indonesia. Hingga saat ini pun nama-nama mereka menjadi semangat para intelektual muda Indonesia untuk membangun Negara ini.

Umumnya pemuda dianggap generasi labil. Mereka masih sangat muda dan memiliki pikiran yang sangat mudah diracuni. Kehidupan pemuda pun dianggap bagaikan hidup yang tidak tentu arah. Pemuda sangat mudah dipengaruhi dengan hal-hal negatif. Banyak fakta mengenai perbuatan negatif pemuda. Pecandu narkoba, seks bebas, tawuran, ugal-ugalan di jalan merupakan contoh kecil dari perbuatan menyimpang yang dilakukan pemuda. Pertanyaan yang patut diajukan adalah jika pemuda sebagai generasi penerus saja sudah rusak seperti itu, siapa kelak yang akan menjadi pemimpin negeri ini?, siapa yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk negeri ini jika putra-putrinya seperti itu?.

Perlu disadari, tidak semua pemuda Indonesia seperti itu. Buktinya banyak pemuda yang mampu menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Menyumbang prestasi mereka demi mengharumkan nama Indonesia di mata dunia, baik dari bidang akademik maupun olahraga. Jadi, perlu kiranya mengurangi pola pikir negatif yang berkembang dalam masyarakat mengenai pemuda. Pemuda memiliki perbuatan menyimpang merupakan akibat dari globalisasi dan modernisasi yang dianggap sebagai westernisasi, selain itu kontrol yang kurang dari para orang tua membuat pengaruh buruk ini terus berkembang di lingkungan pemuda.

Sebelum kita berbicara mengenai peran pemuda dalam pemilu 2009, ada baiknya kita melihat sistem politik Indonesia dan sejarah perkembangan pemilu di Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang telah lama menganut sistem demokrasi. Dimulai dari demokrasi konstitusionil, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi pancasila. Demokrasi tersebut secara tidak langsung telah menempatkan masyarakat khususnya pemuda untuk menunaikan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Hal yang paling penting dalam demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Pesta demokrasi (pemilu) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali menjadikan demokrasi di Indonesia terasa begitu berkesan. Namun apakah pelaksanaan demokrasi itu telah sepenuhnya dilakukan dan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat?. Beda rezim beda pula cara berdemokrasinya.

Bukti peran serta pemuda tidak hanya berperan dalam menyumbang kemerdekaan bagi Indonesia. Lebih dari itu, peran pemuda dan mahasiswa mampu menjatuhkan suatu rezim. Banyak pemimpin yang jatuh karena pemuda dan mahasiswa. Rezim orde lama jatuh karena pemuda dan mahasiswa angkatan ’66. Rezim orde baru runtuh karena pemuda dan mahasiswa angkatan ’98, bahkan Gus dur lengser karena pemuda dan mahasiswa tahun 2001.

Pada era orde baru keberadaan partai-partai politik ditekan. Dari 10 partai yang semula bertarung pada pemilu 1971 diciutkan menjadi dua partai politik dan satu golongan. Partai-partai politik yang berhaluan agama digabungkan menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai politik yang berhaluan nasionalisme digabungkan menjadi satu partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jumlah partai yang sedikit menyebabkan pemerintahan berjalan baik. Namun perampingan partai politik ini menjadikan demokrasi tidak sehat. Hal ini terbukti dari wewenang legislatif yang banyak dipengaruhi oleh lembaga eksekutif. Kebebasan rakyat untuk berdemokrasi secara sehat pun dikekang. Pemuda dan mahasiswa tidak dibenarkan untuk mengikuti politik praktis, kecuali mereka yang mendukung dan loyal terhadap Soeharto.

Setidaknya ada enam kali penyelenggaraan pemilu dibawah kekuasaan Orde Baru dan itu sudah cukup menunjukkan keberhasilan Orde Baru menjaga keberkalaan pemilu itu sendiri. Namun itu bukanlah hal penting karena pada praktiknya pemilu-pemilu Orde Baru menghasilkan pola perimbangan antarkekuatan politik yang khas dan terjaga. Golkar selalu menjadi pemenang dengan perolehan suara mayoritas mutlak, ditengah-tengah tingginya tingkat partisipasi "mobilisasi" rakyat. Keberkalaan yang terjaga itu tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pemilu secara signifikan. Kemenangan demi kemenangan Golkar dicapai melalui praktek-praktek politik yang nyata-nyata tidak elegan dan tidak sehat.

Dengan bentuk penyelenggaraan pemilu macam itu tak aneh jika hampir di setiap kampanye diwarnai dengan bentrokan. Wajarlah pada akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:

"Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah". Kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai."

Setelah rezim orde baru diruntuhkan pemuda dan mahasiswa tahun 1998, haluan demokrasi berbalik arah. Rakyat bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat asalkan sesuai dengan fakta dan bukti nyata. Rakyat pasti akan mengetahui jika ada penyimpangan dari arah reformasi. Sehingga bukan hal aneh bila penerapan perampingan parpol seperti yang dilakukan pada masa rezim orde baru diberlakukan lagi pada masa reformasi. Adapun tujuan dari perampingan parpol bukan sekadar membuat para pendiri partai maupun kader partai lebih bertanggung jawab, namun juga ditujukan agar hubungan antara pemerintah dan DPR terjalin lebih baik.

Sistem multi-partai yang kembali diterapkan pascareformasi belum cukup mampu melahirkan politisi berkualitas dan berintegritas. Hasil survei sejumlah lembaga independen selama beberapa tahun yang menempatkan DPR dan partai politik sebagai salah satu institusi paling korup, sedikitnya membuktikan multipartai belum berada di jalur yang benar.

Antara perlunya perampingan jumlah partai politik dan pentingnya menganut multipartai sempat menimbulkan kontroversi yang cukup panjang. Lahirnya Undang-undang partai politik yang baru akan cukup mampu menjawab tuntutan untuk menghasilkan partai politik berkualitas. Undang-undang ini sedikitnya memberikan aturan yang ketat terhadap partai politik. Misalnya, partai peserta Pemilu diharuskan melewati dua kali proses verifikasi oleh KPU khususnya terhadap partai politik yang baru, beberapa partai nasional, beberapa partai agama, beberapa partai pekerja, atau partai kalangan tertentu sudah cukup mewakili seluruh rakyat di negeri ini. Di Aceh hadirnya partai-partai politik lokal sebagai implementasi undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahn Aceh harus juga melewati tahap verifikasi dari KPU. Terbukti bahwa dari sekian banyak partai lokal yang ada hanya 6 partai lokal yang dinyatakan lulus verifikasi oleh KPU dan berhak mengikuti pemilu 2009.

Undang-undang partai politik ini akan memberi keleluasaan kepada masyarakat sehingga masyarakat akan mudah memonitor, parpol mana yang kampanye teriak membela rakyat tapi di gedung senayan saat voting malah menjilat ludahnya sendiri. Undang-undang ini juga memberi kebebasan bagi kalangan yang tidak mampu lolos bisa bergabung dengan parpol yang telah ada atau dengan merubah manajemen partai tersebut sesuai pemahaman diantara mereka, kemudian bersama-sama bergerak untuk membentuk partai yang besar, kuat, dan dipercaya masyarakat.

Dalam catatan sejarah demokrasi Indonesia yang paling signifikan mengalami perubahan dalam kehidupan politik bangsa Indonesia adalah dilaksanakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Inilah untuk pertama kalinya rakyat Indonesia menentukan sendiri presidennya. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten pun dilaksanakan secara langsung, untuk pertama kali pada tahun 2005.

Disahkannya undang-undang kepemudaan telah memberikan kebebasan bagi pemuda untuk bertarung dalam pemilu baik diusung oleh partai politik maupun dari calon perorangan. Tentunya pemuda yang ikut pemilu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Namun, kiprah pemuda dalam politik belum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis multi-dimensi yang berkepanjangan. Pemuda yang ketika masih menjadi aktivis sangat kelihatan idealismenya, turun ke jalan meneriakkan reformasi dan tegakkan demokrasi. Namun, setelah duduk di parlemen tidak terdengar teriak lantangnya untuk memperjuangkan nasib rakyat yang masih dalam kesulitan. Bahkan ada tokoh pemuda yang duduk di parlemen tersangkut kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Tentu hal ini bertentangan dengan peran pemuda sebagai pelopor perubahan. Tetapi, harus diakui ada pula pemuda yang terjun dalam politik tetap menjaga idealismenya dan tidak segan-segan menentang ketidakadilan, bahkan berani mengundurkan diri dari jabatannya.

Ketika orientasi pemuda yang terlibat dalam dunia politik adalah untuk mencari uang, maka nilai-nilai jiwa idealisme yang diperjuangkan ketika menjadi aktivis pemuda maupun aktivis mahasiswa akan luntur. Tidak akan ada lagi keberanian untuk menyampaikan kepentingan rakyat yang tidak ada hubungannya dengan kelanggengan kekuasaannya, hal ini memang banyak menimpa tokoh pemuda kita.

Pemilu 2009 yang akan dilaksanakan 9 April 2009 mendorong semua partai politik untuk mempersiapkan langkah dan menyusun program-program yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Multi-partai yang kembali dianut Indonesia menyebabkan partai politik susah menjaring kader bagi partainya.

Semua partai politik menawarkan program dan calon yang berkualitas menurut mereka. Pemuda pun tidak terlepas dari lirikan partai-partai politik. Baik pemuda yang memang berkualitas dan memiliki idealisme nasionalis tinggi, sampai pemuda yang tidak mengerti apa-apa tentang birokrasi. Partai politik hanya menginginkan kemenangan mutlak bagi partainya dan mungkin selanjutnya mengabaikan kesejahteraan rakyat.

Dominasi pemuda yang akan bertarung dalam pemilu 2009 nanti sudah terlihat dalam daftar calon sementara yang telah diumumkan oleh KPU. Hanya saja tetap akan menjadi pertanyaan mampukah pemuda yang akan duduk di parlemen benar-benar bisa memperjuangkan nasib bangsa ini keluar dari masa transisi dan krisis yang berkelanjutan? Optimisme harus tetap dijaga dengan cara menumbuhkan kesadaran bahwa keterlibatan pemuda dalam dunia politik adalah sebuah pengabdian yang tulus untuk membangun cita-cita bangsa yang telah diperjuangkan sejak zaman penjajahan. Untuk menjaga idealisme sebetulnya tidak sulit, asalkan kita paham aturan-aturan yang berlaku, dan tidak menyiasati aturan untuk kepentingan pragmatis, serta menyadari kekuasaan yang berlebihan cenderung akan menjadi korup. (Referensi: dari berbagai sumber).

Kata Bijak Penyejuk Hati

· Kalau cari kerja untuk mencari uang, cari uang untuk cari makan, makan untuk kerja, dan kerja untuk cari uang lagi, apa bedanya manusia dengan kambing?

· Obat lapar adalah makan, obat haus adalah minum, obat mengantuk adalah tidur, obat hati adalah nasihat yang baik.

· Jika kita berkerja keras untuk kehidupan kita, berarti kita makan keringat kita sendiri. Sedangkan jika kita mengambil hak orang lain maka kita tidak ubahnya seperti kambing yang memakan rumput.

· Kedudukan manusia itu lebih tinggi dari makhluk apapun di dunia ini, namun kita tetaplah rendah di mata Allah, hanya iman yang membuat kita tinggi di sisi Allah SWT.

· Tidak semua binatang menyukai pisang, tidak semua manusia menyukai ceramah.

· Pakaian dan kedudukan tidaklah dapat meningkatkan derajat kita dihadapan Allah.

· Hidup itu hendaklah seperti korma, “tidak berbau tapi enak rasanya”.

· Kalau kau tahu akan tersesat, janganlah kau ajak orang lain bersamamu.

· Sifat manusia bagai warna langit, biru ketika siang dan hitam ketika malam.

· Janganlah menangisi seseorang yang meninggal dunia dengan husnul khatimah, karena Allah telah menjanjikan surga baginya.

· Jika kau tidak ingin pakaianmu kotor maka jangan berjalan ditengah debu.

· Tidak semua buah yang kulitnya tidak enak maka isinya pun tidak enak.

· Tidak ada harta waris yang nilainya melebihi iman dan Islam.

· Janganlah suka berdebat untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

· Umat Islam laksana satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit maka anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya juga.

· Janganlah mencampur adukkan antara yang halal dengan yang haram karena jika yang halal dicampur dengan yang halal saja terasa tidak enak, bagaimana ika yang halal dicampur dengan yang haram?

· Ulama itu bagaikan nakhoda dan ilmunya ibarat kapal. Nakhoda dan kapal adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika kapalnya sudah memenuhi syarat untuk berlayar, niscaya nakhodanya adalah orang yang memperhatikan keselamatan para penumpangnya.

· Kedududkan tinggi tidak akan membuat seseorang menjadi pandai.

· Tidak semua tempat yang tidak baik akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik.

Yuhdi Fahrimal 2008