Jumat, 08 Mei 2009

Khanduri Laot: Wujud Syukur Nelayan Aceh

Adat dan tradisi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Seperti halnya tradisi khanduri laot. Trasdisi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat daerah pesisir Aceh. Tradisi yang sudah menjadi turun-temurun bagi nelayan Aceh ini merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan ketika mereka mendapat hasil yang banyak. Kadang-kadang saat pergantian panglima laot juga dilakukan khanduri laot.

Bagi masyarakat Aceh, khanduri laot merupakan bentuk rasa syukur kepada sang Khalik atas limpahan rahmat-Nya, laot (laut) yang menjadi tumpuan hidup masyarakat pesisir Aceh menjadi lebih berkah. Khanduri Laot merupakan kearifan lokal Masyarakat Aceh. Selain menjadi wujud syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan Allah, khanduri laot dilakukan untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.

Secara historis, tradisi khanduri laot memiliki nilai yang cukup dalam. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, asal mula khanduri laot dilatarbelakangi karamnya kapal seorang panglima Aceh yang kala itu pergi melaut. Panglima diselamatkan oleh seekor lumba-lumba yang mengantarkannya ke daratan. Sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan sang panglima maka diadakanlah khanduri laot selama tujuh hari-tujuh malam. Seperti halnya ritual lain, khanduri laot juga memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan itu dibagi kedalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan upacara. Pada tahap persiapan masyarakat mempersiapkan sajian makanan yang akan diberikan pada tamu-tamu dan warga masyarakat yang mengikuti upacara. Perahu yang akan digunakan untuk mengangkut makanan ke tengah laut juga harus dipersiapkan. Tidak lupa juga perlengkapan peusijuk yang menjadi prosesi utama dalam khanduri laot.

Tahap selanjutnya adalah upacara memandikan kerbau yang aka disembelih. Upacara ini dilakukan oleh Panglima Laot. Setelah itu, kerbau dipeusijuk yang diawali oleh panglima laot, diikuti oleh imum dan tokoh masyarakat. Saat prosesi mempeusijuk kerbau, masyarakat akan membaca takbir dan membaca shalawat Nabi SAW.

Kerbau tersebut akan disembelih. Lalu dagingnya dimasak bersam-sama dalam sebuah kuali besar. Setelah masak, masyarakat yang mengikuti prosesi khanduri laot tidak dibenarkan mengambil makanan apapun, baik daging kerbau atau yang lainnya sebelum ada perintah dari panglima laot dan pihak panitia. Daging kerbau dipisah, sebagian dinaikkan ke perahu dan sebagian lainnya disisakan untuk disantap bersama.

Daging yang ada dalam perahu dibawa ke tengah laut untuk diletakkan di karang. Di dalam perahu juga ada ustadz, panglima laot, tokoh adat yang berfungsi membacakan do’a saat ritual membuang daging ke karang.

Bagi para nelayan, khanduri laot merupakan ritual penting yang harus diadakan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan. Ismail Arahman (70 tahun), salah seorang nelayan di Lampulo, Banda Aceh mengatakan bahwa sudah sejak lama sekali tradisi khanduri laot ini dilakukan. Ini sebagai bentuk rasa syukur dari kita kepada Allah SWT sebagai pemberi rejeki.

”Meunyo hana ta peuget khanduri laot na bencana nyang teuka (kalau khanduri laot tidak dilaksanakan maka akan ada bencana yang melanda)”, ujar pria paruh baya itu.

Bagi Ismail, khanduri laot mesti diadakan, agar para nelayan selamat di lautan dan hasil tangkapan juga melimpah. Lelaki asal Krueng Manee, Aceh Utara ini mengisahkan pernah pada suatu ketika khanduri laot tidak diadakan oleh para nelayan. Akhirnya seorang nelayan meninggal ketika melaut. Setelah kejadan itu barulah para nelayan dan warga pesisir mengadakannya.

Untuk pembiayaan pelaksanaan khanduri laot, dibebankan kepada tiap-tiap tauke boat (pemilik perahu). Biasanya tiap-tiap boat harus membayar lebih kurang Rp. 5.000.000,-. Biaya yang terkumpul akan diperguanakan untuk membeli keperluan upacara.

Dalam khanduri laot biasanya diundang anak-anak yatim, pejabat, ustadz. Orang-orang yang melintas juga dipanggil untuk ikut serta.

”Meunyoe na ureueng lewat dihoi, mangat ikot di khanduri (setiap ada orang yang melintas dipanggil, disuruh ikut khanduri”, tutur Ismail membetulkan topinya yang sudah agak memudar.

”Khanduri laot nyoe hana tiep thon thon dipeuget, kadang-kadang limong thon sigoe (Khanduri laot ini tidak setiap tahun dibuat, kadang-kadang lima tahun sekali)”, ujar Ismail sambil menjahit pukatnya yang robek.

Meski ada kontrofersi mengenai khanduri laot ini. Bagi sebagian masyarakat, khanduri laot merupakan perbuatan syirik. Bagi Ismail, khanduri laot merupakan warisan endatu moyang (nenek moyang) manusia. Tidak ada unsur syirik dalam pelaksanaan khanduri laot. Menurutnya khanduri laot harus tetap ada karena tradisi ini sudah ada sepanjang sejarah manusia ada di dunia ini.