Selasa, 18 Agustus 2009

Es Dawet; Kuliner Baru di Banda Aceh

Kehadiran es dawet menambah ragam kuliner di Banda Aceh. Minuman yang berasal dari Bandung ini baru 3 bulan beredar di Banda Aceh.

Untuk pemasaran, dilakukan dengan menggunakan gerobak yang dibawa berkeliling oleh seorang penjual. Menurut salah seorang penjual es dawet yang enggan menyebutkan namanya, ketika dijumpai saat melintas di jalan T. Iskandar, Beurawe (Jum’at, 24/7), sekarang sudah ada 25 gerobak yang beroperasi di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Minuman yang berbahan dasar cendol, gula merah, dan santan ini dijual Rp. 3000/cup. Muharir (22 tahun) seorang pembeli es dawet mengatakan minuman ini sangat nikmat.

”Es dawet ini segar, apa lagi diminum siang hari yang panas seperti ini”, Ujar Muharir, warga Lhong Raya yang membuka toko buku di kawasan Beurawe.

Bagi Muharir, es dawet tidak hanya sekedar nikmat, namun juga memiliki daya tarik lainnya, seperti desain gerobak dan pakaian yang digunakan penjualnya.

”Baru kali ini saya melihat ada penjual minuman yang memakai seragam dan membawa gerobak yang unik”, tukas Muharir.

Wartawan dan Konsekuensinya

Tantangan terbesar dari seorang jurnalis adalah ketika karir dan nyawa mereka teracam oleh pemberitaan yang mereka lakukan, meskipun itu demi kebenaran. Beberapa kasus telah menunjukkan betapa beresikonya pekerjaan ini. Dalam bukunya ”Kapita Selekta Komunikasi; Pendekatan Budaya dan Agama”, Drs. Ujang Saefullah menyatakan bahwa menjadi seorang jurnalis merupakan sebuah tugas mulia namun penuh resiko. Mulia karena jurnalis merupakan pembawa pesan atau informasi kepada publik, apa yang berhak diketahui oleh publik.

Bisa dibayangkan betapa besar jasa seorang jurnalis dalam menyampaikan informasi kepada publik mengenai suatu hal yang selama ini sengaja ditutup-tutupi untuk diketahui publik. Jurnalis bisa membongkarnya dan menyuguhkan beritanya kepada publik. Misalnya saja Ersa Siregar, waartawan RCTI yang menjadi sandera dan akhirnya meninggal saat melakukan liputan Darurat Militer di Aceh. Ada lagi wartawan SCTV yang menjadi korban saat meliput KMP Livina. Banyak contoh yang bisa menjadi pelajaran untuk kita, bahwa betapa beresikonya pekerjaan jurnalis atau wartawan tersebut. Pun demikian inilah resiko dan konsekuensi yang harus diterima oleh jurnalis untuk mendapatkan sebuah berita.

Jika menelaah kasus yang diberikan, berita digunakan sebagai alat tawar menawar iklan, ini merupakan kasus terumit karena menyangkut informasi publik dan karir sang wartawan itu sendiri. Misalnya saja wartawan membeberkan sebuah penyelewengan oleh sebuah Bank. Pihak manajemen bank tersebut mengetahui bahwa berita mengenai penyelewengan tersebut akan dimuat di beberapa media. Lantas pihak bank melakukan lobi kepada pihak manajemen media, dengan dalih pemasangan iklan dengan biaya tinggi dan feedback-nya adalah pengurangan isi berita yang terlalu tajam atau bahkan tidak jadinya pemuatan berita tersebut.

Sebuah kasus yang sangat disayangkan bila memang terjadi. Keprofesionalan seorang jurnalis seakan sengaja dikebiri dengan dalih industri media. Memanglah media butuh hidup, salah satunya dari pemasangan iklan, namun tidak serta merta membuang berita yang seharusnya menjadi hak publik. Pembuangan berita ini bisa menjadi pembohongan terhadap publik. Akibatnya adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap pers dan medianya. Dapat dibayangkan berapa banyak korban yang akan kena imbas dari tidak dimuatnya pemberitaan tersebut hanya karena pemuatan iklan. Hal seperti ini dapat dikategorikan pada tidak adanya kebebasan pers. Masih berlakunya self-cencorship dari manajemen pers hanya demi sebuah iklan.