Kamis, 03 Desember 2009

[ME]MAKNAI KEBEBASAN PERS


”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” (UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers)

Dalam pengertian ini berarti sudah menjadi tanggung jawab pers untuk menyiarkan informasi kepada masyarakat dalam perannya sebagai lembaga komunikasi massa. Jika kita melirik kepada Pers yang ada di Indonesia, maka yang didapat adalah pers bebas bertanggung jawab. Bebas dalam arti bahwa pers di Indonesia dapat mencari, meliput, mengumpulkan, serta menyiarkan berita yang layak dan berhak diketahui oleh khalayak, dan bertanggung jawab berarti tidak ada berita yang melanggar etika dan norma moral yang dianut oleh masyarakat, termasuk di dalamnya tidak menghina SARA.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, berarti Indonesia juga memiliki kemajemukan dalam kultur, adapt istiadat, agama, suku, dan lain sebagainya. Dalam hal ini pers diharapkan mampu mengakomodir kemajemukan itu sendiri. Hal ini sesuai cerminan dari pers nasional sebagai pers pemersatu bangsa.

Setidaknya kita bangga dengan pencapaian pers nasional saat ini. Pasca reformasi, keran kebebasan pers sudah terbuka lebar. Arus informasi terbuka untuk umum. Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi, tidak ada lagi yang disembunyi-sembunyikan, semua berhak diketahui, semua berhak diungkapkan. Sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta kebebasan dalam memperoleh informasi dan mengemukakan pendapat dijamin oleh negara.

Sebuah prestasi yang membanggakan memang, jika dibandingkan dengan kehidupan pers pada masa sebelumnya. Jika kita buka kembali sejarah, maka akan kita temukan masa kelam pers di Indonesia, masa ketika kebebasan pers itu dirampas, masa itu adalah saat Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto berkuasa di Negeri ”rayuan pulau kelapa” ini. Kehidupan pers sangat tergantung mood (perasaan-red) pemerintah. Pemerintah merasa berhak untuk mengetahui segala sesuatunya. Tidak ada berita yang tidak luput dari pantauan pemerintah. Ketika itu ada sebuah departemen yang sengaja dibentuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk ”membungkam” pers, Departemen Penerangan namanya. Melalui Departemen Penerangan (Deppen) pemerintah mengeluarkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dimana setiap lembaga pers harus memilikinya. Untuk ijin, setiap tahunnya harus diperpanjang dengan persetujuan pemerintah dengan melihat track record lembaga penerbitan pers itu sendiri.

Sebelum terbit, semua berita harus diberitahukan dulu kepada Kementerian Penerangan untuk dilihat, mana berita yang layak terbit dan mana berita yang harus ditunda atau sama sekali tidak boleh terbit, atau jika bersikeras untuk menerbitkan berita yang menurut pemerintah terlalu ”vulgar”, maka Surat Ijin Terbit (SIT) akan dicabut. Aturan ini bukanlah aturan baru, ini aturan warisan dari penjajah kolonial Belanda. Dulu dikenal aturan bernama Haatzaai Artikelen yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda.

Atas dasar percepatan pembangunan - alasan pemerintah saat itu - pers yang menguntil ”kamar tidur” pemerintah akan dibreidel bahkan dicabut SIUPP-nya. Misalnya saja pada tanggal 21 Juni 1994 terjadi pembreidelan tiga lembaga pers yaitu Detik, Editor, dan Tempo hanya karena masuk dalam daerah intim pemerintah, bahkan Tempo mendapatkan breidel untuk kedua kalinya dari pemerintah. Bukan hanya tiga media ini yang pernah mendapat ”kado istimewa” atas ketidaksukaan pemerintah orde baru atas berita-beritanya, ada puluhan media yang harus gulung tikar akibat SIT dan SIUPP-nya dicabut, dan kejadian ini bukan hanya tahun itu terjadi, bahkan hampir selama pemerintah orde baru berkuasa banyak media yang harus tutup atau ditutup.

Pun demikian, tidak semua pers pernah mengecap breidel pemerintah. Hanya pers yang berani mengungkapkan fakta dan benar-benar membela kepentingan masyarakatlah yang dapat kisah suram itu. Sedangkan lembaga pers yang berada di bawah ketiak pemerintah hanya memberitakan yang baik-baik saja dan jika memang dirasa perlu mengungkap tabir kebobrokan pemerintah, itu hanya dalam lingkup kecil dan tidak mendalam, terkadang juga dengan polesan-polesan kalimat yang tepat atau bahkan sengaja diganti dengan isu lain agar tidak membuat pemerintah marah.

Semua kepahitan ini harus diterima pers dan jurnalisnya hanya karena mempunyai ideologi membela kepentingan rakyat, dan benar-benar menjalankan fungsi kontrol sosial, disaat pers memang menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999, malah dianggap salah oleh pemerintah. Benar apa yang dikatakan pepatah, ’jika kita hendak berbuat benar maka akan ada saja pihak yang tidak senang’. Demikian pula halnya dengan media.

Tidak saja media di Indonesia yang mendapat ”kado” ini, media Internasional yang masuk lima kategori Pulitzer (sebuah penghargaan bergengsi dalam dunia jurnalistik), The New York Times pernah mendapat gugatan karena menulis tentang Indonesia. Bukan hanya bentuk gugatan dengan denda yang lumayan banyak di pengadilan, bentuk protes dari orang-orang yang tidak senang terhadap suatu pemberitaan bisa berakibat lebih fatal lagi. Tempo, sudah pernah merasakan kantor redaksinya diobrak abrik, pemimpin redaksinya dipukul, medianya juga digugat, hanya karena Tempo menurunkan berita tentang kebakaran pasar Tanah Abang pada tahun 2003 yang membawa-bawa nama Tommy Winata. Sebuah resiko yang sangat berat, meskipun pekerjaan mulia dilakukan. Lantas bagaimana perlindungan negara terhadap pers itu sendiri?, inilah yang harus dikaji ulang dan menjadi ”pekerjaan rumah” bagi pemegang kekuasaan di negara ini, untuk selanjutnya menuangkan dalam bentuk undang-undang guna melindungi pers secara keseluruhan bukan sekedar perlindungan keselamatan dan advokasi hukum namun juga menjamin kesejahteraan hidup insan pers agar kebebasan pers terlaksana seperti yang diharapkan.

Makna Kebebasan Pers

Sebuah negara yang merdeka, maka ia harus memiliki pers yang merdeka pula. Kiranya hal inilah yang perlu kita renungi bersama. Apakah pers dinegara kita memang sudah merdeka atau bebas dari tekanan dari mana pun. Atau jangan-jangan pers di negara kita ini ”makan hati” karena tekanan dari berbagai pihak.

Secara kasat mata, keterbukaan informasi dan lahirnya undang-undang pokok pers nomor 40 tahun 1999 menggantikan undang-undang nomor 21 tahun 1982 adalah sebuah pencapaian yang membanggakan. Reformasi bukan hanya dilihat dari segi berubahnya tata laksana pemerintahan namun juga berubahnya keadaan yang dialami pers itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, pers juga menjadi penentu terciptanya iklim demokrasi pasca 1998 di Indonesia. Saat para mahasiswa dan rakyat turun ke jalan, meneriakkan hati nurani yang sudah terinjak-injak, pers membantu melalui tulisan-tulisan jurnalisnya. Mereka menanamkan di benak rakyat, bahwa perjuangan membela kebenaran harus tetap diperjuangkan. Ketidakadilan harus dimusnahkan dari bumi pertiwi Indonesia, meskipun tidak jarang pers sendiri berbenturan dengan keinginan pemerintah.

Orde Baru memang sudah rubuh, saat ini tinggal masa reformasi yang menanti untuk dititi. Tidak ada lagi akses langsung pemerintah kepada pers. Hubungan trikotomi sudah tertata dengan baik, namun yang menjadi permasalahannya saat ini adalah apakah pers kita memang sudah bebas?.

Sebuah pertanyaan yang harus digali lagi jawabannya. Kembali lagi saya tekankan, secara kasat mata pers kita memang sudah bebas tapi jika kita mau membuka mata dan melihat lebih dalam, masih ada sekat-sekat kepentingan yang menekan pers untuk bebas. Pemerintah tidak lagi membuat aturan yang menekan – dibuktikan dengan dibubarkannya Departemen Penerangan - sekarang sudah ada aturan baru yang tidak keras secara fisik, namun sangat ”kejam” dalam prakteknya. Anggap saja undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang keuangan, undang-undang kekayaan, undang-undang Rahasia Negara, dan lain sebagainya. Setidaknya undang-undang ini menjadi penghalang bagi pers itu sendiri untuk mendapatkan dan menggali isu lebih dalam lagi. Hal ini juga membuktikan bahwa betapa lemahnya undang-undang pers dimata undang-undang lain. Untuk itu dirasa sangat perlu untuk merevisi kembali undang-undang pokok pers tersebut agar tidak terjadi benturan-benturan dengan undang-undang atau aturan lainnya yang dibuat pemerintah sehingga berdampak pada tidak leluasanya kerja jurnalistik itu sendiri.

Bentuk pengekangan bukan hanya berasal dari pemerintah. Pasca reformasi persaingan media sangat tinggi. Misalnya saja perusahaan televisi terus bersaing untuk menghadirkan berbagai acara - terkadang keluar dari batas kewajaran suatu tayangan - demi sebuah rating. Media-media cetak saling bersaing mengeluarkan berita-berita ”panas” hanya untuk mendongkrak oplahnya. Sebuah pemandangan yang miris kita saksikan. Media yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan malah menjadi media ”pembodohan”. Tidak usah terlalu jauh kita membahas ini, karena media itu kan butuh makan. Toh sudah ada kode etik yang mengatur mereka, jika tidak senang laporkan saja ke Dewan Pers atau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), tapi seberapa besar wewenang Dewan Pers dan KPI, patut dipertanyakan.

Selain persaingan media yang tinggi, kehidupan pers juga dikekang oleh pemilik media itu sendiri. Hanya segelintir orang yang tahu, pemilik media atau pemegang saham di salah satu media juga merupakan pemilik perusahaan lain. Sang penguasa media selalu mengontrol dapur redaksi, jika ada berita-berita yang akan mengganggu sahamnya di perusahaan lain, maka ia akan melarang berita itu terbit. Praktek ini sebenarnya sudah lama terjadi di dapur media. Ada permainan dan dominasi dari pemilik media untuk dalam menentukan isu mana yang layak diangkat dan tidak layak untuk diangkat, mau tidak mau atau suka tidak suka para jurnalis harus menurutinya walau bathin mereka menjerit karena harus menutupi informasi yang seharusnya diketahui publik.

Apa yang terjadi saat ini bolehlah ini kita sebut sebagai pengekangan bentuk baru, meskipun prakteknya sudah lama dilakukan. Perbedaannya adalah jika dulu media dikontrol secara penuh oleh pemerintah, sedangkan saat ini media dikekang oleh kekuasaan pemilik media, alasan yang dapat diterima logika adalah baik orde baru maupun pemilik media sama-sama mengekang jurnalis dan kamar redaksi untuk kelanggengan kekuasaan dan kebebasan ekonomi individu.

Ketika suatu waktu jurnalis ingin menulis mengenai skandal sebuah perusahaan logam, maka itu tidak akan terlaksana karena salah satu pemilik saham di perusahaan logam itu adalah pemilik media tempat jurnalis tersebut bekerja. Selama ini kita hanya mempermasalahkan mengenai etika wartawan. Kita selalu menilai berita-berita yang dimunculkan wartawan saat ini tidak berbobot, namun kita tidak pernah mau tahu mengapa mereka melakukan itu dan atas perintah siapa. Pilihannya hanya dua, ikuti kemauan pemilik media atau hengkang dari media tersebut. Jurnallis juga manusia, mereka butuh makan, ada keluarga yang harus ditanggung kebutuhannya.

Bisnis media sudah lama menggaung di semua industri media. Saling sikut antar pemilik media sudah menjadi hal yang lumrah. Mungkin nurani jurnalis sendiri menjerit atas pengekangan ini. Semacam perang dingin, para pemilik media terus mencari-cari kesalahan dan kelemahan media lainnya. Misalnya saja, ketika media pemilik media A yang juga sebagai pemilik kebun karet yang bermasalah maka ”bak pahlawan kesiangan” media B memberitakannya dengan alasan menjalankan fungsi kontrol sosial, demikian pula sebaliknya saat pemilik media B yang juga sebagai pemilik perusahaan emas yang tersngkut masalah maka media A membeberkan kasusnya secara blak-blakan dan ini dilakukan terus-menerus. Lantas apakah pers kita sudah bebas?, apakah industri media sudah efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana sosial yang menjalankan fungsi kontrol sosial di masyarakat?. Perlu dicari solusi bersama, termasuk jika perlu merevisi kembali undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

Harus ada tata aturan yang jelas yang mengatur tentang kepemilikan media berikut hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemilik media. Tawaran ini semata-mata untuk menciptakan iklim sehat industri media dan menjadikan pers nasional yang benar-benar bebas di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Museum Aceh dan Komunikasi Budaya


Oleh: Yuhdi Fahrimal*

Berbicara mengenai museum, berarti kita sudah memasuki koridor sebuah perjalanan sejarah. Kita ketahui atau mungkin beberapa belum mengetahui isi dari sebuah museum. Disini saya menuliskan pandangan saya pribadi terhadap apa yang terdapat di dalam sebuah museum. Biasanya di dalam museum disimpan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu atau penemuan-penemuan yang berkaitan dengan sejarah.

Di Indonesia saja sangat banyak museum yang menyimpan bukti-bukti sejarah bangsa Indonesia. Semua tertata rapi agar generasi masa depan dapat melihat dan mengenal atau bahkan mengenang peristiwa sejarah yang dialami oleh negara dan bangsanya. Di Aceh terdapat sebuah museum yang menyimpan benda-benda peninggalan sejarah Aceh. Meskipun tidak semua benda-benda peninggalan sejarah Aceh tidak semua terdapat disini, karena banyak benda-benda peninggalan sejarah Aceh yang dibawa oleh bangsa Belanda ketika mereka “eksodus” ke negaranya, dan menyimpannya di museum yang ada di negaranya.


Demikian juga halnya dengan Museum Aceh. Bangunan yang terletak di pusat kota Banda Aceh, berdekatan dengan Meuligo Gubernur Aceh, di pinggir Krueng Daroy ini menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah kerajaan dan perang di Aceh. Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Kaisar Cina. Meriam-meriam yang digunakan selama perang berkecamuk. Rumoh Aceh lengakap dengan peralatan adat Aceh di dalamnya. Foto-foto raja dan pahlawan asal Aceh. Senjata-senjata tradisional Aceh, dan lain sebagainya.


Semua alat ini bukanlah dengan sengaja hadir di museum ini. Ada sebuah garis sejarah yang harus dirunut agar kita tahu bagaimana benda-benda bersejarah ini bisa ada. Ada sebuah alur sejarah yang harus dipelajari agar kita tahu bagaimana bentuk kebudayaan Aceh dulu.


Aceh merupakan daerah yang memiliki kearifan lokal. Tidak hanya itu kebudayaan yang ada di Aceh juga berbeda dengan daerha lainnya di Indonesia. Watak yang dimiliki masyarakatnya jauh berbeda dengan masyarakat daerah lainnya. Semangat juang yang dimiliki oleh rakyatnya sangat berbeda dengan rakyat daerah lainnya. Keberanian dan ketangguhan rakyat Aceh dalam berperang khususnya untuk mempertahankan kedaulatan bangsanya tidak dapat dipungkiri, bahkan kolonial Belanda mengakui ketangguhan ini. Ada beberapa kutipan dari penulis Belanda yang menggambarkan tentang watak orang Aceh. Seperti yang dikatakan oleh A. Doup dalam Gedenkboek van het korps marechaussee 1890-1940, KoetaRadja, p. 248:


”Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakannya selama ’Perang Aceh’ menimbulkan rasa hormat di pihak Marsose serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanannya dan daya tahanny yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya ketika menciptakan dan melaksanakan siasat yang sejati, sementara itu daya pengamatannya sangat tajam. Mereka mengamat-amati setiap gerak gerik pemimpin brigade dan tahu benar tang mana melakukan patroli dengan ceroboh atau yang mana pula yang siap siaga dan terjun teratur”. (Tgk. A.K. Jakobi. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949. hal. xxxvi).


Terlihat jelas bahwa bagaimana karakter orang Aceh yang bersedia mati-matian untuk membela harga diri dan bangsanya dari penjajah. Semangat yang terdapat dalam diri orang Aceh tidak terlepas dari filosofi hidup yang diyakininya, yaitu Hikayat Prang Sabi. Satu kalimat pembangkit semangat yang tertera dalam hikayat ini; ”Hudep saree, matee syahid”. Rakyat Aceh lebih mau memilih mati dari pada harus hidup dibawah pendudukan penjajah yang selalu menyengsarakan rakyat dan memonopoli perdagangan. Karena ketangguhan dan keberanian dengan filosofi Hikayat Prang Sabi inilah yang menyebabkan Aceh tidak pernah berhasil dikuasai secara penuh oleh Belanda.


Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Aceh yang sangat terkenal adalah penerapan Syari’at Islam, dan Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan hukum Islam ini. Jika kita lihat sejarahnya. Penerapan Syari’at Islam ini bahkan telah jauh ada ketika kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya. Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia dan merupakan kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara. Bukti bahwa penerapan Syari’at Islam secara kaffah di kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika Sultan Iskandar Muda menghukum anaknya Meurah Pupok yang ketahuan berzina dengan memancung kepala putra mahkota satu-satunya.


Lantas, apa hubungannya dengan komunikasi?. Inti dari suatu komunikasi adalah terjadinya kesepahaman antara komunikator dan komunikannya. Komunikator disini adalah rakyat Aceh pada masa kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya atau rakyat Aceh yang bertempur melawan Belanda, sedangkan komunikannya adalah masyarakat Aceh saat ini dan masa depan. Semua catatan sejarah dan benda-benda peninggalan sejarah merupakan media untuk mengkomunikasikan suatu kebudayaan dan sejarah. Substansi pesan yang disampaikan adalah adanya transfer kearifan dan bentuk-bentuk kebudayaan yang hingga saat ini masih terjaga dan berkembang dengan utuh. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat Aceh dahulu mewariskan sesuatu kepada masyarakat Aceh saat ini. Museum Aceh hanya merupakan media atau sarana untuk menyampaikan pesan dari masyarakat Aceh terdahulu. Selanjutnya masyarakat Aceh saat ini yang akan menginterpretatif pesan tersebut dan akan meneruskannya kepada gernerasi setelahnya.

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisip, Unsyiah dan Pimpinan Umum Lembaga Publisistik Komunikasi, Fisip, Unsyiah.