Minggu, 14 November 2010

Kampanye Publisitas

”Molto Ultra sekali bilas dalam program acara Ngulik di Trans TV, Minggu (25/4), pukul 13.02 WIB dengan penampilan presenter Astri “Welas” dan bintang tamu Ira Maya Sofa.”

Analisis

Dalam program tersebut dikampanyekan tentang penghematan air. Isu yang diusung adalah;
1.Pemanfaatan air,
2.Pendayagunaan air, dan
3.Penghematan air.

Isu yang diangkat ini sangat menarik dan sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini di Bumi. Dimana saat ini terjadi pemanasan global yang berarti suhu udara dan bumi meningkat dari ambang batasnya. Dengan meningkatnya suhu tersebut maka mempercepat penguapan air dalam tanah. Debet air dalam tanah semakin berkurang. Tidak ada lagi cadangan air yang bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal ini diperparah dengan banyaknya pohon-pohon yang ditebang serta hutan digunduli. Melalui publisitas yang dilakukan oleh Molto Ultra sekali bilas ini, ditanamkan kesadaran kepada masyarakat tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan saat ini untuk mencegah semakin berkurangnya persediaan air dalam tanah.

Secara teori kampanye ini dapat digolongkan sebagai Ideological-Cause Oriented Campaign (kampanye yang dilakukan untuk menanamkan atau menawarkan ide-ide baru kepada masyarakat). Kampanye ini bertujuan untuk;

1.Memberikan kesadaran kepada masyarakat (Public Awarness)
Melalui kampanye yang dilakukan dalam program ini, masyarakat diberikan pemahaman agar sadar bahwa kondisi air dalam tanah sudah sangat menipis. Jika hal itu dibiarkan maka air akan hilang sama sekali dari muka bumi ini.

2.Keinginan untuk mengubah perilaku masyarakat (Behavioral Modification)
Disadari atau tidak, manusia dan masyarakat modern menjadi tokoh utama yang menyebabkan air dalam tanah berkurang. Melalui kebiasaan dan aktifitas sehari-hari serta sampah-sampah rumah tangga yang mencemari air dan merusak cadangan air. Diharapkan melalui kampanye ini, masyarakat dapat mengubah perilaku dan kebiasaannya.

3.Mendidik publik agar tetap bersikap etis dan wajar (Public Education)
Masyarakat harus terus diberikan pemahaman dan pendidikan secara berkelanjutan agar kesadaran akan menurunnya debit air dalam tanah sudah semakin mengkhawatirkan.

Kampanye ini tidaklah murni menanamkan ide-ide baru untuk mengubah perilaku dan menyadarkan masyarakat. Orientasi pada produk juga menonjol disini. Dalam tayangan yang berdurasi pendek tersebut, Ira Maya Sofa dan Astri ”Welas” memperagakan cara menggunakan Molto Ultra sekali bilas. Cukup setengah tutup botol, busa deterjen hilang tanpa harus dibilas berulang kali dan dapat digunakan berkali-kali. Dalam publisitas ini disebut dengan Demontration of Fact (publisitas yang dilakukan dengan menampilkan cara kerja suatu produk). Hal ini diperuntukkan agar masyarakat membangun kepercayaan masyarakat terhadap brand product Molto Ultra sekali bilas.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kampanye ini sudah sangat tepat jika diusung saat ini. Hanya saja tidak ada kelanjutan publisitasnya. Penulis selama dua minggu melakukan pemantauan khususnya di program Ngulik setiap hari Sabtu dan Minggu, namun tidak ada lagi kampanye yang dilakukan oleh Molto. Seharusnya ada kontinuitas dari kampanye yang dilakukan. Karena kesadaran masyarakat akan semakin terbentuk jika kampanyenya dilakukan berulangkali. Jika seperti ini, maka kesadaran yang diharapkan tidak akan terbentuk sebagaimana yang diharapkan. Kelanjutan kampanyenya tidak mesti melalui program acara di televisi, bisa juga dilakukan melalui event-event yang dibuat oleh perusahaan yang membuat Molto, atau hal yang sangat memungkinkan adalah melampirkan kampanye tersebut dikemasan Molto. Selain itu dalam kampanye tersebut juga tidak disebutkan bagaimana efek air sisa Molto terhadap tanah. Jadi masyarakat yang ”cerdas” dibuat bingung terhadap hal ini. Ada semacam kontradiksi disini, disatu sisi kampanye penghematan air dilakukan namun tidak disebutkan apakah zat-zat kimia yang dikandung Molto Ultra berbahaya atau tidak jika bercampur dengan air tanah. (yfh)

Nyawa itu hampir saja pergi

Oleh: DM. Ari Dwi Wahyuni

Semua tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Orang-orang masih dalam emosinya masing-masing. Hingga akhirnya mereka sadar jika nyawa mereka sedang terancam.

“Prang,” ruang tunggu pesawat hening saat bunyi kaca pecah sekitar pukul 14.03 menit. Semua mata tertuju pada sumber suara. Tak jauh dari tempat dudukku, kira-kira berjarak lima meter seorang lelaki berkumis, kurus, berjaket hitam, dengan seorang anak yang tidur pulas di pundaknya berdiri dengan wajah yang masam di depan meja petugas bandara. Mulutnya menggerutu, kaca meja ground staff Bandara Soekarno-Hatta (31/10) pun ia pecahkan.

Bukan hanya lelaki itu. Semua penumpang yang sudah menunggu dari pagi untuk diterbangkan ke Medan tersulut api emosi. Mereka emosi karena sudah tiga kali penerbangan di tunda. Penerbangan yang seyogyanya berangkat pukul 09.05 akhirnya harus berangkat pukul 17.20. Waktu yang tidak singkat untuk menunggu sebuah penerbangan.

Penumpang tumpah tuah ke meja petugas bandara. Makian, sumpah serapah terlontar dari mulut massa. Sejauh ini belum ada konfirmasi dari petugas bandara penyebab penerbangan ini ditunda. Hanya terlihat jari-jari mereka sibuk menekan tombol telepon di hadapan mereka. Entah siapa yang mereka telepon, aku pun tidak tahu pasti. Yang aku tahu massa sudah di puncak emosinya.

“Kenapa kami tidak dipindahkan ke pesawat lain saja,” teriak yang satu.

“Apa kalian berani ganti 10 kali lipat uang kami. Kalau begitu balikkan saja uang kami,” sahut yang lain lagi.

Suasana memang sangat kacau. Tidak ada yang bisa mengontrol. Ada yang marah, ada pula yang menangis. Termasuk salah seorang ibu yang dikerumuni oleh orang-orang. Anak gadis disebelahnya mencoba menenangkan. Dielus-elusnya pundak si ibu.

Aku mencoba mendekat ke arah ibu itu. Namun karena disesaki penumpang lainnya, akhirnya aku hanya bisa berdiri beberapa meter dari tempat ibu yang menangis tadi. Penasaran, aku pun bertanya kepada orang disebelahku.

“Mengapa ibu itu menangis,”

“Orang tua ibu itu meninggal dan tidak akan dikebumikan sebelum ibu itu sampai,” jawabnya.

Miris memang. Setidaknya dalam agama Islam mempercepat pemakaman bagi jenazah adalah hal mulia. Mungkin itu juga yang dipikiran ibu yang menangis itu. Ia muslim tergambar dari jilbab yang dipakainya.

Sesaat ku lihat ibu itu berbicara di telepon genggamnya. Sayup-sayup ku dengar apa yang ia bicarakan.

“Gimana mau berangkat, ini ga ada pesawatnya,” ungkapnya terisak. Beberapa penumpang lain yang juga ikut mendengar turut meneteskan air mata. Ini menyiratkan kepedihan yang mendalam.

Sebenarnya pada pukul 14.30 penumpang sudah dipanggil untuk naik pesawat. Satu per satu menyerahkan boarding pass kepada petugas yang berjaga di pintu, lalu berjalan menuju kabin pesawat.

Ada pemandangan aneh yang ku lihat saat menapaki jembatan penghubung ke pintu pesawat. Di bawah pesawat yang kami naiki, terlihat beberapa petugas teknis sedang duduk. Meskipun hanya duduk saja namun ini terlihat cukup aneh.

Semua penumpang sudah berada di kabin pesawat. Perlahan pesawat bergerak mengambil sikap untuk lepas landas. Pramugari juga bersedia di tempat mereka guna memeragakan prosedur penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan pada pesawat.

Suhu di dalam kabin sangat panas. Air conditioning (AC) tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Semua orang merasa gerah, namun pesawat tetap melaju pelan.

Tiba-tiba pesawat memutar arah, kembali ke tempat ia semula diparkirkan. Semua penumpang tersentak. Mungkin dalam pikiran mereka bertanya apa lagi yang terjadi. Sampai akhirnya terdengar suara pramugari dari pengeras suara mengatakan pesawat sedang dalam kondisi rusak. Aku dan penumpang lainnya kaget buka kepalang. Kami harus menunnggu pesawat ini diperbaiki untuk beberapa saat yang kami tidak ketahui.

Selama pesawat diperbaiki, para penumpang ditempatkan kembali di ruang tunggu bandara. Namun lagi-lagi penumpang marah. Mereka sudah tidak sabar menunggu. Meja ground staff dibajak oleh massa. Tidak ada seorang petugas pun disana. Massa berteriak-teriak, tidak ada yang mengkomandoi.

Akhirnya, sekitar pukul 17.20 terlihat petugas memasuki ruang tunggu pesawat. Ia mengumumkan bahwa pesawat sudah selesai diperbaiki dan penumpang disuruh naik kembali.

Penumpang bergerak dengan barang bawaan mereka ke pesawat. Semua mencari tempat duduk sesuai nomor ditiket. Seperti biasa, lagi-lagi pramugari memeragakan tata cara penyelamatan. Pesawat mulai bergerak. Siap mengambil posisi take off. Lalu melesat kuat dan terbang ditengah cuaca yang buruk.

Awalnya pesawat mengudara dengan baik. Meski dari kaca pesawat terlihat awan hitam yang menggumpal dan kilat yang bersahut-sahutan. Tekanan udara yang kuat di luar pesawat membuat pesawat bergetar kuat. Raut kekhawatiran muncul di wajah tiap penumpang. Pesawat seperti akan jatuh dan tiba-tiba saja lampu mati. Sontak terdengar istighfar dari mulut penumpang yang muslim. Semua penumpang ingat akan Tuhan saat itu.

Pilot berusaha menyeimbangkan kembali posisi pesawat. Akhirnya berhasil juga. Setidaknya ini membuat para penumpang tenang, meski beberapa orang masih membaca surat Yaasin.

Pesawat masih melaju. Getaran sesekali masih terasa. Sampai akhirnya pesawat perlahan turun dan semakin dekat dengan tanah. Roda-roda pesawat dikeluarkan. Pilot bersiap menarik rem agar pesawat berhenti. Pesawat Sriwijaya Boeing mendarat juga di Bandara Polonia, Medan. Semua penumpang turun dengan nafas lega dan syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan pada mereka. (edt: yfh)

Minggu, 07 November 2010

Maimunah Ingin Jadi Guru dan Ibu yang Baik

Dia tidak pernah minta dilahirkan ke dunia ini dari keluarga yang kurang mampu. Saat anak-anak seusianya sedang asyik-asyiknya bermain dan bercengkrama bersama keluarga, ia justru harus menjelah kota, menjadi peminta-minta.

***

Senja masih temaram. Azan baru saja selesai dikumandangkan. Namun jalanan masih penuh sesak oleh kendaraan. Sebagian adalah mereka yang pulang dari kantor, sebagian lagi hanya warga yang ingin berjalan-jalan sore.

Lampu-lampu kota telah dihidupkan, siap menambah semarak ibu kota di malam hari. Beberapa pintu toko terlihat tertutup setengahnya, guna menghormati umat Islam yang sedang beribadah, menyembah sang khalik, Allah azza wa jalla. Negeri ini memang negeri syari’at, telah dikumandangkan sejak tahun 2003.

Beberapa orang bergegas hendak menunaikan kewajiban shalat maghrib, namun tidak sedikit juga yang merasa tidak peduli dengan panggilan azan. Apakah mereka muslim atau tidak, entahlah. Hanya mereka yang tahu.

Di sebuah café warung kopi (25/10), tepat di salah satu sudut jalan Daud Beureueh, Banda Aceh, tiga orang anak berjalan mendekat dari meja ke meja. Tangannya menengadah ke setiap orang yang duduk. Berpindah dari satu meja ke meja lainnya. Sampai pada akhirnya salah satu dari mereka sampai di meja tempat ku duduk bersama tiga orang teman.

Baru saja aku hendak berdiri untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslim, tiba-tiba disebelahku berdiri seorang anak perempuan.

“Bang, sedekahnya bang,” ujarnya sambil menyodorkan kertas, belakangan akhirnya aku tahu itu adalah surat tanda miskin. Dalam surat itu tertulis nama ibu si anak. Surat itu juga dibubuhkan tanda tangan kepala desa tempat ia tinggal. Namun sayang, ketika aku sedang membaca surat itu, seorang anak yang lain mengisyaratkan untuk mengambil surat miskin itu dari tanganku. Seperti ada yang mereka sembunyikan.

Ku perhatikan wajah anak itu baik-baik. Pakiannya lusuh, wajahnya tidak terlalu kumal, kulitnya coklat pekat seperti tersengat matahari, menggunakan jilbab hijau sedang rambut bagian belakangnya sesekali keluar dari dalam jilbab. Ia membawa tas biru sebagai tempat menyimpan uang.

Tidak jauh dari kami sebuah pamflet dari besi berwarna putih berdiri. Di situ tertulis himbauan dari Muspika Kota Banda Aceh kepada warga kota agar tidak memberikan sumbangan kepada para peminta-minta di jalan-jalan, rumah makan, atau warung kopi. Salah satu yang dimaksud dalam himbauan itu juga berarti jangan memberi sumbangan kepada anak yang dari tadi berada di depanku ini.

“Duduk dulu dik,” tawarku. “Makan kue ini,” lanjutku lagi.

Ia menggeleng. Ia seperti salah tingkah. Badannya digoyang-goyangkan kesana kemari. Mulutnya tak henti-henti menggigit tali jilbab. Setelah sedikit ku desak, akhirnya ia duduk juga.

“Mau minum teh dingin?”

“Boleh bang, kalau abang kasih,” jawabnya tersenyum.

Maimunah namanya. Umurnya baru 11 tahun. Warga desa Lam Rukam, Peukan Bada, Aceh Besar. Sudah lama ia menjalani profesi sebagai pengemis anak di kota Banda Aceh. Menurutnya ia mengemis karena tidak ada biaya untuk sekolah. Sedangkan ayah mereka sudah meninggal karena tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004.

Sekarang hanya tinggal dia, ibu, adik, dan abang di sebuah rumah di Lam Paseh. Sedangkan seorang abangnya yang lain pergi meninggalkan rumah dan tak tahu kemana. Ia juga punya kakak dan sudah menikah. Kakaknya tidak lagi tinggal bersama mereka.

Ia, ibu, dan adiknya berprofesi sebagai peminta-minta dijalanan. Ia dan adiknya Maisarah (10 tahun) yang bertugas meminta-minta di cafe, warung kopi, dan rumah makan. Sedang ibu mereka bertugas meminta di persimpangan. Faktor ekonomi menjadi dasar mengapa mereka menjadi peminta-minta.

***

Maimunah masih asyik dengan teh dinginnya. Tak berapa lama, air dalam gelasnya pun habis. Hanya tinggal batu es yang masih tetap dihisapnya dengan sedotan putih.

“Kenapa mau minta-minta?” tanyaku.

“Untuk bantu ibu bang,” jawabnya singkat sambil masih memainkan sedotan bekas tehnya.

“Lain apa lagi yang bisa saya kerjakan bang,” lanjutnya kecut.

“Masih sekolah?”

“Masih bang, di SD (sekolah dasar-red) terbuka di Keudah,” ujarnya.

“Bagaimana kamu belajar kalau kamu seharian di jalan?”

“Nanti jam sepuluh pulang bang, lagian kami cuma kerja dari siang sampai malam. Kalau pagi kami sekolah,”

Maimunah memiliki cita-cita yang mulia. Ia ingin menjadi seorang guru, meskipun ia pernah tinggal kelas selama satu tahun. Ini pula sebab sekarang ia sekelas dengan adiknya, Maisarah. Maisarah duduk di kelas 4 SD.

“Saya ingin jadi guru bang, biar bisa ngajar anak-anak,” tambahnya cepat sambil tersenyum, sedang tangannya kali ini sibuk memutar-mutar tali jilbab. Manis nian senyumnya. Tersungging dari balik wajah hitam manisnya.

Sesaat pembicaraan kami terhenti. Tiba-tiba perlahan ia dekatkan wajahnya ke telingaku. Ia membisikkan sesuatu. Aku pun semakin mendekatkan telinga ke mulutnya.

“Saya ingin punya ibu yang baik bang,” katanya pelan.

Ku perhatikan wajahnya. Tidak ada lagi senyuman dan tawa. Mimik serius kini ia tunjukkan. Mungkin mencoba meyakinkanku.

“Kenapa?”

“Ibu kami yang sekarang jahat,”

“Apa beliau ibu tiri kalian?”

“Tidak bang, dia ibu kandung kami tapi dia seperti tidak sayang kami,”

“Kadang saya sedih bang kalau datang ke rumah teman, mereka punya ibu yang baik dan sayang pada mereka. Saya juga mau seperti mereka bang,” lanjutnya.

Menurut Maimunah setiap hari ia dan adiknya dipukuli bahkan ditendang kalau mereka tidak bisa membawa pulang uang sebanyak Rp50 ribu. Bahkan kadang mereka tidak bisa tidur karena menahan sakit yang sangat.

“Malam kemarin adik saya tidak tidur bang karena dipukul ibu, kami hanya bisa ngasih uang Rp7.000,” katanya.

Maimunah terpaksa meminta-minta pun karena disuruh oleh ibunya. Dari hasil meminta-minta, Maimunah bahkan sudah bisa membeli sebuah sepeda motor Yamaha Mio Sporty, yang dipakai oleh abangnya.

“Motornya masih kredit, setiap bulan harus setor Rp700 ribu,” tuturnya tertawa.


***


Maimunah merupakan salah satu dari sekian pengemis anak di Banda Aceh. Menurut pakar hukum, Saifuddin Bantasyam saat ditanya melalui surat elektronik mengatakan kondisi yang dialami oleh Maimunah dan mungkin sejumlah pengemis anak yang disuruh orang tuanya untuk mengemis merupakan salah satu bentuk eksploitasi anak, yang dilarang oleh UU N0. 32/2003 tentang Perlindungan Anak (lihat Pasal 77 dan Pasal 88). Perbuatan demikian dapat menghambat perkembangan sosial anak, dan dapat mengganggu pisik dan psikis anak.

“Eksploitasi anak adalah kejahatan memanfaatkan anak untuk mengambil keuntungan tertentu dari anak tersebut, bisa dalam bentuk eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual,” terang Saifuddin yang juga dosen pada Fakultas Hukum Unsyiah.

Melihat semakin banyaknya pengemis anak di Banda Aceh, Saifuddin mengatakan bahwa Keadaan ini menandakan lemahnya pemahaman orang tua terhadap hak-hak anak seperti yang diatur dalam Konvensi Internasional mengenai Hak Anak dan UU Perlindungan Anak.

Kondisi ini menandakan juga bahwa ada masalah kemiskinan yang akut, yang mendorong keluarga melakukan eksploitasi terhadap anak. Kondisi ini juga pertanda bahwa negara belum sepenuhnya mampu melaksanakan kewajibannya dalam bentuk menyejahtrakan anak, dalam bentuk menindak orang tua yang melakukan eksploitasi terhadap anak,” ujar Saifuddin.

Saifuddin menambahkan kondisi ini juga pertanda tipisnya kepedulian antarsesama. Orang-orang yg memberi sedekah kepada pengemis anak di pinggir jalan juga menjadi faktor penyebab yang mendorong anak yg tidak mampu, menjadi pengemis.

“Sanksinya 5 tahun penjara, denda Rp 100 juta atau 10 tahun penjara, denda Rp 200 juta (pasal 77 dan pasal 88 UU No. 23 tahun 2003),” kata Saifuddin. (Yuhdi Fahrimal)