Kamis, 31 Maret 2011

Duh! Film Nasional

Hari ini, Rabu (30/03), merupakan Hari Perfilman Nasional. Berbicara mengenai nasional, berarti kita juga berbicara mengenai nasionalisme dan segenap unsur-unsur di dalamnya. Apakah kita pernah tahu apa itu nasionalisme? Apakah kita benar-benar menyadari bagaimana bentuk dari sebuah nasionalisme sebenarnya?

Nasionalisme tidak cukup dengan hanya menghormat bendera ketika upacara berlangsung. Nasionalisme tidak cukup dengan memakai kaos tim sepakbola nasional. Nasionalisme tidak cukup dengan memajang foto bapak-bapak bangsa dalam kamar, ruang tamu, atau ruang kerja. Nasionalaisme tidak cukup dengan hanya menaikkan bendera saat peringatan tujuhbelasan. Nasionalisme tidak cukup dengan hanya siap mati untuk mengganyang musuh.

Nasionalisme lebih dari itu semua. Nasionalisme lebih dari sekedar euphoria kebangkitan nasional. Nasionalisme lebih dari sekedar mengetahui dan menyadari sistem ketatanegaraan. Nasionalisme lebih dari sekedar mencintai barang buatan dalam negeri. Nasionalisme lebih dari berani melawan korupsi. Nasionalisme lebih dari sekedar mengikuti kehendak hati.

Itulah sedikit dari sekian banyaknya makna nasionalisme. Semuanya tergantung cakrawala berpikir kita yang luas. Semakin luas, maka semakin banyak lagi makna nasionalisme. Tapi untuk sekedar kita ketahui, saya rasa makna-makna di atas cukuplah.

Jika kita memang menyadari apa itu nasionalisme, barulah kita paham apa itu nasional. Indonesia adalah negara yang besar. Dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote. Satu per satu terikat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Indonesia memiliki lebih dari 60.000 pulau, baik besar atau kecil. Baik yang sudah ditempati ataupun masih tak berpenghuni. Banyaknya pulau-pulau ini pula yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia memiliki tradisi, budaya, agama, dan kearifan lokal yang berbeda-beda. Namun oleh funding father Indonesia, semuanya telah diikat dalam satu kalimat; Bhinneka Tunggal Ika. Terjemahan yang sering digaung-gaungkan; Berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Karena kondisi tradisi, budaya, agama, dan kearifan yang berbeda itu pula, membuat setiap kebijakan pemerintah tidak boleh berat sebelah. Semua pihak harus terakomodir kepentingannya dalam negara ini. Tidak terkecuali dalam setiap produksi film nasional.

Jika kita melihat kondisi perfilman di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Agaknya pihak produser film hanya mengejar target produksinya tanpa lagi mengacu kepada falsafah film itu sendiri. Bukankah dalam konstitusi Indonesia sudah dikatakan bahwa semua kegiatan yang dilakukan oleh siapa saja tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Falsafah “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” adalah landasan pokok ranyat Indonesia untuk bertindak, pun demikian untuk produksi film nasional. Kenyataannya saat ini dapat kita lihat bahwa kondisi perfilman nasional sungguh sangat memprihatinkan. Sebagai sebuah tayangan, setidaknya film harus memenuhi 5 syarat; mampu memberikan informasi, memberikan hiburan yang bermanfaat, memberikan pendidikan, melakukan kontrol sosial, serta menjadi media dalam melestarikan budaya nasional.

Kondisi ini sangat jarang kita saksikan sekarang. Tak khayal, industri film Indonesia hanya memproduksi film murahan. Judulnya pun terkesan mengada-ada, bahkan tidak masuk logika. Tentunya anda lebih banyak tahu judul-judul film buatan dalam negeri kita itu.

Itu masih judulnya. Belum lagi kalau kita mau meluangkan waktu untuk menontonnya, maka yang kita dapatkan adalah sajian film-maaf-semi porno. Penonjolan unsur-unsur keintiman sangat banyak ditemukan di film Indonesia. Jadi tak salah jika ada yang menyebutkan bahwa industri film Indonesia adalah industri lingkar dada dan lingkar paha.

Pihak produsen film pun sengaja mencari artis-artis yang mempunyai daya pemikat yang tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah wanita. Tak jarang juga produser film Indonesia mendatangkan artis dari luar negeri untuk main di film Indonesia. Parahnya lagi, artis yang didatangkan adalah artis porno dari negara asalnya. Tidak salah jika terjadi penolakan di mana-mana. Tentunya masyarakat yang masih mau peduli terhadap moral bangsa.

Pihak produsen film selalu mengatakan bahwa semuanya adalah tuntutan pasar. Dalam ilmu ekonomi yang dikatakan tuntutan pasar berarti kehendak masyarakat. Adanya barang karena adanya permintaan. Sehingga kita sebagai rakyat-lah yang harus disalahkan. Jika saja kita tidak ada permintaan dari pasar maka niscaya film-film murahan itu tidak akan hidup. Tapi apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Film-film itu sudah merebak bak cendawan di musim hujan.

Melihat kondisi yang miris ini, bagaimana mungkin kita bisa katakan bahwa semua itu adalah film nasional? Jika sudah melabrak etika dan moral bangsa masihkan kita bersikukuh untuk mengatakan itu film nasional?
Tidak ada kata terlambat. Seandainya kita selaku konsumen film mau peka dan menyadari kondisi ini. Nasi memang sudah menjadi bubur, tapi mari kita olah kembali bubur tadi menjadi sebuah santapan yang nikmat, seperti, bubur ayam yang pasti sangat nikmat disantap. Artinya kita masih punya harapan untuk memperbaiki film-film nasional. Untuk bisa dikatakan film nasional. Bukan hanya mengejar target produksi, tapi juga mengedepankan aspek moral dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selamat Hari Perfilman Nasional.

Rabu, 30 Maret 2011

HARUS BELAJAR LAGI DARI JEPANG!

Baru beberapa minggu saja duka negeri sakura berlalu. Setelah bencana gempa disusul gelombang tsunami setinggi 10-15 meter menerjang negeri matahari terbit itu. Setelah jumlah korban terus bertambah, dari sepuluh menjadi seratus lalu seribu, kemudian sepuluh ribu. Mungkin juga akan sampai seratusan ribu jiwa yang terenggut oleh bencana mahadahsyat itu.

Rumah luluh lantak. Gedung hancur lebur. Pohon tercerabut dari akarnya. Tiang listrik tumbang. Jalanan retak dan amblas ke dalam tanah. Reaktor nuklir menyebar teror kepada setiap warga yang selamat. Setiap insan bersiap terkena radiasi nuklir yang akan merenggut nyawa mereka. Krisis bahan bakar minyak terjadi. Setiap masyarakat mendapat jatahnya masing-masing.

Kelaparan juga mengancam meski bantuan sembako dan obat-obatan terus berdatangan. Arus pengungsian tidak terbendung. Ribuan orang berada di bandara untuk dievakuasi. Namun sebelumnya mereka harus di periksa dengan menggunakan alat detektor nuklir. Ini dilakukan untuk mengantipasi adanya radiasi nuklir di tubuh mereka.
Kejadian ini menyulut api kemanusian negara sahabat. Mereka siap membantu; materi, tenaga, maupun pengalaman. Ada yang mengirim bantuan uang. Ada yang mengirim bantuan tenaga ahli nuklir. Ada yang mengirim tenaga ahli penanganan bencana. Dan yang terakhir ini adalah Indonesia.

Indonesia mengirim Kuntoro Mangkusubroto untuk berbagi pengalaman dalam menangani daerah pascagempa dan tsunami. Kalau urusan itu, Kuntoro tidak mungkin diragukan lagi. Track record beliau sebagai Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias telah menjadikannya sarat pengalaman. Pengalaman dalam membangun kembali daerah yang luluh lantak karena gempa dan tsunami.

Agaknya Indonesia masih harus belajar dari Jepang meskipun sudah mengirim ahli “Rehab dan Rekon”-nya ke sana; Kuntoro. Rakyat Jepang yang selamat tidak mengeluh saat mereka tidak dapat makan dalam beberapa hari. Sementara rakyat Indonesia selalu mengeluhkan ini-itu. tidak peduli perut mereka kenyang atau lapar, rakyat Indonesia selalu menuntut.

Di Jepang, jalan bisa dibangun dalam enam hari. Jalan yang rusak karena gempa bisa diperbaiki dalam enam hari saja. Sementara jalanan di Aceh yang dilanda bencana yang salam akhir 2004 silam sampai saat ini belum juga rampung. Bahkan aspal pertama untuk akses jalan baru dilakukan pada tahun 2008, empat tahun pascabencana. Entah salah siapa. Padahal bantuan sangat banyak diberikan oleh negara sahabat.

Hampir tidak ada kericuhan dan desak-desakan saat dilakukan evakuasi korban yang selamat. Sementara di Indonesia semua urusan harus di selesaikan dengan kericuhan akibat saling dorong atau desak-desakan. Untuk pembagian sembako saja rakyat Indonesia saling berebut. Lebih parah lagi kalau lagi kalau pembagian zakat. Untuk membeli tiket nonton bola saja korban juga berjatuhan. Salah siapa?
Indonesia masih harus belajar dari Jepang meskipun mereka bekas penjajah kita.
Apa pendapat anda?

Jeulingke, 29/03/2011

Senin, 07 Maret 2011

Kuala Baru: Pesona yang Terlupakan

Malam ini aku duduk menghadap laut. Hamparan luas samudera membentang di depan mataku. Aku berpikir bahwa Tuhan itu memang Maha Adil. Ia menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna, tak kurang satu apapun. Tidak ada ciptaan-Nya yang keliru, sangat-sangat sempurna karena Tuhan memang arsitek yang luar biasa.
Kerlap-kerlip lampu jalanan menambah semarak malam yang tak berbintang. Memang langit agak mendung. Tertutup dengan gumpalan mega hitam. Sama seperti hatiku yang beberapa hari lalu diselimuti rasa perih dan miris melihat kampungku masih seperti dulu.

Kuala Baru, nama desaku. Desa yang tenteram jauh dari peradaban kota. Desa yang terpencil jauh dari hiruk pikuk kota. Desa kecil tempat ayahku dilahirkan dan dibesarkan. Perawakannya masih sama seperti dulu, tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa polesan di sana-sini agar layak dikatakan ibu kota sebuah kecamatan.
Aku pernah menghabiskan masa kecilku di desa ini. Desa yang jauh masuk ke pelosok. Melewati sungai Singkil yang terkenal ganasnya. Dikelilingi rimba rawa leuser tempat berbagai margasatwa berkembangbiak. Air sungainya kuning, dengan kedalaman sepuluh meter lebih. Kabar terakhir yang kudengar, beberapa ekor buaya ditemukan di sungai ini. Sungai Singkil ini merupakan salah satu anak sungai Alas di Aceh Tenggara. Pantas saja warna air dan luas sungainya sama. Ganasnya juga sama.

Aku dibawa ke desa ini sejak usiaku 3 bulan. Aku diasuh oleh kedua orang tuaku bersama dengan keluarga besar ayahku juga kedua orang nenek dan kakekku. Hingga usiaku tiga tahun, baru aku dibawa ke Tapaktuan. Waktu itu Tapaktuan adalah ibu kota kabupaten, sedangkan Singkil masuk ke dalam wilayah administrasinya sebagai sebuah kecamatan. Baru sekitar tahun 1999 pascareformasi dan kewenangan otonomi daerah mulai digelar di daerah-daerah, Singkil memisahkan diri dari Aceh Selatan menjadi kabupaten sendiri.

Pemekaran ini diharapkan mampu memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konon dulu ketika masih dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan semua anggaran pembangunan harus ditentukan oleh kabupaten. Kadang pembagiannya agak sedikit untuk Kecamatan Singkil. Saya tidak tahu pasti berapa pembagian yang diberikan kepada Singkil, karena waktu itu saya masih seorang siswa sebuah sekolah dasar di Tapaktuan. Namun yang saya tahu saat ini adalah, plot anggaran itu tidak akan cukup untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat Singkil. Plot anggaran yang kecil harus dibagi lagi kepada beberapa mukim dan desa yang ada di Kecamatan Singkil waktu itu.

Kadang aku berpikir, Aceh Selatan terlalu kejam. Agaknya pikiranku ini beralasan. Aku tahu Singkil kaya akan sumber daya alam. Daerah Singkil yang dikelilingi hutan belantara tempat berbagai jenis pohon dan tumbuhan hidup. Hasil bumi andalan Singkil adalah kayu hutan dan sawit. Siapapun tahu yang namanya bisnis kayu dan sawit sangat menguntungkan. Inilah hasil bumi Singkil. Hasil bumi yang dikeruk oleh kabupaten induknya dulu. Sementara, Singkil hanya mendapat bagian kecil dari hasil buminya sendiri.

Aku tidak ingin menciptakan sentimen dan tidak pula bermaksud mengungkit luka masa lalu. Aku putra Aceh Selatan. Aku lahir di sana dan aku dibesarkan dari perut buminya. Tapi darahku tetap Singkil, karena ayahku mewariskannya dalam tubuhku.
Jangankan Aceh Selatan, negara kita Republik Indonesia saja memberlakukan Aceh seperti itu juga. Aceh kaya akan sumber daya alam. Membentang dari unjung Banda hingga ujung Tamiang di Timur dan Ujung Singkil di Selatan. Namun, Aceh tetap mendapat hasil bagi yang kecil. Tak khayal ini mengundang pemberontakan oleh rakyat Aceh terhadap republik karena menganggap republik terlalu serakah dan tamak.
Tapi itu dulu kawan, jauh sebelum negara ini mengalami reformasi. Jauh sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen oleh wakil kita di Senayan. Jauh ketika belum ada otonomi penuh kepada daerah dalam mengelola sumber dayanya sendiri.

Kuala Baru, kita masih membahas desa itu. Menempuhnya saja harus menaiki perahu bermotor laiknya speedboard dengan mesin tempel di belakangnya. Hanya saja, speedboard terbuat dari fiber sedangkan perahu mereka hanya terbuat dari kayu.
Jarak tempuhnya juga sangat jauh, sekitar dua jam perjalanan dari daratan Singkil. Sebenarnya ada jalur lain untuk bisa sampai ke Kuala Baru. Jalur yang lebih pendek dan tidak perlu melewati sungai Singkil yang ganas itu. Jalur yang sudah ditemukan sejak bertahun-tahun lalu. Jalur itu adalah Bulussema-Kuala Baru. Bulussema adalah sebuah desa terpencil di daerah Trumon, Aceh Selatan. Sayangnya, jalur ini dalam sengketa bagi para aktivis dan lembaga pecinta hewan dan tumbuhan.

Bagi para aktivis lingkungan, jalur ini dinyatakan masuk ke dalam ekosistem gunung leuser. Sehingga tidak boleh diganggu sedikitpun. Jika jalan dibuka maka habitat akan terganggu. Akibatnya, kepunahan bagi ekosistem. Di satu sisi tidak salah juga jika para aktivis ini berpikiran seperti itu. Disaat berbagai habitat mulai punah di bumi ini, maka leuserlah salah satu tempat yang masih bisa diharapkan. Hanya saja aku menyayangkan mereka lebih sayang seekor monyet dari pada seorang manusia. Bagi mereka (aktivis lingkungan) menyelamatkan habitat hewan dan tumbuhan lebih mulia dari pada menyelamatkan nyawa manusia.

Sangat picik kawan. Inilah yang menyebabkan kampungku terus terisolir. Tidak hanya terisolir dari segi fisik karena tidak ada akses jalan selain sungai, namun juga terisolir pola pikir masyarakatnya. Bagaimana tidak terisolir, dari sejak mereka lahir hingga ajal akan menjemput, mereka hanya berada di daerah miskin ini. Mereka menikah sesame mereka. Anak-anak mereka pun mengecap pendidikan seadanya. Hanya orang-orang yang punya pemikiran maju saja yang akan menyekolahkan anak-anak mereka keluar dari kampung ini. Walaupun para orang tua harus kerja banting tulang untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Inilah kampungku kawan. Kampung kaya tapi miskin. Tidak ada penerangan kalau siang hari. Hanya malam saja lampu hidup dari aliran listrik negara. Tapi itu pun kadang tidak selamanya hidup karena bahan bakar yang tidak mencukupi.
Itu cerita sekitar sepuluh tahun yang lalu kawan. Sekarang ada pembangunan di kampungku karena sudah menjadi sebuah kecamatan. Aku bersyukur kawan, sudah ada kemajuan di sana. Walaupun akses jalan belum juga dibuka. Sedangkan tim pemantau dari berbagai kalangan sudah datang untuk melihat badan jalan itu. Dari kepala dinas kabupaten hingga menteri sudah pernah berkunjung ke Kuala Baru untuk melihat badan jalan itu. Hanya Presiden saja yang belum turun ke lapangan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun jalan itu belum juga dibuka. Entah siapa yang bermain di sini. Mungkin juga ini sarat dengan kepentingan elit politik.

Tahun 2011 ini adalah tahun pemilihan kepala daerah. Semua bakal calon sudah memasang spanduk dan membagi-bagikan kelender dan poster dirinya. Dari bisik-bisik yang ku dengar, tiap bakal calon berjanji akan membuka akses jalan Kuala Baru – Bulussema. Semoga saja ini akan menjadi kenyataan. Semoga saja mereka mengerti bahwa janji adalah hutang.

Banda Aceh, 24 Februari 2011

ANDAI DIPO TAHU: TAK SELAMANYA MEDIA ITU INDAH

Ada saja kondisi yang tidak mengenakkan melanda pers di Indonesia. Setelah di penghujung tahun 2010 lalu terjadi penyerangan kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Sulawesi disusul pemukulan wartawan di Bener Meriah saat tahun 2011 baru berjalan beberapa hari saja. Sekarang muncul lagi statement dari seorang pejabat pemerintahan untuk memboikot media-media yang selalu mengritik pemerintah. Adalah Dipo Alam orangnya. Saat ini beliau sedang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2.

Pernyataan Dipo Alam tersebut banyak dikecam oleh berbagai pengamat dan praktisi media. Lebih-lebih para pekerja media yang dinyatakan Dipo masuk dalam “catatan hitam”-nya. Ternyata Dipo Alam gerah bercampur geram tiap kali membaca surat kabar, mendengar radio, dan menonton televisi yang isinya selalu mengritik pemerintah SBY. Selalu saja yang disoroti oleh media adalah bobrok pemerintah. Tidak pernah media melihat sisi positif pemerintah. Kondisi ini bagi Dipo Alam merupakan ancaman dan momok yang menakutkan. Pilihannya hanya satu, hilangkan mereka. Mereka disini adalah media-media yang dianggap bermasalah tadi.

Ada tiga media yang dinyatakan Dipo bermasalah, yaitu, Metro TV, TV One, dan Media Indonesia. Dua dari tiga media itu berada dalam satu perusahaan yang sama dengan pemilik yang sama pula, yakni Metro TV dan Media Indonesia berada dalam naungan Media Group, pimpinan Surya Paloh. Sedangkan TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Bagi Dipo Alam, ketiga media ini sudah berada pada stadium tinggi untuk mengritik pemerintah. Jika dibiarkan media-media ini akan terus menggrogoti bobrok pemerintah tanpa mau melihat keberhasilannya.

Tak khayal Dipo diserang habis-habisan oleh awak media, bahkan Metro TV sudah menyomasi Dipo Alam. Lantas apa kata Dipo Alam atas somasi Metro TV itu? Dipo Alam tidak pernah takut terhadap somasi itu karena menganggap ia tidak salah dan siap dengan pembelaannya.

Agaknya Dipo Alam lupa bahwa salah satu fungsi utama pers adalah kontrol sosial. Artinya pers menjalankan fungsi kontrol terhadap suatu kesalahan dan penyelewengan wewenang dalam sebuah sistem sosial. Dalam ranah studi komunikasi dikenal istilah Miror Theory. Teori ini mengatakan bahwa apa saja yang diberitakan oleh media adalah kondisi yang terjadi di masyarakat. Dipo bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu akan hal ini. Konon lagi Dipo merupakan salah satu tokoh penggerak reformasi yang gencar meneriakkan kebebasan berpendapat, namun sekarang malah ia yang tidak senang dengan kebebasan itu dan berbalik menentangnya. Semoga saja Dipo tahu bahwa tak selamanya media itu indah. He-he-he.

Kamis, 27 Januari 2011

Kebebasan Milik Siapa?

Akhir-akhir ini mulai terdengar lagi gaung meminta kebebasan pers. Para insan pers merasa kebebasan mereka mulai terkekang. Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus pemukulan wartawan yang terjadi di Indonesia. Walaupun beberapa kasus mendapat titik terang karena pelakunya diadili dan mendapat hukuman setimpal.

Agaknya para kuli tinta menyadari betapa penting sebuah kebebasan bagi mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Menurut Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tugas dan fungsi per situ sangat kompleks mulai dari mencari, menemukan, meliput, memiliki, menyimpan, mengolah, serta menyebarkannya melalui media massa. Demikian kompleksnya perkerjaan pers itu, maka tak khayal kebebasan menjadi jalan satu-satunya agar pekerjaan itu tidak terganggu.

Pengalaman pahit masa lalu pers di Indonesia yang terkekang oleh rezim diktator menjadi pelajaran bagi awak pers. Tiga puluh dua tahun berada di bawah kontrol pemerintah membuat media gerah, dan meledak euforianya saat rezim orde baru runtuh bulan Mei 1998. Keran kebebasan mulai terbuka. Semua orang dapat mengemukakan pendapatnya secara terbuka tanpa rasa takut. Dalam Declaration of Human Right juga disebutkan bahwa kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia. Sehingga ia harus dipenuhi. Kondisi euforia ini juga diikuti oleh kebebasan pers. Pers mulai berani secara terang-terangan mengritik pemerintah tanpa harus khawatir akan dibreidel.

Seiiring berjalannya waktu mulai muncul permasalahan pada kebebasan pers ini. Sebagian masyarakat mulai gerah juga terhadap berita pers yang dianggap “murahan”, konon lagi dengan berbagai berita-berita gosip yang tidak berbobot. Sama sekali tidak memiliki tingkat urgensi pada masyarakat. Namun, inilah yang diinginkan media. Mereka bebas memberitakan apa saja dengan dalih bahwa itu adalah permintaan pasar. Laiknya hukum permintaan dalam ekonomi, jika permintaan pasar ada maka media akan menyediakannya. Siapa yang salah? Silakan anda maknai dengan jawaban sendiri.

Sebenarnya semua berita yang dikeluarkan oleh media setiap harinya merupakan kehendak manajemen media itu sendiri. Pasar memang membutuhkan informasi, tapi informasi yang disediakan terlebih dahulu dipilih oleh si empunya media atau petinggi dalam media itu sendiri. Dalam Manufacturing Consent dikatakan bahwa pemilik media - siapapun dia - menjadi penentu dalam sebuah pemberitaan. Kita sering terjebak dalam teori jarum suntik atau teori agenda setting tanpa mau melihat ada apa dibalik media itu semua. Kita cenderung hanya melihat media dari apa yang ditampilkan kepada khalayak. Namun di balik itu semua ada hal yang sangat menentukan yaitu kekuasaan pemilik media.

Pemilik media berhak menentukan isu apa yang akan menjadi headline bagi medianya. Pemilik media juga berhak menentukan mana berita yang tak layak untuk diterbitkan atau ditunda untuk diterbitkan. Pemilik media mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Pemilik media mempunyai kebebasan penuh dalam mengatur medianya. Apa yang menurut si “bos” benar, maka itu yang harus dilakukan oleh awak medianya. Kondisi ini tidak dapat dielakkan lagi. Memang sudah demikian adanya. Tidak salah jika para pakar dana pengamat media menganggap pemilik media adalah kaum kapitalis yang maunya hanya menang sendiri. Mereka “tidak mau” memikirkan apa efek dari sebuah pemberitaan. Yang paling penting bagi mereka adalah keuntungan yang besar dengan jumlah oplah atau rating yang meningkat.

Jadi, kebebasan milik siapa? Silakan pembaca jawab sendiri. Jika tidak tahu jawabannya, maka tanyalah pada rumput yang bergoyang. He-he-he. (yfh)

Selasa, 25 Januari 2011

Mobil Menteri






Sabtu (8/1/2011), cuaca siang tidak begitu bersahabat, meskipun pada pagi harinya tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Seperti biasa saya harus ke kampus karena hari ini adalah ujian terkahir untuk semester ganjil. Persiapan sudah dilakukan, tinggal bertarung saja dengan soal-soal yang akan menguras otak untuk menjawabnya.

Sepenuhnya konsetrasi saya tidak pada soal yang ada di atas kursi dengan meja yang menyatu ke penyangga kursi. Buyarnya konsentrasi ini karena ada pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya sudah “meneken” kontrak kerja sama dengan Panitia Pelantikan Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Aceh. Sebenarnya sih tidak ada perjanjian hitam di atas putih untuk pekerjaan ini, tapi saya sudah “disewa” untuk memotret prosesi pelantikan ini. Menjadi “fotografer” memang menjadi pekerjaan sampingan saya saat ini. Dengan kamera single lens reflex yang murah, saya beli waktu ada pameran elektronik di Banda Aceh.

Lima belas menit sudah berlalu. Telepon selularku bergetar pertanda ada panggilan masuk. Benar saja, panitia pelantikan sudah menunggu saya di Asrama Haji Banda Aceh. Namun apa boleh buat, soal-soal ujian belum semuanya saya jawab. Saya berusaha secepatnya untuk menyelesaikan soal-soal itu. Dalam waktu lebih kurang 25 menit saya rampungkan semua pertanyaan. Syahdan saya menyerahkan lembar jawaban kepada pengawas ujian. Selanjutnya bergegas menuju Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda guna memotret prosesi penjemputan menteri yang akan melantik DPW. Anda pasti tahu siapa menteri yang saya maksud. Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Beliau adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang sebelumnya dipimpin oleh Gus Dur.

Sebenarnya sempat terjadi pertikaian antara kedua kubu PKB, massa PKB Gus Dur versus massa PKB Muhaimin. Tapi saya tidak hendak menceritakan kronologis pertikaian itu. Biarlah media-media arus utama yang mengekspos apa yang terjadi. Toh sekarang mereka sudah damai. PKB sudah jadi satu kembali.

Kembali ke Pak Muhaimin. Beliau baru masuk kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 saat SBY terpilih untuk kedua kalinya menjadi Presiden Republik Indonesia. Pak Muhaimin menjadi pembantu presiden untuk mengurusi tenaga kerja Indonesia dan sistem transmigrasi masyarakat Indonesia. Berbagai kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri menjadi urusan Pak Muhaimin. Bisa anda banyangkan bagaimana sibuk dan lelahnya Pak Muhaimin mengurus itu semua. Tapi itulah kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kemaslahatan rakyat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, saya baru sampai di desa Meunasah Manyang, sekitar 7 kilometer dari bandara. Apa lacur, hujan menerpa. Menghentikan laju sepeda motor saya. Saya harus berteduh karena kamera yang saya bawa. Jika saya melanjutkan perjalanan maka kamera akan basah. Jika kamera basah maka saya tidak bisa bekerja lagi. Saat berteduh, telepon selular saya bergetar kembali. Lagi-lagi telepon dari panitia. Saya meminta maaf karena tidak bisa melanjutkan perjalanan ke bandara. Artinya saya tidak bisa memotret prosesi penyambutan kedatangan Pak Muhaimin. Terdengar nada kecewa dari seberang telepon. Saya sudah pasrah, kalau-kalau pekerjaan ini dibatalkan. Untungnya itu tidak terjadi. Saya disuruh untuk kembali saja ke Asrama Haji.

Asrama Haji sudah dipadati beberapa orang yang akan menyasikan prosesi pelantikan. Ada juga yang berasal dari salah satu pesantren di Aceh Besar, sepertinya warga pesantren ini adalah simpatisan PKB. Beberapa pengurus yang tidak ikut menjemput ke bandara bersiap menyambut menteri. Sekitar pukul 13.30 WIB terdengar kabar kalau menteri beserta rombongan hampir sampai ke Asrama Haji. Semua bersiap. Penari Ranup Lam Puan juga bersiap. Tari Ranup Lam Puan merupakan tarian penerima tamu yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut tamu.

Menteri berada di dalam sebuah mobil berwarna hitam. Detil saya menangkap merek mobil tersebut. Toyota Alpard dengan nomor plat RI 28. Anda tahu harganya kan? Jika saya tidak keliru, di pasaran Toyota jenis Alpard dibandrol seharga Rp1 Miliyar. Kepada anda semua pembaca yang budiman, saya akan bagikan hasil jeprat-jepret saya. Semoga bermanfaat. He-he-he.

Media Oh Media

Perkembangan media massa dewasa ini sangat pesat. Berbagai media muncul secara simultan dan seakan tidak terbendung. Kondisi ini menyebabkan arus informasi setiap hari mengalir tak henti ke tengah masyarakat.

Media cetak merupakan media tertua di dunia. Sudah ada sejak 100-40 SM, ketika Julius Caesar berkuasa di Romawi kuno. Para jurnalis yang pada masa itu dikenal dengan nama diurnari bekerja atas perintah sang Raja untuk mencari berbagai informasi di empat penjuru mata angin (barat, timur, utara, dan selatan). Semua informasi yang terkumpul dituliskan pada sebuah papan besar di alun-alun kerajaan. Setiap orang yang mau membacanya harus datang ke alun-alun. Acta diurna, nama papan besar itu. Di situ rakyat mengetahui apa yang terjadi setiap harinya. Lambat laun media cetak semakin berkembang. Pada tahun 1950-an, seorang berkebangsaan Jerman, Johannes Gutenberg membuat sebuah penemuan yang fantastis sekaligus mengubah wajah dunia cetak dunia. Gutenberg menemukan sebuah mesin cetak, sedang ia heran terhadap temuannya ini yang bisa menggandakan tulisan. Pada mulanya mesin cetak buatan Gutenberg hanya digunakan untuk mencetak bible (injil). Lama kelamaan mesin cetak ini digunakan untuk memperbanyak buku dan majalah. Hingga akhirnya mesin cetak Gutenberg ini menyebar hamper ke seluruh dunia. Tapi sayang, Gutenberg tidak pernah menikmati hasil temuannya itu. Ia mati setelah beberapa waktu menemukan mesin cetaknya.

Media elektronik mulai merambah masyarakat pada kisaran tahun 1920-an. Bermula di benua Amerika kemudian masuk ke benua Eropa. Sementara itu, radio-lah yang masuk terlebih dahulu di tengah masyarakat. Agaknya, masyarakat antusias menerima media baru seperti Radio. Siaran yang disukai oleh masyarakat ketika itu adalah opera sabun. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1960-an muncul media televisi yang siap menyaingi popularitas radio. Ini sangat mungkin dilakukan oleh televisi karena ia merupakan media pandang-dengar yang memiliki kelebihan dari pada radio, sebagai media dengar.

Meski sedikit tersingkirkan, toh radio masih tetap bertahan. Masyarakat masih mau menyukai radio karena keefisienannya. Radio bisa dinikmati dimana saja. Tidak ada batasan ruang. Berbeda dengan televisi, kita harus menyediakan waktu untuk duduk dan menonton tayangan yang disuguhkan. Dibandingkan dengan radio, televisi memiliki dampak yang lebih besar pada khalayak. Masyarakat cenderung melihat dan meniru apa yang ditampilkan di televisi. Tidak jarang tindak kekerasan dalam masyarakat dipengaruhi oleh tayangan televisi. Masyarakat khususnya anak-anak dan remaja menginterpertasikan bahwa apa yang ditayangkan oleh televisi adalah benar adanya. Misalnya, tokoh Superman, Batman, Spiderman, dan lain sebagainya. Penonton usia anak-anak cenderung mempersepsikan bahwa ia pun dapat terbang seperti tokoh hero pujaannya itu. Tak khayal dewasa ini banyak kematian anak akibat jatuh dari tingkat tinggi, jika ditanya kepada temannya maka akan dijawab karena ingin seperti super heronya tadi.

Pada era berikutnya muncul media online, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Seakan tak mau kalah dengan pendahulunya, media baru ini mencoba mencaplok semua peran media yang lahir sebelumnya. Di online kita bisa membaca berita, menonton TV, serta mendengar streaping radio. tanpa harus susah-susah membeli atau berlangganan media cetak dan elektronik itu satu persatu. Namun disayangkan jika media online juga membawa malapetaka bagi masyarakat. Akses informasi yang tak terbatas dan tak berjarak membuat masyarakat cenderung mengakses informasi yang seharusnya tidak layak untuk diakses, misalnya, situs-situs porno. Selain itu, tindak kejahatan cyber juga sering terjadi di media online.

Media memang berkembang pesat. Beberapa dekade lagi entah media apa lagi yang akan lahir. Hanya saja perlu proteksi bersama guna menjaga diri dari terpaan dahsyat media. Jika tidak disaring mana informasi atau tayangan yang layak dan mana yang tidak layak, maka niscaya akan lahir masyarakat modern yang dikuasai oleh media. Bukan media yang menguasai manusia tapi manusialah yang menguasai media. Media hanya produk dari modrenitas manusia. Seharusnyalah manusia melakukan kontrol kepadanya. Manusia berhak mengatur media dan menata media agar lebih baik. Bukan hanya menyerahkannya kepada selera pasar. Medialah yang sebenarnya menentukan selera pasar. Rendah atau tinggi, murahan atau berkelasnya selera pasar sangat tergantung pada informasi dari media. (yfh)

Media dan Pak SBY

“Saya lebih memilih media tanpa negara daripada negara tanpa media”, Napoleon Bonaparte)

Belakangan ini masyarakat santer membicarakan “curhat” presiden tentang gajinya. Berbagai media massa secara intensif memberitakannya pula. Agaknya apa yang disampaikan oleh Presiden SBY dalam sambutannya pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri beberapa waktu yang lalu adalah keluh kesah presiden tentang gajinya yang “kecil”. Berita ini headline di sejumlah media. Tidak hanya media arus utama (mainstream), media online juga ikut-ikutan mengambil angle liputan masing-masing, yang penting berita hot issue. Bayangkan saja apa tidak “gila” seorang presiden curhat mengenai gajinya yang rendah, meskipun jumlah gaji presiden adalah Rp6o juta lebih dengan tunjangan senilai Rp2 milyar. Wah, angka yang fantastis untuk ukuran mahasiswa seperti saya. He-he-he.

Lupakan sejenak angka-angka itu. Terlalu panjang perkalian matematikanya jika harus bicara mengenai angka-angka “gila” itu. Biarkan saja ini menjadi urusan Menteri Keuangan dan Badan Urusan Rumah Tangga Kepresidenan. Toh, itu memang sudah menjadi tugas mereka. Kalau tidak, sia-sia mereka digaji dengan uang rakyat. He-he-he.

Mari kita kembali pada masalah Media dan Presiden. Oleh berbagai pakar politik dan komunikasi, Presiden SBY dikenal suka dengan politik pencitraan. Salah satu komunikator dalam komunikasi politik adalah aktor politik. Nah, siapa aktor politik itu? Termasuk di dalamnya adalah presiden, anggota DPR, bupati, pejabat, dan lain sebagainya. Aktor politik ini menggunakan media massa sebagai partner guna mencitrakan diri mereka sebagai yang terbaik. Imbalannya, media mendapatkan berita setiap hari tanpa harus pusing-pusing membuat rapat redaksi, meskipun rapat redaksi tetap penting dalam manajemen media massa. Selain itu, media juga akan kebanjiran iklan kalau medianya dekat dengan pemerintah. Artinya ada simbiosis mutualisme, media dan aktor politik saling menerapkan azas manfaat.

Demikian pula halnya dengan Pak SBY. Beliau adalah presiden yang juga berarti sebagai aktor politik. Artinya beliau adalah “sasaran empuk” bagi media massa, baik sasaran untuk mengungkit kegagalan atau sasaran untuk mencitrakan kesuksesannya. Kebetulan kali ini Pak SBY menjadi sasaran kontroversi ala media. Sebenarnya bukan hanya kali ini saja Pak SBY menjadi sasaran media, hampir setiap tindakan dan perkataan Pak SBY seakan menjadi celah bagi media untuk diangkat ke permukaan. Masyarakat pun dibuat terprovokasi olehnya.

Bagi mahasiswa yang fakir ilmu seperti saya, setidaknya ada analisis yang dapat saya ajukan kepada pembaca yang budiman. Ini hanya analisis kecil-kecilan. Terbuka ruang untuk tidak setuju dengan pendapat saya ini. Toh, negara kita menganut paham demokrasi yang salah satu kriteria bagi sebuah negara demokrasi adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat. Lets we play.

Dari semua berita yang dimuat di media massa baik cetak maupun elektronik mengenai pernyataan Pak SBY di depan para Permira Tinggi (Pati) TNI/Polri, saya menganggap itu hanya akal-akalan media saja. Tidak ada pernyataan secara eksplisit maupun implisit yang dilontarkan oleh Pak SBY mengenai permintaannya agar gajinya dinaikkan. Tidak pernah sama sekali. Hatta Rajasa, Menteri Sekretari Negara pun membantah bahwa Presiden SBY tidak pernah meminta gajinya dinaikkan. Pak SBY hanya mengatakan bahwa selama 7 tahun menjabat sebagai presiden gajinya tidak pernah naik. Pak SBY mungkin ingin mengingatkan para Pati itu untuk tidak meminta kenaikan gaji sementara tugas dan tanggung jawab belum dilaksanakan dengan benar. Hanya itu saja.

Yang saya tahu, Pak SBY itu adalah orang yang perfectionist. Bahkan kalau tampil di depan media massa, di depan puluhan sorot kamera. Sangking perfectionist-nya, Pak SBY selalu hati-hati dalam menyusun kalimatnya. Jangan sampai ada kontroversi dari tiap kalimat yang diutarakannya, apa lagi menyinggung hati orang lain termasuk rakyatnya. Dalam bukunya, Dr. Dino Patti Djalal, salah seorang staf khusus kepresidenan yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat yang berjudul Harus Bisa, Seni Memimpin Ala SBY, menuliskan, Pak SBY itu orangnya sangat teliti bahkan untuk pidatonya sekalipun. Pak SBY selalu mengecek ulang naskah pidato yang sudah disiapkan sebelumnya. Hal ini tak khayal membuat Pak Dino harus bolak balik untuk mengajukan draft pidato kepada presidenan. Tiap ada koreksi dari presiden, Pak Dino harus memerbaikinya. Pak Dino juga mencatat bahwa suatu ketika Pak SBY pernah mengoreksi tulisan pidatonya lima menit sebelum tampil di mimbar kehormatan itupun dengan meminjam bahu ajudannya. Bukan hanya Pak Dino, Prof. Dr. Tjipta Lesmana, dalam bukunya Dari Soekarno Sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa (2009), juga menuliskan bahwa sebagai seorang sosok yang perfectionist, SBY selalu berbicara hati-hati. Bahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah diartikulasikan secara cermat. Bahasanya jelas dan sangat konseptual sekali.

Berpijak kepada apa yang disampaikan oleh Dr. Dino dan Prof. Lesmana tersebut, tanpa ada maksud memihak, dapat disimpulkan bahwa Pak SBY adalah sosok yang sangat peduli pada apa yang akan diucapkannya. Dengan demikian, apa yang disampaikan SBY dalam Rapim TNI/Polri itu sudah dipikirkan masak-masak. SBY sudah berupaya untuk tidak melahirkan sebuah kontroversi dalam tiap ucapannya. Namun, media agaknya menghendaki lain. Tuturan singkat dari bibir Pak SBY itu diartikulasikan sebagai curhat presiden terhadap gajinya yang “kecil”. Parahnya, masyarakat ikut-ikutan terpengaruh dengan berita ini.

Media memang “super”. Maka tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa “siapa yang menguasai media berarti menguasai dunia”. Media dapat membuat pahlawan menjadi pecundang, sedang pecundang bisa menjadi pahlawan. Media bisa membuat konflik menjadi perdamaian, sedang media juga bisa memicu munculnya konflik baru. Selama ini paradigma media massa tidak hanya di Indonesia masih cenderung konservatif (kolot). Awak media masih memegang jargon bad news is good news (berita buruk adalah berita yang baik). Artinya semakin “murahannya” berita itu, maka semakin bagus untuk terus diekspos. Semakin ada kontroversi dalam berita itu, maka semakin bagus untuk dibesar-besarkan.

Apesnya Pak SBY adalah karena media di Indonesia sudah sangat bebas. Pascareformasi keran kebebasan memang terbuka lebar. Tidak ada lagi Surat Ijin Penerbitan Pers (SIUPP) yang sangat terkenal pada masa Orde Baru. Ini membuat media banyak bermunculan. Siapa pun dapat mendirikan media baru asalkan punya uang. Silakan anda hitung sendiri berapa jumlah media yang muncul pascareformasi Indonesia. Kondisi ini sebenarnya menjadi bukti bahwa Indonesia sudah menerapkan demokrasi. Namun demokrasi yang diterapkan agaknya sudah kebablasan. Kebebasan disalurkan tidak pada tempatnya. Sehingga tidak jarang kita lihat unjuk rasa yang berakhir anarkis dan media massa yang berselera rendah.

Awak media selalu tidak mau disalahkan. Mereka selalu mengatakan bahwa media hanya mereduksi apa yang terjadi di masyarakat. Dalam komunikasi massa memang dikenal istilah Mirror Theory, dimana isi media dianggap sebagai cerminan apa yang terjadi dalam masyarakat. Media menjalankan liputan terhadap keseharian masyarakat. Media memang berfungsi sebagai pembawa informasi dan kontrol sosial. Namun bukan berarti media massa selalu menyodorkan berita-berita “sampah” kepada masyarakat. Media juga tidak bisa menafsirkan seenaknya sendiri terhadap apa yang disampaikan oleh aktor politik. Alih-alih sebagai kontrol sosial, media tidak harus menceritakan dan selalu mengungkit kejelekan atau kegagalan pemerintah.

Untuk berita mengenai “curhat” Pak SBY ini, media lagi-lagi berhasil menciptakan opini publik. Opini masyarakat digiring kepada suatu kesimpulan tertentu. Alih-alih media menyajikan pemberitaan yang berimbang (cover both side), di balik itu semua sebenarnya media berupaya menggiring masyarakat kepada apa yang dikehendaki media. Ibarat sebuah film, pemberitaan juga sudah diskenariokan terlebih dahulu. Hanya saja skenarionya merupakan sebuah realitas dalam masyarakat.

Untungnya Pak SBY “tidak menggubris” apa yang disampaikan media. Agaknya, Pak SBY tidak mau mencoreng citranya hanya untuk meladeni berita yang tidak penting ini. Maka orang-orang lingkaran dalam Pak SBY-lah yang melakukan klarifikasi ini semua. Anda tahu kan bagaimana Mensesneg, Hatta Rajasa dan Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menglarifikasi semua pemberitaan “curhat” presiden.
Pak SBY selalu “menyayangi” media walaupun keburukannya selalu diungkit. Mungkin Pak SBY tahu media adalah teman, atau mungkin Pak SBY tahu bahwa media punya kekuatan yang besar sebagai sarana untuk mencitrakan dirinya. Mungkin juga Pak SBY takut kalau-kalau media akan bertindak lebih buruk lagi jika beliau melawannya. He-he-he. Silakan anda interpretasikan sendiri mengapa Pak SBY tidak mau membalas apa yang dilakukan media terhadapnya.

Pak SBY dan media memang dua hal yang beda tapi sulit dipisahkan. Sebagai seorang pemimpin Pak SBY memerlukan media sebagai “corong” dalam mengabarkan kepada rakyat mengenai suatu kebijakan yang dibuatnya. Sementara media memerlukan Pak SBY sebagai sumber berita guna menaikkan oplah medianya. Kembali kepada pernyataan di awal tadi, sismbiosis mutualisme memang sedang terjadi. Meski terkadang media cenderung agak “nakal”, namun bukan berarti media harus diberangus atau ditekan. Meski pun Pak SBY adalah aktor politik, bukan berarti media selalu terus berupaya mengungkit yang “buruk” guna diberitakan kepada masyarakat. masyarakat juga harus peka terhadap apa yang sedang terjadi sebenarnya. Saya percaya masyarakat sudah tidak bodoh lagi. Tapi jangan biarkan kita dibodoh-bodohi oleh berita dan isu murahan.
Oh iya, sebagai penutup tulisan ini, saya teringat pada wasiat seorang pemimpin dan saya akan bagikan kepada anda semua, pembaca yang budiman. Gratis, tidak perlu bayar. He-he-he.

“Saya lebih takut kepada satu media massa daripada ribuan tentara musuh”.
Selamat menjadi masyarakat yang cerdas. Salam demokrasi. He-he-he. (yfh)

Jumat, 14 Januari 2011

Long Life Education



Sekilas menapaki jalanan Kota Banda Aceh malam ini sama seperti malam-malam biasanya. Hanya saja mala mini jalan agak sedikit ramai, barangkali karena tidak kurang dari 24 jam lagi tahun akan berganti. Entahlah, semua orang bisa saja punya kesibukan dan urusan masing-masing.

Saya menuju ke sebuah warung kopi (warkop). Seperti biasa mengendarai motor yang tadi siang harus masuk bengkel gara-gara putus gear-nya. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, begitu mungkin gambaran nasib apes saya tadi siang. Di akhir bulan seperti ini bagi anak kos mengeluarkan uang sejumlah Rp200.000 sangat “menyakitkan”. Tapi apa daya, demi tunggangan uang sejumlah itu bukan jadi masalah. He-he-he-he.

Waktu baru menunjukkan pukul 20.08 WIB. Saya akhirnya sampai di parikiran warung kopi yang terletak di perlimaan kota. Saya sebut perlimaan karena memang ada lima simpang yang bisa ditempuh dari berbagai penjuru dengan sebuah tugu berdiri kokoh di tengahnya.

Semula pemandangan di dalam warkop biasa-biasa saja. Ya, seperti lumrahnya setiap warkop di Banda Aceh pasti ramai orang yang duduk apalagi ditambah fasilitas wifi yang belakangan jadi trend di warkop. Orang-orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam duduk menghadap computer jinjing mereka yang sudah terkoneksi dengan internet. Hanya memesan segelas air minum plus kue-kue sebagai cemilan, terserah berapa lama anda mau duduk. (itupun kalau anda tidak tahu malau). He-he-he-he.

Sampai pada suatu ketika mata saya menangkap pemandangan ganjil – minimal untuk diri saya sendiri. Kalau anda terserah mau memaknai hal ini ganjil atau tidak. Keganjilan itu adalah seorang kakek yang separuh badannya lumpuh, mungkin karena stroke. Berjalan pun dibantu oleh kruk, memakai jaket biru tua dengan peci haji yang miring dudukannya. Di depannya tergeletak selembar koran. Ia buka perlahan. Kata demi kata ia baca. Matanya mengikuti alur tulisan koran. Melihat hal ini saya menjadi geli sendiri. Tak kuasa menahan kegelian ini, saya mengeluarkan kamera dan menjepret beberapa frame foto secara diam-diam (kakek maafkan saya).

Saya teringat hadis Nabi Muhammad SAW. Kalau saya tidak keliru begini bunyinya:
“Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat”
Apa yang disampaikan oleh hadis ini seolah sama seperti yang dilakukan oleh kakek tua itu. Belajar memang tidak pernah ada batasnya (long life education). Segala yang ada di ujung langit dan di dalamnya bumi disuruh pelajari. Cari dan terus cari, hingga kita mengetahui. Hakikat belajar adalah menciptakan hamba yang taqwa kepada Tuhannya.

Pemerintah kita sudah lama menggiatkan berbagai program guna meningkatkan pendidikan di Indonesia. Ada yang namanya Indonesia Cerdas, Wajib Belajar 9 Tahun, dan lain sebagainya. Dengan slogan-slogan kampanye yang bombastis, pemerintah mencoba mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama membuat Indonesia cerdas. Mendidik anak-anak sebagai generasi penerus bangsa agar giat belajar. Untuk mendukung semua program pendidikan ini, pemerintah tak lupa menganggarkan dana. Karena keterbatasan pengetahuan saya, kalau tidak salah hanya sekitar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperuntukkan bagi pendidikan. Terserah anda mau menilai alokasi anggaran ini cukup atau tidak. Memang semua terserah anda. Saya tidak berhak mengintervensi anda untuk berpendapat karena negara kita kan negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.

Jadi, malam ini pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan berhenti untuk belajar. Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina.
Selamat belajar.

Yuhdi Fahrimal Hazmi
31 Desember 2010

Harapan Bagi Surat Kabar Lokal Aceh

Pikiran Rakyat: Antara Simbol dan Harapan. Sebuah tulisan atau lebih tepatnya esai yang ditulis oleh guru besar komunikasi Universitas Padjajaran, Prof. Deddy Mulyana, M.A.,Ph.D. Dalam tulisannya, Prof. Deddy mengsinergikan antara nama Pikiran Rakyat dan harapan yang harus dipenuhinya.

Pikiran rakyat adalah sebuah media lokal di Jawa Barat. Lahir lebih kurang 40 tahun yang lalu, namun hingga sekarang koran kebanggaan rakyat Jawa Barat ini masih bertahan dan sangat dicintai oleh pembacanya, khususnya masyarakat Jawa Barat (Mulyana, 2008:114-117).

Membaca tulisan Prof. Deddy Mulyana ini mengambarkan betapa surat kabar Pikiran Rakyat mendapat tempat dihati rakyat Jawa Barat. Melalui rubrik-rubrik yang disajikannya, Pikiran Rakyat diharapkan akan tetap mampu bertahan ditengah terpaan berbagai media baru yang bermunculan pasca reformasi. Selain itu, Pikiran Rakyat diharapkan mampu melestarikan budaya sunda yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jawa Barat, hal ini guna menumbuhkan sikap peduli masyarakat terhadap budaya leluhurnya disamping fungsi dari media massa Indonesia adalah sebagai pelestari budaya bangsa.

Meskipun tak melihat secara langsung surat kabar Pikiran Rakyat yang menurut Prof. Deddy memiliki jati diri dan menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat, namun argumen yang dituliskan Prof. Deddy kiranya sudah dapat menggambarkan secara jelas bagaimana bentuk Pikiran Rakyat itu sendiri. Dari namanya saja sudah dapat ditebak, bahwa surat kabar ini memang menjadi buah pikiran rakyat, tidak memihak, dan berjuang untuk kepentingan rakyat.

Gambaran ini bertolak belakang dengan keadaan surat kabar lokal di daerah kita. Meskipun juga kadang-kadang masih memihak dan membela kepentingan rakyat, namun media-khususnya surat kabar-di Aceh berada dalam keadaan riskan. Memberi informasi dan memberi hiburan, kedua fungsi ini jelas sangat sering dimainkan oleh media di daerah kita. Lantas bagaimana dengan fungsi mendidik dan melestarikan budaya bangsa/leluhur?. Ini yang masih patut dipertanyakan karena tak jarang bahkan selalu kita temukan media kita yang tidak mendidik melalui rubrik yang disajikannya dan sangat sedikit ruang yang diberikan untuk mengangkat indahnya budaya leluhur kita.

Sekiranya paradigma lama tentang jurnalistik masih dipegang erat oleh insan pers di Aceh. Bad news is good news, kabar buruk adalah berita yang baik. Disatu sisi ini tidak bisa disalahkan karena tuntutan manajemen media itu sendiri. Dengan dalih bahwa media kita adalah industri, maka untuk menghidupinya dibutuhkan berita-berita ”panas” untuk menunjang oplah harian. Sedangkan masalah bagaimana kemudian etika dan moral masyarakat, nanti ditinjau sendiri oleh Dewan Pers. Sungguh sebuah keadaan yang sangat kritis.

Masyarakat Aceh bangga dengan Syari’at Islam yang sudah dicanangkan sejak tahun 2003 dan dikumandangkan langsung oleh gubernur Aceh pada saat itu di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, disaksikan oleh hampir seluruh rakyat Aceh. Secara tidak langsung penerapan syari’at Islam ini telah menjadikan budaya Aceh berhaluan Islam.

Tidak hanya dari pergaulan, pakaian,bahkan kehidupan ekonomi dan tata laksana pemerintahan juga harus sesuai tuntunan syari’at Islam. Jika kita merujuk kepada hal ini maka kehidupan pers di Aceh juga harus sesuai dengan syari’at yang sudah didengungkan itu. Sayangnya, apa yang kita lihat hari ini adalah sebuah pelanggaran syari’at dari sisi pemberitaan. Bukankan Nabi Muhammad SAW telah memberikan tuntunan bagaimana menjadi penyampai kabar (jurnalis) yang baik yaitu tidak menyampaikan berita bohong, tidak membicarakan orang lain, tidak menyampaikan hal-hal yang dapat membuat orang lain marah, dan lain sebagainya. Tidak hanya seruan Nabi Muhammad SAW saja yang menuntun agar menjadi pendakwah yang terbaik, di Indonesia – bahkan seluruh dunia – memiliki kode etik jurnalistik yang diperuntukkan agar para jurnalis dan medianya menjadi profesinal dan tidak merusak moral bangsa.

Surat kabar lokal di Aceh masih jauh dari harapaan profesinalisme tersebut. Kiranya para insan media di Aceh masih mengejar peningkatan oplah untuk menggaji karyawan dan membuat medianya tetap bertahan. Hal ini membuat masyarakat Aceh hanya bisa mengurut dada karena pemberitaan yang sebenarnya tak layak untuk dimuat dan dibaca oleh masyarakat. Alih-alih mendidik malah media di Aceh banyak merusak moral masyarakat khususnya anak-anak. Setiap hari selalu ada berita pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, pencurian, bentrokan yang memenuhi halaman depan surat kabar.

Memang benar media butuh makan, namun apakah karena dalih ini maka media harus menyajikan berita-berita yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Selain itu, sangat jarang ditemukan ada rubrik atau halaman yang dikhususkan untuk memberi pendidikan kepada anak-anak. Walaupun ada, ruang yang diberikan hanya sedikit dan tidak diterbitkan setiap hari melainkan seminggu sekali. Jadi jangan salahkan anak-anak jika mereka berbuat menyimpang dari norma yang ada karena hampir setiap hari mereka disuguhkan hal-hal yang menyimpang.

Para pemilik dan pekerja media di Aceh hendaknya menyadari hal ini. Jangan hanya mementingkan ”isi perut” namun moral masyarakat Aceh yang Islami diabaikan. Seperti halnya surat kabar Pikiran Rakyat di Jawa Barat yang menjadi ”primadona” masyarakatnya surat kabar di Aceh juga bisa seperti itu, mendapat tempat dihati rakyat Aceh tentunya dengan pemberitaan-pemberitaan yang mendidik dan sesuai dengan etika serta norma yang berlaku di masyarakat. Apalagi masyarakat Aceh membutuhkan pemberitaan yang bai dan layak dibaca serta mendidik setelah lama berada dalam konflik. Jangan lagi berpatokan pada pola pikir lama terhadap berita, yang terpenting saat ini adalah memberikan yang terbaik kepada masyarakat agar surat kabar di Aceh pun menjadi kebanggaan masyarakat Aceh dimanapun ia berada.

Rubrik tentang budaya Aceh juga jangan dilupakan guna mengingatkan serta menyadarkan masyarakat yang sudah lupa dengan jati diri daerahnya. Banyak harapan yang masih dinantikan kewujudannya dari surat kabar Aceh, semua perubahan ini harus dimulai dari sekarang karena jika tidak maka di masa yang akan datang surat kabar di Aceh malah akan lebih buruk dari pada saat ini. Jangan takut dengan oplah yang akan berkurang, justru jika surat kabar di Aceh mampu memnghadirkan informasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak bertentangan dengan norma moral dan budaya yang dianut masyarakat Aceh, surat kabar itu dengan sendirinya selalu dinantikan kehadirannya dan secara otomatis oplah pun meningkat.

(Tapaktuan, 2 Februari 2010)yfh

Kamis, 13 Januari 2011

Si “Bungsu” yang (Masih) Terus Berbenah




Kemarin (11/01/2010) saya ke travel seorang teman. Sekali-kali ingin juga bersilaturahmi ke tempatnya. Seperti biasa hanya beberapa pegawai yang ada, mereka terlihat agak santai. Mungkin karena masih jam istirahat makan siang.

Sambil bercerita yang entah ngelantur kemana-mana, mataku menangkap seonggok majalah yang tergeletak di atas salah satu meja. Penasaran, saya mengambil satu majalah. Benar saja, itu majalah yang menjadi House Journal (jurnal internal) yang dikeluarkan oleh pihak universitas. Warta Unsyiah, namanya. Kerjaan bagian hubungan masyarakat yang bertugas menerbitkannya. Tentunya dengan dana yang berasal dari universitas.

Ada yang menarik saat saya memerhatikan cover majalah itu. Tertulis “FISIP, Si ‘Bungsu’ yang Terus Berbenah”. Ini laporan utamanya. Tertulis jelas dengan huruf berwarna merah. Laporan ini di Warta Unsyiah edisi 133/November 2010. Agaknya kali ini Warta Unsyiah ingin mengekspos keberadaan FISIP Unsyiah sebagai fakultas baru di lingkungan Unsyiah. Mungkin juga untuk menambah eksistensi FISIP di Unsyiah agar dianggap lebih “ada”.

Hasil liputan jurnalistik Tim Warta Unsyiah itu dikemas menjadi hampir tiga halaman. Pertama ada wawacanra dengan Dekan FISIP Unsyiah, Dr. Syarifuddin Hasyim, SH., M.Hum. beliau baru dilantik menjadi dekan tanggal 7 September 2009. Berarti hampir satu setengah tahun beliau memimpin FISIP yang terus bebenah. Selanjutnya wawancara dengan Pembantu Dekan III FISIP yang mengurusi bagian kemahasiswaan, Drs. Zainal Abidin AW, M.Si. namanya. Sebagai penutup laporan mengenai FISIP Unsyiah diwawancarai juga Ketua BEM FISIP periode 2010-2011, Zulfiadi Ahmedy.

Namun dalam laporan yang “apik” itu terdapat beberapa kejanggalan. Bukan penggunaan diksi jurnalistiknya, namun kontradiksi terdapat pada bedanya omongan dengan kenyataan. Tanpa ada maksud untuk memprovokasi, berikut kejanggalan yang saya tangkap. Hasil tangkapan mahasiswa yang fakir ilmu.

1. Dalam kutipan wawancara yang ditulis tim Warta Unsyiah, ada pernyataan dari Dekan FISIP Unsyiah, sebagai berikut, “Misi lain dari FISIP Unsyiah adalah melakukan kajian tentang dinamika sosiologi dan politik dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Publik sudah tahu kalau FISIP Unsyiah memiliki tiga jurusan, Ilmu Politik, Sosiologi, dan Ilmu Komunikasi, yang selalu diulang-ulang oleh Bapak Dekan saat beliau diberi waktu untuk berbicara kapan pun dan dimana pun. Bagi anda mahasiswa FISIP Unsyiah pasti sangat sering dan kadang “jenuh” mendengar pengulangan kata-kata ini.

Sementara dari pernyataan yang beliau lontarkan, hanya menyebutkan mahasiswa yang dibentuk oleh FISIP Unsyiah adalah generasi yang mampu mengkaji dinamika sosiologi dan politik, lantas dikemanakan disiplin ilmu komunikasi? Apakah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi hanya menumpang kuliah dan hanya wajib membayar uang kuliah setiap semesternya. Sebagai bagian dari Keluarga Besar Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, saya agak tersinggung juga.

Menurut pemikiran saya yang masih fakir ilmu ini, adalah beda pengkajian bidang sosiologi, politik, dan komunikasi. Meskipun ketiga-tiganya kadang memiliki hubungan yang erat antara satu dengan lainnya. Namun adalah keliru jika tidak menyebutkan pengkajian komunikasi secara spesifik. Bagi saya, komunikasi memiliki masalah yang jauh lebih kompleks ketimbang politik dan sosiologi. Tidak ada maksud menciptakan sentiment personal dari tiap jurusan karena memang sudah bukan jamannya lagi.

2. Ada tulisan yang menyebutkan penyediaan fasilitas internet bagi kelangsungan sistem administrasi FISIP Unsyiah. Fasilitas ini dapat dinikmati oleh “masyarakat” FISIP, baik dosen, tenaga administrasi, maupun mahasiswa. Fasilitas ini pun diberikan secara gratis alias tidak dipungut uang sepersen pun kepada siapa pun yang memakainya. Kiranya perturan ini hanya berlaku kepada dosen dan tenaga administrasi FISIP Unsyiah. Tapi bagaimana dengan mahasiswa? Sudah bukan rahasia lagi kalau mahasiswa ingin menggunakan fasilitas internet untuk hanya sekedar mengisi Kartu Rencana Studi on-line harus membayar dengan kisaran Rp3000-Rp5000.

Tarif ini juga berlaku jika mahasiswa membuat Surat Aktif Kuliah sebagai persyaratan pengusulan penerima beasiswa. Saya tidak tahu apakah di kampus-kampus lain dalam lingkungan Unsyiah juga berlaku hal yang sama? Apakah anda tahu? Jika memang anda tahu, bolehlah kita berbagi pengalaman. Tapi ini yang terjadi di kampus FISIP Unsyiah. Artinya, ada kontradiksi antara pernyataan dan kenyataan.

3. Untuk meningkatkan kualitas mahasiswa, dekanan FISIP Unsyiah merancang berbagai program baik akademik maupun ekstrakulikuler. Dari segi akademik, dilakukan peningkatan kualitas dosen atau tenaga pengajar di FISIP. Kebanyakan dari mereka memiliki gelar akademik S2 dan S3, seperti yang dikemukakan Dekan FISIP Unsyiah saat diwawancarai oleh Tim Warta Unsyiah. Selain itu, pihak FISIP juga mengadakan kuliah umum dengan mengundang dosen tamu dari berbagai universitas di Indonesia dan luar negeri. Ini memang terlaksana sebagaimana mestinya. Justru mahasiswa antusias setiap kali kuliah umum dilakukan. Tamunya pun tidak tanggung-tanggung, hampir semuanya guru besar dari universitas ternama. Selamat untuk Bapak Dekan yang sudah berusaha. Sedangkan dari segi ekstrakulikuler, pihak dekanan FISIP mendukung setiap kegiatan mahasiswa.

Nah, di sini timbul masalah. Dari pengalaman yang saya temukan di lapangan. Berhubung dua tahun saya berkecimpung di lembaga kemahasiswa FISIP, bentuk dukungan yang diberikan hanya berupa ucapan lisan non-materi. Mengapa saya katakana seperti itu? karena dari berbagai program yang kami rancang, tidak ada sedikit pun suplai dana yang berasal dari kas kemahasiswaan FISIP, sementara mahasiswa yang ingin membuat kegiatan harus mengirim proposal ke Biro Kemahasiswaan Unsyiah. Itu pun untuk jangka waktu yang tidak pasti kapan akan keluar dananya. Pernah juga hampir terjadi manipulasi kuitansi oleh Bagian Keuangan FISIP.

Cerita seperti ini, saat itu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP di bawah komando Yudhi Ridhayat hendak melakukan kegiatan FISIP Music Festival 2010. Sebagai kebiasaan mahasiswa, proposal harus “dilempar” ke Biro Kemahasiswaan Unsyiah untuk mendapat dana selain menjalin kerja sama dengan pihak lain di luar universitas. Sambil menanti keluarnya uang dari biro, kepanitiaan terus melakukan persiapan. Namun, pada suatu hari terdengar kabar bahwa uang dari biro untuk FISIP Music Festival 2010 sudah keluar sebanyak Rp1 Juta. Sebagai ketua umum, Yudhi Ridhayat harus menandatangani kuitansi penerimaan. Sang ketua harus menandatangani kuitansi senilai Rp2 juta. Terjadi perdebatan hebat antara ketua dan bagian keuangan FISIP. Akhirnya, Sang ketua batal membubuhkan tanda tangan dan menyatakan tidak akan menerima uang tersebut. Kasihan memang nasib mahasiswa, sudah lama nunggu proposal cair, malah disuruh untuk manipulasi.

Hanya ini beberapa tangkapan tak sengaja saya. Setidaknya bisa menggambarkan bagaimana secuil kisah di balik keberadaan FISIP Unsyiah. Ini masih beberapa, nanti kapan-kapan saya sambung lagi. Kalau terdapat banyak kesalahan, ya saya mohon maaf. Maklumlah saya hanya seorang yang masih sedikit ilmunya.

Salam mahasiswa.