Kamis, 31 Maret 2011

Duh! Film Nasional

Hari ini, Rabu (30/03), merupakan Hari Perfilman Nasional. Berbicara mengenai nasional, berarti kita juga berbicara mengenai nasionalisme dan segenap unsur-unsur di dalamnya. Apakah kita pernah tahu apa itu nasionalisme? Apakah kita benar-benar menyadari bagaimana bentuk dari sebuah nasionalisme sebenarnya?

Nasionalisme tidak cukup dengan hanya menghormat bendera ketika upacara berlangsung. Nasionalisme tidak cukup dengan memakai kaos tim sepakbola nasional. Nasionalisme tidak cukup dengan memajang foto bapak-bapak bangsa dalam kamar, ruang tamu, atau ruang kerja. Nasionalaisme tidak cukup dengan hanya menaikkan bendera saat peringatan tujuhbelasan. Nasionalisme tidak cukup dengan hanya siap mati untuk mengganyang musuh.

Nasionalisme lebih dari itu semua. Nasionalisme lebih dari sekedar euphoria kebangkitan nasional. Nasionalisme lebih dari sekedar mengetahui dan menyadari sistem ketatanegaraan. Nasionalisme lebih dari sekedar mencintai barang buatan dalam negeri. Nasionalisme lebih dari berani melawan korupsi. Nasionalisme lebih dari sekedar mengikuti kehendak hati.

Itulah sedikit dari sekian banyaknya makna nasionalisme. Semuanya tergantung cakrawala berpikir kita yang luas. Semakin luas, maka semakin banyak lagi makna nasionalisme. Tapi untuk sekedar kita ketahui, saya rasa makna-makna di atas cukuplah.

Jika kita memang menyadari apa itu nasionalisme, barulah kita paham apa itu nasional. Indonesia adalah negara yang besar. Dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote. Satu per satu terikat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Indonesia memiliki lebih dari 60.000 pulau, baik besar atau kecil. Baik yang sudah ditempati ataupun masih tak berpenghuni. Banyaknya pulau-pulau ini pula yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia memiliki tradisi, budaya, agama, dan kearifan lokal yang berbeda-beda. Namun oleh funding father Indonesia, semuanya telah diikat dalam satu kalimat; Bhinneka Tunggal Ika. Terjemahan yang sering digaung-gaungkan; Berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Karena kondisi tradisi, budaya, agama, dan kearifan yang berbeda itu pula, membuat setiap kebijakan pemerintah tidak boleh berat sebelah. Semua pihak harus terakomodir kepentingannya dalam negara ini. Tidak terkecuali dalam setiap produksi film nasional.

Jika kita melihat kondisi perfilman di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Agaknya pihak produser film hanya mengejar target produksinya tanpa lagi mengacu kepada falsafah film itu sendiri. Bukankah dalam konstitusi Indonesia sudah dikatakan bahwa semua kegiatan yang dilakukan oleh siapa saja tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Falsafah “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” adalah landasan pokok ranyat Indonesia untuk bertindak, pun demikian untuk produksi film nasional. Kenyataannya saat ini dapat kita lihat bahwa kondisi perfilman nasional sungguh sangat memprihatinkan. Sebagai sebuah tayangan, setidaknya film harus memenuhi 5 syarat; mampu memberikan informasi, memberikan hiburan yang bermanfaat, memberikan pendidikan, melakukan kontrol sosial, serta menjadi media dalam melestarikan budaya nasional.

Kondisi ini sangat jarang kita saksikan sekarang. Tak khayal, industri film Indonesia hanya memproduksi film murahan. Judulnya pun terkesan mengada-ada, bahkan tidak masuk logika. Tentunya anda lebih banyak tahu judul-judul film buatan dalam negeri kita itu.

Itu masih judulnya. Belum lagi kalau kita mau meluangkan waktu untuk menontonnya, maka yang kita dapatkan adalah sajian film-maaf-semi porno. Penonjolan unsur-unsur keintiman sangat banyak ditemukan di film Indonesia. Jadi tak salah jika ada yang menyebutkan bahwa industri film Indonesia adalah industri lingkar dada dan lingkar paha.

Pihak produsen film pun sengaja mencari artis-artis yang mempunyai daya pemikat yang tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah wanita. Tak jarang juga produser film Indonesia mendatangkan artis dari luar negeri untuk main di film Indonesia. Parahnya lagi, artis yang didatangkan adalah artis porno dari negara asalnya. Tidak salah jika terjadi penolakan di mana-mana. Tentunya masyarakat yang masih mau peduli terhadap moral bangsa.

Pihak produsen film selalu mengatakan bahwa semuanya adalah tuntutan pasar. Dalam ilmu ekonomi yang dikatakan tuntutan pasar berarti kehendak masyarakat. Adanya barang karena adanya permintaan. Sehingga kita sebagai rakyat-lah yang harus disalahkan. Jika saja kita tidak ada permintaan dari pasar maka niscaya film-film murahan itu tidak akan hidup. Tapi apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Film-film itu sudah merebak bak cendawan di musim hujan.

Melihat kondisi yang miris ini, bagaimana mungkin kita bisa katakan bahwa semua itu adalah film nasional? Jika sudah melabrak etika dan moral bangsa masihkan kita bersikukuh untuk mengatakan itu film nasional?
Tidak ada kata terlambat. Seandainya kita selaku konsumen film mau peka dan menyadari kondisi ini. Nasi memang sudah menjadi bubur, tapi mari kita olah kembali bubur tadi menjadi sebuah santapan yang nikmat, seperti, bubur ayam yang pasti sangat nikmat disantap. Artinya kita masih punya harapan untuk memperbaiki film-film nasional. Untuk bisa dikatakan film nasional. Bukan hanya mengejar target produksi, tapi juga mengedepankan aspek moral dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selamat Hari Perfilman Nasional.

Rabu, 30 Maret 2011

HARUS BELAJAR LAGI DARI JEPANG!

Baru beberapa minggu saja duka negeri sakura berlalu. Setelah bencana gempa disusul gelombang tsunami setinggi 10-15 meter menerjang negeri matahari terbit itu. Setelah jumlah korban terus bertambah, dari sepuluh menjadi seratus lalu seribu, kemudian sepuluh ribu. Mungkin juga akan sampai seratusan ribu jiwa yang terenggut oleh bencana mahadahsyat itu.

Rumah luluh lantak. Gedung hancur lebur. Pohon tercerabut dari akarnya. Tiang listrik tumbang. Jalanan retak dan amblas ke dalam tanah. Reaktor nuklir menyebar teror kepada setiap warga yang selamat. Setiap insan bersiap terkena radiasi nuklir yang akan merenggut nyawa mereka. Krisis bahan bakar minyak terjadi. Setiap masyarakat mendapat jatahnya masing-masing.

Kelaparan juga mengancam meski bantuan sembako dan obat-obatan terus berdatangan. Arus pengungsian tidak terbendung. Ribuan orang berada di bandara untuk dievakuasi. Namun sebelumnya mereka harus di periksa dengan menggunakan alat detektor nuklir. Ini dilakukan untuk mengantipasi adanya radiasi nuklir di tubuh mereka.
Kejadian ini menyulut api kemanusian negara sahabat. Mereka siap membantu; materi, tenaga, maupun pengalaman. Ada yang mengirim bantuan uang. Ada yang mengirim bantuan tenaga ahli nuklir. Ada yang mengirim tenaga ahli penanganan bencana. Dan yang terakhir ini adalah Indonesia.

Indonesia mengirim Kuntoro Mangkusubroto untuk berbagi pengalaman dalam menangani daerah pascagempa dan tsunami. Kalau urusan itu, Kuntoro tidak mungkin diragukan lagi. Track record beliau sebagai Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias telah menjadikannya sarat pengalaman. Pengalaman dalam membangun kembali daerah yang luluh lantak karena gempa dan tsunami.

Agaknya Indonesia masih harus belajar dari Jepang meskipun sudah mengirim ahli “Rehab dan Rekon”-nya ke sana; Kuntoro. Rakyat Jepang yang selamat tidak mengeluh saat mereka tidak dapat makan dalam beberapa hari. Sementara rakyat Indonesia selalu mengeluhkan ini-itu. tidak peduli perut mereka kenyang atau lapar, rakyat Indonesia selalu menuntut.

Di Jepang, jalan bisa dibangun dalam enam hari. Jalan yang rusak karena gempa bisa diperbaiki dalam enam hari saja. Sementara jalanan di Aceh yang dilanda bencana yang salam akhir 2004 silam sampai saat ini belum juga rampung. Bahkan aspal pertama untuk akses jalan baru dilakukan pada tahun 2008, empat tahun pascabencana. Entah salah siapa. Padahal bantuan sangat banyak diberikan oleh negara sahabat.

Hampir tidak ada kericuhan dan desak-desakan saat dilakukan evakuasi korban yang selamat. Sementara di Indonesia semua urusan harus di selesaikan dengan kericuhan akibat saling dorong atau desak-desakan. Untuk pembagian sembako saja rakyat Indonesia saling berebut. Lebih parah lagi kalau lagi kalau pembagian zakat. Untuk membeli tiket nonton bola saja korban juga berjatuhan. Salah siapa?
Indonesia masih harus belajar dari Jepang meskipun mereka bekas penjajah kita.
Apa pendapat anda?

Jeulingke, 29/03/2011

Senin, 07 Maret 2011

Kuala Baru: Pesona yang Terlupakan

Malam ini aku duduk menghadap laut. Hamparan luas samudera membentang di depan mataku. Aku berpikir bahwa Tuhan itu memang Maha Adil. Ia menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna, tak kurang satu apapun. Tidak ada ciptaan-Nya yang keliru, sangat-sangat sempurna karena Tuhan memang arsitek yang luar biasa.
Kerlap-kerlip lampu jalanan menambah semarak malam yang tak berbintang. Memang langit agak mendung. Tertutup dengan gumpalan mega hitam. Sama seperti hatiku yang beberapa hari lalu diselimuti rasa perih dan miris melihat kampungku masih seperti dulu.

Kuala Baru, nama desaku. Desa yang tenteram jauh dari peradaban kota. Desa yang terpencil jauh dari hiruk pikuk kota. Desa kecil tempat ayahku dilahirkan dan dibesarkan. Perawakannya masih sama seperti dulu, tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa polesan di sana-sini agar layak dikatakan ibu kota sebuah kecamatan.
Aku pernah menghabiskan masa kecilku di desa ini. Desa yang jauh masuk ke pelosok. Melewati sungai Singkil yang terkenal ganasnya. Dikelilingi rimba rawa leuser tempat berbagai margasatwa berkembangbiak. Air sungainya kuning, dengan kedalaman sepuluh meter lebih. Kabar terakhir yang kudengar, beberapa ekor buaya ditemukan di sungai ini. Sungai Singkil ini merupakan salah satu anak sungai Alas di Aceh Tenggara. Pantas saja warna air dan luas sungainya sama. Ganasnya juga sama.

Aku dibawa ke desa ini sejak usiaku 3 bulan. Aku diasuh oleh kedua orang tuaku bersama dengan keluarga besar ayahku juga kedua orang nenek dan kakekku. Hingga usiaku tiga tahun, baru aku dibawa ke Tapaktuan. Waktu itu Tapaktuan adalah ibu kota kabupaten, sedangkan Singkil masuk ke dalam wilayah administrasinya sebagai sebuah kecamatan. Baru sekitar tahun 1999 pascareformasi dan kewenangan otonomi daerah mulai digelar di daerah-daerah, Singkil memisahkan diri dari Aceh Selatan menjadi kabupaten sendiri.

Pemekaran ini diharapkan mampu memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konon dulu ketika masih dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan semua anggaran pembangunan harus ditentukan oleh kabupaten. Kadang pembagiannya agak sedikit untuk Kecamatan Singkil. Saya tidak tahu pasti berapa pembagian yang diberikan kepada Singkil, karena waktu itu saya masih seorang siswa sebuah sekolah dasar di Tapaktuan. Namun yang saya tahu saat ini adalah, plot anggaran itu tidak akan cukup untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat Singkil. Plot anggaran yang kecil harus dibagi lagi kepada beberapa mukim dan desa yang ada di Kecamatan Singkil waktu itu.

Kadang aku berpikir, Aceh Selatan terlalu kejam. Agaknya pikiranku ini beralasan. Aku tahu Singkil kaya akan sumber daya alam. Daerah Singkil yang dikelilingi hutan belantara tempat berbagai jenis pohon dan tumbuhan hidup. Hasil bumi andalan Singkil adalah kayu hutan dan sawit. Siapapun tahu yang namanya bisnis kayu dan sawit sangat menguntungkan. Inilah hasil bumi Singkil. Hasil bumi yang dikeruk oleh kabupaten induknya dulu. Sementara, Singkil hanya mendapat bagian kecil dari hasil buminya sendiri.

Aku tidak ingin menciptakan sentimen dan tidak pula bermaksud mengungkit luka masa lalu. Aku putra Aceh Selatan. Aku lahir di sana dan aku dibesarkan dari perut buminya. Tapi darahku tetap Singkil, karena ayahku mewariskannya dalam tubuhku.
Jangankan Aceh Selatan, negara kita Republik Indonesia saja memberlakukan Aceh seperti itu juga. Aceh kaya akan sumber daya alam. Membentang dari unjung Banda hingga ujung Tamiang di Timur dan Ujung Singkil di Selatan. Namun, Aceh tetap mendapat hasil bagi yang kecil. Tak khayal ini mengundang pemberontakan oleh rakyat Aceh terhadap republik karena menganggap republik terlalu serakah dan tamak.
Tapi itu dulu kawan, jauh sebelum negara ini mengalami reformasi. Jauh sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen oleh wakil kita di Senayan. Jauh ketika belum ada otonomi penuh kepada daerah dalam mengelola sumber dayanya sendiri.

Kuala Baru, kita masih membahas desa itu. Menempuhnya saja harus menaiki perahu bermotor laiknya speedboard dengan mesin tempel di belakangnya. Hanya saja, speedboard terbuat dari fiber sedangkan perahu mereka hanya terbuat dari kayu.
Jarak tempuhnya juga sangat jauh, sekitar dua jam perjalanan dari daratan Singkil. Sebenarnya ada jalur lain untuk bisa sampai ke Kuala Baru. Jalur yang lebih pendek dan tidak perlu melewati sungai Singkil yang ganas itu. Jalur yang sudah ditemukan sejak bertahun-tahun lalu. Jalur itu adalah Bulussema-Kuala Baru. Bulussema adalah sebuah desa terpencil di daerah Trumon, Aceh Selatan. Sayangnya, jalur ini dalam sengketa bagi para aktivis dan lembaga pecinta hewan dan tumbuhan.

Bagi para aktivis lingkungan, jalur ini dinyatakan masuk ke dalam ekosistem gunung leuser. Sehingga tidak boleh diganggu sedikitpun. Jika jalan dibuka maka habitat akan terganggu. Akibatnya, kepunahan bagi ekosistem. Di satu sisi tidak salah juga jika para aktivis ini berpikiran seperti itu. Disaat berbagai habitat mulai punah di bumi ini, maka leuserlah salah satu tempat yang masih bisa diharapkan. Hanya saja aku menyayangkan mereka lebih sayang seekor monyet dari pada seorang manusia. Bagi mereka (aktivis lingkungan) menyelamatkan habitat hewan dan tumbuhan lebih mulia dari pada menyelamatkan nyawa manusia.

Sangat picik kawan. Inilah yang menyebabkan kampungku terus terisolir. Tidak hanya terisolir dari segi fisik karena tidak ada akses jalan selain sungai, namun juga terisolir pola pikir masyarakatnya. Bagaimana tidak terisolir, dari sejak mereka lahir hingga ajal akan menjemput, mereka hanya berada di daerah miskin ini. Mereka menikah sesame mereka. Anak-anak mereka pun mengecap pendidikan seadanya. Hanya orang-orang yang punya pemikiran maju saja yang akan menyekolahkan anak-anak mereka keluar dari kampung ini. Walaupun para orang tua harus kerja banting tulang untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Inilah kampungku kawan. Kampung kaya tapi miskin. Tidak ada penerangan kalau siang hari. Hanya malam saja lampu hidup dari aliran listrik negara. Tapi itu pun kadang tidak selamanya hidup karena bahan bakar yang tidak mencukupi.
Itu cerita sekitar sepuluh tahun yang lalu kawan. Sekarang ada pembangunan di kampungku karena sudah menjadi sebuah kecamatan. Aku bersyukur kawan, sudah ada kemajuan di sana. Walaupun akses jalan belum juga dibuka. Sedangkan tim pemantau dari berbagai kalangan sudah datang untuk melihat badan jalan itu. Dari kepala dinas kabupaten hingga menteri sudah pernah berkunjung ke Kuala Baru untuk melihat badan jalan itu. Hanya Presiden saja yang belum turun ke lapangan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun jalan itu belum juga dibuka. Entah siapa yang bermain di sini. Mungkin juga ini sarat dengan kepentingan elit politik.

Tahun 2011 ini adalah tahun pemilihan kepala daerah. Semua bakal calon sudah memasang spanduk dan membagi-bagikan kelender dan poster dirinya. Dari bisik-bisik yang ku dengar, tiap bakal calon berjanji akan membuka akses jalan Kuala Baru – Bulussema. Semoga saja ini akan menjadi kenyataan. Semoga saja mereka mengerti bahwa janji adalah hutang.

Banda Aceh, 24 Februari 2011

ANDAI DIPO TAHU: TAK SELAMANYA MEDIA ITU INDAH

Ada saja kondisi yang tidak mengenakkan melanda pers di Indonesia. Setelah di penghujung tahun 2010 lalu terjadi penyerangan kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Sulawesi disusul pemukulan wartawan di Bener Meriah saat tahun 2011 baru berjalan beberapa hari saja. Sekarang muncul lagi statement dari seorang pejabat pemerintahan untuk memboikot media-media yang selalu mengritik pemerintah. Adalah Dipo Alam orangnya. Saat ini beliau sedang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2.

Pernyataan Dipo Alam tersebut banyak dikecam oleh berbagai pengamat dan praktisi media. Lebih-lebih para pekerja media yang dinyatakan Dipo masuk dalam “catatan hitam”-nya. Ternyata Dipo Alam gerah bercampur geram tiap kali membaca surat kabar, mendengar radio, dan menonton televisi yang isinya selalu mengritik pemerintah SBY. Selalu saja yang disoroti oleh media adalah bobrok pemerintah. Tidak pernah media melihat sisi positif pemerintah. Kondisi ini bagi Dipo Alam merupakan ancaman dan momok yang menakutkan. Pilihannya hanya satu, hilangkan mereka. Mereka disini adalah media-media yang dianggap bermasalah tadi.

Ada tiga media yang dinyatakan Dipo bermasalah, yaitu, Metro TV, TV One, dan Media Indonesia. Dua dari tiga media itu berada dalam satu perusahaan yang sama dengan pemilik yang sama pula, yakni Metro TV dan Media Indonesia berada dalam naungan Media Group, pimpinan Surya Paloh. Sedangkan TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Bagi Dipo Alam, ketiga media ini sudah berada pada stadium tinggi untuk mengritik pemerintah. Jika dibiarkan media-media ini akan terus menggrogoti bobrok pemerintah tanpa mau melihat keberhasilannya.

Tak khayal Dipo diserang habis-habisan oleh awak media, bahkan Metro TV sudah menyomasi Dipo Alam. Lantas apa kata Dipo Alam atas somasi Metro TV itu? Dipo Alam tidak pernah takut terhadap somasi itu karena menganggap ia tidak salah dan siap dengan pembelaannya.

Agaknya Dipo Alam lupa bahwa salah satu fungsi utama pers adalah kontrol sosial. Artinya pers menjalankan fungsi kontrol terhadap suatu kesalahan dan penyelewengan wewenang dalam sebuah sistem sosial. Dalam ranah studi komunikasi dikenal istilah Miror Theory. Teori ini mengatakan bahwa apa saja yang diberitakan oleh media adalah kondisi yang terjadi di masyarakat. Dipo bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu akan hal ini. Konon lagi Dipo merupakan salah satu tokoh penggerak reformasi yang gencar meneriakkan kebebasan berpendapat, namun sekarang malah ia yang tidak senang dengan kebebasan itu dan berbalik menentangnya. Semoga saja Dipo tahu bahwa tak selamanya media itu indah. He-he-he.