Minggu, 01 Maret 2009

Keberhasilan Media Massa Dalam Kampanye Menjelang Pemilu 2009

Oleh: Yuhdi Fahrimal[*]

Media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi konsumsi primer bagi mayoritas penduduk dunia. Tanpa memandang usia, media telah diterima secara terbuka oleh masyarakat. Media merupakan agent penyebaran arus informasi dari dan menuju masyarakat di belahan dunia mana pun. Kita yang saat ini berada di Indonesia dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi di negara lain. Contonya saja, kita dapat mengontrol jalannya pemilu Presiden di Amerika Serikat. Semua itu karena arus media yang tidak bisa dibendung. Informasi yang disajikan media selalu menarik minat masyarakat untuk menyaksikannya.

Ada beberapa fungsi dari media massa, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), mempengaruhi (to influence), dan sebagai kontrol sosial (social control). Sejalan dengan fungsinya yang terakhir media massa dapat ditempatkan sebagai kekuasaan yang keempat (fourth estate), artinya media massa mampu membangun dan meruntuhkan suatu pemerintahan. Ini dilakukan media massa jika pemerintah melakukan pengekangan yang berlebihan dan tekanan kepada media massa. Selanjutnya media massa mempengaruhi kekuasaan rakyat yaitu melalui fungsi mempengaruhinya. Media massa akan menanamkan isu-isu yang menyudutkan pemerintah sehingga rakyat tidak lagi simpati pada pemerintah. Pada akhirnya suatu pemerintahan itu akan runtuh.

Apa yang dilakukan media saat ini adalah suatu bentuk kesuksesan yang patut kita acungi jempol. Tanpa ada pengekangan terhadap lembaga media dengan sendirinya menjadikan kebebasan arus informasi mudah diakses oleh masyarakat secara kontinue. Informasi yang disajikan media mampu mempengaruhi masyarakat. Sadar atau tidak, media telah membodohi masyarakat. Dengan tayangan-tayang yang terlalu dibuat-buat, media berhasil mempengaruhi masyarakat hingga mempercayai tayangan-tayangan itu adalah suatu kenyataan.

Menjelang Pemilu 2009, banyak partai politik dan calon legislatif menggunakan media massa sebagai sarana untuk berkampanye kepada khalayak. Tidak bisa dilepaskan bahwa mempengaruhi dan mengontruksi pikiran masyarakat adalah fungsi utama yang dimainkan oleh sebuah media massa baik cetak maupun elektronik. Inilah yang dilirik bagi sebagian besar partai politik sebagai sasaran empuk untuk menghimpun suara terbanyak dalam pemilu nanti. Kita menyaksikan, betapa banyaknya iklan-iklan yang menampilkan calon dari berbagai partai politik. Khususnya di Aceh, iklan-iklan seperti ini hampir ada di setiap sudut jalan dan tempat yang kita lewati. Ketika jalan-jalan disuatu sore, saya pernah menemukan poster-poster caleg yang ditempel di lingkungan kuburan, hingga seorang teman berkata kepada saya, “Partai politik dan caleg sekarang aneh, lingkungan kuburan pun dijadikan tempat untuk berkampanye, memangnya orang yang sudah meninggal ikut pemilu nanti?”. Mungkin bagi kita terdengar lucu, namun itulah realitanya. Karena ingin mendapatkan simpati publik dan memenangkan pemilu tempat dan tata cara kampanye pun dilupakan.

Beriklan dengan media menimbulkan gengsi tersendiri bagi partai politik. Meskipun harus merogoh kocek dalam-dalam bukanlah menjadi suatu kendala jika dibandingkan denga efek yang akan mereka (partai politik-red) terima. Ketenaran dan popularitas di masyarakat adalah imbalan yang setimpal dengan harga iklan melalui media massa. Bayangkan saja, harga iklan kampanye di televisi saat ini mencapai angka 1 milyar rupiah. Angka yang fantasitis dan sangat besar. Namun kembali lagi kepada hasil yang mereka terima, ketenaran dan popularitas.

Tidak ada suatu larangan untuk beriklan di media massa, sebatas tidak menyinggung dan melanggar aturan perundang-undangan. Banyak fakta yang menunjukkan betapa kuatnya peran media massa (TV, Radio, dan surat kabar) dalam memenangkan seseorang dalam pemilu. Contoh kecilnya adalah kemenangan presiden AS, Barrack Obama. Kelihaian pihak media dalam menyusun tayangan (melalui Agenda Settingnya) yang memperlihatkan karakter Obama yang baik menyebabkan masyarakat bersimpati pada Obama. Bukan hanya masyarakat Amerika, masyarakat dunia menyukai Obama dan mendukung jika Obama terpilih menjadi presiden Amerika menggantikan Bush. Suatu strategi yang sangat baik dijalankan oleh partai politik dalam berkampanye. Ingin cara praktis?, gunakan media massa untuk berkampanye.

Kekuatan tayangan/siaran di media massa tidak terlepas dari kepintaran aktor-aktor di dalamnya. Media massa hanyalah alat, selanjutnya orang-orang yang berada di media itu sendiri yang mengendalikannya, kemanakah arah sebuah media itu akan berjalan, semua tergantung reporter/wartawan, hingga gatekeepernya media itu sendiri. Merekalah aktor dan aktris di balik wajah layar media yang kita liat saat ini. Sama halnya jika kita kaitkan dengan pengaruh media terhadap masyarakat menjelang pemilu 2009. Pihak media, yaitu orang-orang yang bekerja di dalamnya merupakan tokoh utama kesuksesan itu. Kita mungkin pernah melihat, begitu banyaknya iklan-iklan politik di TV, contoh kecilnya saja iklan politik Partai Demokrat Bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kita mungkin belum mengenal siapa SBY sebelumnya, atau kita hanya tahu beliau adalah mantan Menkopolhukam era Megawati. Ketika beliau muncul di TV dengan kampanye politik dan pemaparan program-programnya maka kita menganggap beliau adalah sosok yang cocok memimpin negri ini. Media massa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mempengaruhi komunikator (penerima pesan)-nya, sehingga tidak salah jika banyak partai politik menggunakan media massa untuk berkampanye guna memenangkan pemilu 2009.

Lembaga Publisitik Komunikasi & Lembaga Analisis Media Publisistik

(LAMPU Komunikasi)



[*] Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala.

PEMUDA DAN PEMILU 2009

Pemuda merupakan generasi penerus bangsa. Di pundak merekalah harapan Bangsa Indonesia terletak. Tanggung jawab untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sejarah perjalanan Bangsa Indonesia selalu menyertai pemuda yang baik diminta maupun secara sukarela aktif di dalamnya. Bahkan lebih daripada itu, sering kali berbagai peristiwa penting bagi Bangsa Indonesia lahir dari ide, semangat, dedikasi dan kepemimpinan para pemuda. Perjuangan pemuda bagi Bangsa Indonesia dimulai sejak angkatan ’28 menyatukan semangat dan komitmen untuk perjuangan Indonesia. Pemuda yang bagi sebagian besar orang dianggap belum memiliki pengalaman dan pemahaman yang cukup untuk membangun dan memikirkan negara telah membuktikan keberhasilannya menyumbang kemerdekaan bagi seluruh Bangsa Indonesia. Jika kita membuka buku-buku sejarah yang telah usang, maka akan tercantum nama Bung Tomo, Chairul Saleh, dan tokoh-tokoh pemuda lainnya yang dengan penuh semangat menyingsingkan lengan bajunya demi kemerdekaan Indonesia. Hingga saat ini pun nama-nama mereka menjadi semangat para intelektual muda Indonesia untuk membangun Negara ini.

Umumnya pemuda dianggap generasi labil. Mereka masih sangat muda dan memiliki pikiran yang sangat mudah diracuni. Kehidupan pemuda pun dianggap bagaikan hidup yang tidak tentu arah. Pemuda sangat mudah dipengaruhi dengan hal-hal negatif. Banyak fakta mengenai perbuatan negatif pemuda. Pecandu narkoba, seks bebas, tawuran, ugal-ugalan di jalan merupakan contoh kecil dari perbuatan menyimpang yang dilakukan pemuda. Pertanyaan yang patut diajukan adalah jika pemuda sebagai generasi penerus saja sudah rusak seperti itu, siapa kelak yang akan menjadi pemimpin negeri ini?, siapa yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk negeri ini jika putra-putrinya seperti itu?.

Perlu disadari, tidak semua pemuda Indonesia seperti itu. Buktinya banyak pemuda yang mampu menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Menyumbang prestasi mereka demi mengharumkan nama Indonesia di mata dunia, baik dari bidang akademik maupun olahraga. Jadi, perlu kiranya mengurangi pola pikir negatif yang berkembang dalam masyarakat mengenai pemuda. Pemuda memiliki perbuatan menyimpang merupakan akibat dari globalisasi dan modernisasi yang dianggap sebagai westernisasi, selain itu kontrol yang kurang dari para orang tua membuat pengaruh buruk ini terus berkembang di lingkungan pemuda.

Sebelum kita berbicara mengenai peran pemuda dalam pemilu 2009, ada baiknya kita melihat sistem politik Indonesia dan sejarah perkembangan pemilu di Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang telah lama menganut sistem demokrasi. Dimulai dari demokrasi konstitusionil, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi pancasila. Demokrasi tersebut secara tidak langsung telah menempatkan masyarakat khususnya pemuda untuk menunaikan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Hal yang paling penting dalam demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Pesta demokrasi (pemilu) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali menjadikan demokrasi di Indonesia terasa begitu berkesan. Namun apakah pelaksanaan demokrasi itu telah sepenuhnya dilakukan dan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat?. Beda rezim beda pula cara berdemokrasinya.

Bukti peran serta pemuda tidak hanya berperan dalam menyumbang kemerdekaan bagi Indonesia. Lebih dari itu, peran pemuda dan mahasiswa mampu menjatuhkan suatu rezim. Banyak pemimpin yang jatuh karena pemuda dan mahasiswa. Rezim orde lama jatuh karena pemuda dan mahasiswa angkatan ’66. Rezim orde baru runtuh karena pemuda dan mahasiswa angkatan ’98, bahkan Gus dur lengser karena pemuda dan mahasiswa tahun 2001.

Pada era orde baru keberadaan partai-partai politik ditekan. Dari 10 partai yang semula bertarung pada pemilu 1971 diciutkan menjadi dua partai politik dan satu golongan. Partai-partai politik yang berhaluan agama digabungkan menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai politik yang berhaluan nasionalisme digabungkan menjadi satu partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jumlah partai yang sedikit menyebabkan pemerintahan berjalan baik. Namun perampingan partai politik ini menjadikan demokrasi tidak sehat. Hal ini terbukti dari wewenang legislatif yang banyak dipengaruhi oleh lembaga eksekutif. Kebebasan rakyat untuk berdemokrasi secara sehat pun dikekang. Pemuda dan mahasiswa tidak dibenarkan untuk mengikuti politik praktis, kecuali mereka yang mendukung dan loyal terhadap Soeharto.

Setidaknya ada enam kali penyelenggaraan pemilu dibawah kekuasaan Orde Baru dan itu sudah cukup menunjukkan keberhasilan Orde Baru menjaga keberkalaan pemilu itu sendiri. Namun itu bukanlah hal penting karena pada praktiknya pemilu-pemilu Orde Baru menghasilkan pola perimbangan antarkekuatan politik yang khas dan terjaga. Golkar selalu menjadi pemenang dengan perolehan suara mayoritas mutlak, ditengah-tengah tingginya tingkat partisipasi "mobilisasi" rakyat. Keberkalaan yang terjaga itu tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pemilu secara signifikan. Kemenangan demi kemenangan Golkar dicapai melalui praktek-praktek politik yang nyata-nyata tidak elegan dan tidak sehat.

Dengan bentuk penyelenggaraan pemilu macam itu tak aneh jika hampir di setiap kampanye diwarnai dengan bentrokan. Wajarlah pada akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:

"Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah". Kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai."

Setelah rezim orde baru diruntuhkan pemuda dan mahasiswa tahun 1998, haluan demokrasi berbalik arah. Rakyat bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat asalkan sesuai dengan fakta dan bukti nyata. Rakyat pasti akan mengetahui jika ada penyimpangan dari arah reformasi. Sehingga bukan hal aneh bila penerapan perampingan parpol seperti yang dilakukan pada masa rezim orde baru diberlakukan lagi pada masa reformasi. Adapun tujuan dari perampingan parpol bukan sekadar membuat para pendiri partai maupun kader partai lebih bertanggung jawab, namun juga ditujukan agar hubungan antara pemerintah dan DPR terjalin lebih baik.

Sistem multi-partai yang kembali diterapkan pascareformasi belum cukup mampu melahirkan politisi berkualitas dan berintegritas. Hasil survei sejumlah lembaga independen selama beberapa tahun yang menempatkan DPR dan partai politik sebagai salah satu institusi paling korup, sedikitnya membuktikan multipartai belum berada di jalur yang benar.

Antara perlunya perampingan jumlah partai politik dan pentingnya menganut multipartai sempat menimbulkan kontroversi yang cukup panjang. Lahirnya Undang-undang partai politik yang baru akan cukup mampu menjawab tuntutan untuk menghasilkan partai politik berkualitas. Undang-undang ini sedikitnya memberikan aturan yang ketat terhadap partai politik. Misalnya, partai peserta Pemilu diharuskan melewati dua kali proses verifikasi oleh KPU khususnya terhadap partai politik yang baru, beberapa partai nasional, beberapa partai agama, beberapa partai pekerja, atau partai kalangan tertentu sudah cukup mewakili seluruh rakyat di negeri ini. Di Aceh hadirnya partai-partai politik lokal sebagai implementasi undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahn Aceh harus juga melewati tahap verifikasi dari KPU. Terbukti bahwa dari sekian banyak partai lokal yang ada hanya 6 partai lokal yang dinyatakan lulus verifikasi oleh KPU dan berhak mengikuti pemilu 2009.

Undang-undang partai politik ini akan memberi keleluasaan kepada masyarakat sehingga masyarakat akan mudah memonitor, parpol mana yang kampanye teriak membela rakyat tapi di gedung senayan saat voting malah menjilat ludahnya sendiri. Undang-undang ini juga memberi kebebasan bagi kalangan yang tidak mampu lolos bisa bergabung dengan parpol yang telah ada atau dengan merubah manajemen partai tersebut sesuai pemahaman diantara mereka, kemudian bersama-sama bergerak untuk membentuk partai yang besar, kuat, dan dipercaya masyarakat.

Dalam catatan sejarah demokrasi Indonesia yang paling signifikan mengalami perubahan dalam kehidupan politik bangsa Indonesia adalah dilaksanakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Inilah untuk pertama kalinya rakyat Indonesia menentukan sendiri presidennya. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten pun dilaksanakan secara langsung, untuk pertama kali pada tahun 2005.

Disahkannya undang-undang kepemudaan telah memberikan kebebasan bagi pemuda untuk bertarung dalam pemilu baik diusung oleh partai politik maupun dari calon perorangan. Tentunya pemuda yang ikut pemilu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Namun, kiprah pemuda dalam politik belum mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis multi-dimensi yang berkepanjangan. Pemuda yang ketika masih menjadi aktivis sangat kelihatan idealismenya, turun ke jalan meneriakkan reformasi dan tegakkan demokrasi. Namun, setelah duduk di parlemen tidak terdengar teriak lantangnya untuk memperjuangkan nasib rakyat yang masih dalam kesulitan. Bahkan ada tokoh pemuda yang duduk di parlemen tersangkut kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Tentu hal ini bertentangan dengan peran pemuda sebagai pelopor perubahan. Tetapi, harus diakui ada pula pemuda yang terjun dalam politik tetap menjaga idealismenya dan tidak segan-segan menentang ketidakadilan, bahkan berani mengundurkan diri dari jabatannya.

Ketika orientasi pemuda yang terlibat dalam dunia politik adalah untuk mencari uang, maka nilai-nilai jiwa idealisme yang diperjuangkan ketika menjadi aktivis pemuda maupun aktivis mahasiswa akan luntur. Tidak akan ada lagi keberanian untuk menyampaikan kepentingan rakyat yang tidak ada hubungannya dengan kelanggengan kekuasaannya, hal ini memang banyak menimpa tokoh pemuda kita.

Pemilu 2009 yang akan dilaksanakan 9 April 2009 mendorong semua partai politik untuk mempersiapkan langkah dan menyusun program-program yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Multi-partai yang kembali dianut Indonesia menyebabkan partai politik susah menjaring kader bagi partainya.

Semua partai politik menawarkan program dan calon yang berkualitas menurut mereka. Pemuda pun tidak terlepas dari lirikan partai-partai politik. Baik pemuda yang memang berkualitas dan memiliki idealisme nasionalis tinggi, sampai pemuda yang tidak mengerti apa-apa tentang birokrasi. Partai politik hanya menginginkan kemenangan mutlak bagi partainya dan mungkin selanjutnya mengabaikan kesejahteraan rakyat.

Dominasi pemuda yang akan bertarung dalam pemilu 2009 nanti sudah terlihat dalam daftar calon sementara yang telah diumumkan oleh KPU. Hanya saja tetap akan menjadi pertanyaan mampukah pemuda yang akan duduk di parlemen benar-benar bisa memperjuangkan nasib bangsa ini keluar dari masa transisi dan krisis yang berkelanjutan? Optimisme harus tetap dijaga dengan cara menumbuhkan kesadaran bahwa keterlibatan pemuda dalam dunia politik adalah sebuah pengabdian yang tulus untuk membangun cita-cita bangsa yang telah diperjuangkan sejak zaman penjajahan. Untuk menjaga idealisme sebetulnya tidak sulit, asalkan kita paham aturan-aturan yang berlaku, dan tidak menyiasati aturan untuk kepentingan pragmatis, serta menyadari kekuasaan yang berlebihan cenderung akan menjadi korup. (Referensi: dari berbagai sumber).

Kata Bijak Penyejuk Hati

· Kalau cari kerja untuk mencari uang, cari uang untuk cari makan, makan untuk kerja, dan kerja untuk cari uang lagi, apa bedanya manusia dengan kambing?

· Obat lapar adalah makan, obat haus adalah minum, obat mengantuk adalah tidur, obat hati adalah nasihat yang baik.

· Jika kita berkerja keras untuk kehidupan kita, berarti kita makan keringat kita sendiri. Sedangkan jika kita mengambil hak orang lain maka kita tidak ubahnya seperti kambing yang memakan rumput.

· Kedudukan manusia itu lebih tinggi dari makhluk apapun di dunia ini, namun kita tetaplah rendah di mata Allah, hanya iman yang membuat kita tinggi di sisi Allah SWT.

· Tidak semua binatang menyukai pisang, tidak semua manusia menyukai ceramah.

· Pakaian dan kedudukan tidaklah dapat meningkatkan derajat kita dihadapan Allah.

· Hidup itu hendaklah seperti korma, “tidak berbau tapi enak rasanya”.

· Kalau kau tahu akan tersesat, janganlah kau ajak orang lain bersamamu.

· Sifat manusia bagai warna langit, biru ketika siang dan hitam ketika malam.

· Janganlah menangisi seseorang yang meninggal dunia dengan husnul khatimah, karena Allah telah menjanjikan surga baginya.

· Jika kau tidak ingin pakaianmu kotor maka jangan berjalan ditengah debu.

· Tidak semua buah yang kulitnya tidak enak maka isinya pun tidak enak.

· Tidak ada harta waris yang nilainya melebihi iman dan Islam.

· Janganlah suka berdebat untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

· Umat Islam laksana satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit maka anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya juga.

· Janganlah mencampur adukkan antara yang halal dengan yang haram karena jika yang halal dicampur dengan yang halal saja terasa tidak enak, bagaimana ika yang halal dicampur dengan yang haram?

· Ulama itu bagaikan nakhoda dan ilmunya ibarat kapal. Nakhoda dan kapal adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika kapalnya sudah memenuhi syarat untuk berlayar, niscaya nakhodanya adalah orang yang memperhatikan keselamatan para penumpangnya.

· Kedududkan tinggi tidak akan membuat seseorang menjadi pandai.

· Tidak semua tempat yang tidak baik akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik.

Yuhdi Fahrimal 2008