Kamis, 27 Januari 2011

Kebebasan Milik Siapa?

Akhir-akhir ini mulai terdengar lagi gaung meminta kebebasan pers. Para insan pers merasa kebebasan mereka mulai terkekang. Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus pemukulan wartawan yang terjadi di Indonesia. Walaupun beberapa kasus mendapat titik terang karena pelakunya diadili dan mendapat hukuman setimpal.

Agaknya para kuli tinta menyadari betapa penting sebuah kebebasan bagi mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Menurut Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tugas dan fungsi per situ sangat kompleks mulai dari mencari, menemukan, meliput, memiliki, menyimpan, mengolah, serta menyebarkannya melalui media massa. Demikian kompleksnya perkerjaan pers itu, maka tak khayal kebebasan menjadi jalan satu-satunya agar pekerjaan itu tidak terganggu.

Pengalaman pahit masa lalu pers di Indonesia yang terkekang oleh rezim diktator menjadi pelajaran bagi awak pers. Tiga puluh dua tahun berada di bawah kontrol pemerintah membuat media gerah, dan meledak euforianya saat rezim orde baru runtuh bulan Mei 1998. Keran kebebasan mulai terbuka. Semua orang dapat mengemukakan pendapatnya secara terbuka tanpa rasa takut. Dalam Declaration of Human Right juga disebutkan bahwa kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia. Sehingga ia harus dipenuhi. Kondisi euforia ini juga diikuti oleh kebebasan pers. Pers mulai berani secara terang-terangan mengritik pemerintah tanpa harus khawatir akan dibreidel.

Seiiring berjalannya waktu mulai muncul permasalahan pada kebebasan pers ini. Sebagian masyarakat mulai gerah juga terhadap berita pers yang dianggap “murahan”, konon lagi dengan berbagai berita-berita gosip yang tidak berbobot. Sama sekali tidak memiliki tingkat urgensi pada masyarakat. Namun, inilah yang diinginkan media. Mereka bebas memberitakan apa saja dengan dalih bahwa itu adalah permintaan pasar. Laiknya hukum permintaan dalam ekonomi, jika permintaan pasar ada maka media akan menyediakannya. Siapa yang salah? Silakan anda maknai dengan jawaban sendiri.

Sebenarnya semua berita yang dikeluarkan oleh media setiap harinya merupakan kehendak manajemen media itu sendiri. Pasar memang membutuhkan informasi, tapi informasi yang disediakan terlebih dahulu dipilih oleh si empunya media atau petinggi dalam media itu sendiri. Dalam Manufacturing Consent dikatakan bahwa pemilik media - siapapun dia - menjadi penentu dalam sebuah pemberitaan. Kita sering terjebak dalam teori jarum suntik atau teori agenda setting tanpa mau melihat ada apa dibalik media itu semua. Kita cenderung hanya melihat media dari apa yang ditampilkan kepada khalayak. Namun di balik itu semua ada hal yang sangat menentukan yaitu kekuasaan pemilik media.

Pemilik media berhak menentukan isu apa yang akan menjadi headline bagi medianya. Pemilik media juga berhak menentukan mana berita yang tak layak untuk diterbitkan atau ditunda untuk diterbitkan. Pemilik media mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Pemilik media mempunyai kebebasan penuh dalam mengatur medianya. Apa yang menurut si “bos” benar, maka itu yang harus dilakukan oleh awak medianya. Kondisi ini tidak dapat dielakkan lagi. Memang sudah demikian adanya. Tidak salah jika para pakar dana pengamat media menganggap pemilik media adalah kaum kapitalis yang maunya hanya menang sendiri. Mereka “tidak mau” memikirkan apa efek dari sebuah pemberitaan. Yang paling penting bagi mereka adalah keuntungan yang besar dengan jumlah oplah atau rating yang meningkat.

Jadi, kebebasan milik siapa? Silakan pembaca jawab sendiri. Jika tidak tahu jawabannya, maka tanyalah pada rumput yang bergoyang. He-he-he. (yfh)