Senin, 25 Januari 2010

KEBEBASAN PERS


1. Teori-Teori

1.1. Teori Pendekatan (Teori Komunikasi)

Paper ini menggunakan teori-teori komunikasi sebagai pendekatan. Penggunaan teori-teori ini hanya sebagai bentuk penguatan terhadap paper yang kami susun mengenai kebebasan pers. Adapun teori komunikasi yang kami pakai adalah:

1. Fourth Theory Of The Press dari Fred S. Siebert, Theodore L. Peterson, dan Willbur Schramm.

2. Teori Pers Pancasila yang dikemukakan oleh Wonohito dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo, tanggal 7-8 Desember 1984.

3. Teori Agenda Setting Media oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw pada tahun 1973.

4. Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999.

5. Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

2. Analisis Kasus

2.1. Sejarah Pers

Pers ada di negara manapun, termasuk Indonesia. Sejarah pers di Indonesia sudah ada sejak jaman penjajahan Kolonial Belanda. Saat ini surat kabar yang diberinama ”Bataviasche Nouvelles” terbit pada tahun 1744. Surat kabar berbahasa Belanda ini diterbitkan oleh pengusaha Belanda yang ada di Indonesia. Semua beritanya berisi tentang kesuksesan kerajaan Belanda dalam menguasai dunia.

Jika kita merunut sejarahnya, praktek-praktek jurnalistik sudah lahir sejak manusia itu sendiri lahir di dunia ini. Saat manusia diberi akal budi, dan melalui semua panca inderanya ia dapat menggalai semua informasi yang ingin diketahuinya. Pada masa Romawi Kuno. Saat itu Julius Caesar sedang berkuasa. Ia menyarankan agar semua kerja dan kegiatan yang dilakukan senat diberitahukan kepada masyarakat. Maka dibuatlah sebuah acta diurna semacam papan pengumuman yang diperlihatkan dalam Forum Romanum. Para pakar sejarah meyakini bahwa acta diurna-lah produk jurnalistik yang paling tua di dunia.

Pada tahun 1456, Johan Guttenberg, seorang tukang emas di Jerman menemukan sebuah mesin yang dapat melipatkgandakan tulisan. Awalnya Guttenberg heran mengapa mesin temuannya dapat mencetak berbagai tulisan. Ia takut kalau-kalau temuannya ini dianggap sebagai peng-copy tulisan saja. Namun lambat laun, keberhasilan Geuttenberg telah melahirkan jutaan perusahaan cetak. Tidak lepas pula perusahaan-perusahaan pers yang mulai menjamur di seluruh dunia.

Sistem pers di negara-negara dunia berbeda-beda, tergantung kepada ideologi dan keadaan politik yang dianut oleh negara tempat pers itu berkembang. Secara sederhana ada empat teori pers dasar yang dikemukakan oleh Theodore L. Peterson, Fred S. Siebert, dan Willbur Schramm dalam bukunya ”Fourth Theory Of The Press”. Keempat teori itu adalah:

1. Authoritarian Press

Authoritarian Press atau pers otoriter lahir di negara-negara berpaham otoriter dan fasis. Sistem ini dipengaruhi oleh keadaan negara dengan sistem pemerintahan raja-raja atau sultan-sultan. Dimana keberanaran dianggap hanya milik penguasa saja dan wewenang penuh raja dalam mengatur setiap sendi kehidupan masyarakatnya termasuk kehidupan pers. Pers otoriter tidak selamanya juga dimiliki oleh negara-negara paham fasis, negara-negara demokrasi seperti Indonesia juga berpeluang untuk menganut sistem pers ini. Di Indonesia bahkan sudah berkembang sistem pers otoriter, pada masa orde baru misalnya dimana Presiden Soeharto mengatur dan mengekang kebebasan pers. Setiap lembaga pers harus memiliki Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikelurkan oleh pemerintah melalui Kementrian Penerangan. Fungsinya adalah menghambat pemberitaan yang berdampak pada mundurnya program pembangunan. Pers dibatasi pada isu-isu yang dianggap pemerintah dapat menaikan citra pemerintah di mata rakyat dan citra Indonesia di mata dunia. Jika itu tidak dilakukan maka SIUPP lembaga penerbitan pers tersebut akan dicabut atau dibreidel.

2. Libertarian Press

Libertarian Press atau pers liberal lahir sebagai lawan dari sistem pers otoriter. Dalam pers liberal dikatakan bahwa semua masyarakat berhak mendapat informasi apapun tidak boleh ada informasi yang ditutup-tutupi bahkan dihilangkan. Sistem pers liberal lahir di negara-negara Barat yang menjadi kiblat kebebesan dan hak asasi manusia di dunia. Sayanganya, dalam pers liberal problematika etika dan moral dikesampingkan. Akibatnya, timbul kebobrokan moral masyarakat dunia Barat.

3. Soviet-Communist Press

Soviet-Communist Perss atau pers soviet komunis lahir di negara-negara dengan paham komunis seperti Uni Soviet, dan lain-lain. Hampir sama dengan sistem pers otoriter, lembaga pers hanya dimiliki oleh Penguasa dan Pertai Politik yang berkuasa. Sebelum pada akhirnya lahir pemikiran Gorbachov pada abad 20 yang dikenal sebagai ”glasnost” yang berarti keterbukaan dan ”peretroika” yang berarti rekonstruksi akibat perubahan iklim politik yang dengan sendirinya berdampak pada sistem pers negara tersebut. Akibat pemikiran ini, rakyat mendapat akses informasi yang luas yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan bahkan dianggap tabu, seperti pengungkapan kasus karupsi.

4. Social Responsibility Press

Social Responsibility Press atau pers tanggungjawab sosial lahir sebagai modifikasi dari pers liberal. Pers tanggungjawab social menolak pengenyampingan etika dan moral masyarakat oleh media. Bagaimanapun pers adalah penjunjung tinggi nilai-nilai moral masyarakat. seperti fungsi pers itu sendiri, yaitu menginformasikan, mendidik, menghibur, mempengaruhi, dan kontrol sosial.

2.2. Sistem Pers Indonesia

Keberadaan pers di Indonesia mengalami pasang surut. Semua itu terjadi karena beda pemimpin beda pula sistem pemerintahan yang mereka gunakan atau pakai. Bisa dibayangkan betapa terkekangnya pers pada masa orde baru. Dibawah rezim Soeharto, pers dianggap sebagai “mesin pembunuh” kekuasaan. Pemerintah orde baru mengeluarkan berbagai kebijakan untuk pers agar tetap pada koridor yang ditetapkan oleh pemerintah. Banyak media yang diberanguskan atau dibredel oleh pemerintah orde baru karena berita-beritanya yang kritis dan cenderung mengkritik pemerintah dan segala kebijakannya. Hanya pers yang dekat dengan pemerintah orde baru saja yang bisa bertahan hidup.

Pers merupakan lembaga kemasyarakatan yang tidak dapat hidup sendiri. Artinya, pers dipengaruhi oleh lembaga kemasyarakatan lainnya. Bersama dengan lembaga kemasyarakatan lainnya, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama Negara. Oleh karenanya, pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah negara di mana pers itu hidup.

Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers Komunis, Teori Pers Tanggungjawab Sosial. Bagaimana dengan pers di Indonesia?. Seperti sudah dijelaskan pada bab pendahuluan, sistem pers di Indonesia sudah jelas sebagaimana tercantum pada Undang-undang nomor 40 tahun 1999, seperti tersurat sebagai berikut:

”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia secara tegas merupakan lembaga kemasyarakatan bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan kata lain, pers di Indonesia menganut sistem pers Pancasila yang memiliki persamaan dengan Teori Tanggungjawab Sosial seperti yang dikatakan oleh Siebert dan kawan-kawan. Mengenai hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 tentang Peran Dewan Pers dan Keanggotaan Dewan Pers, dan pasal 17 tentang Peranan Masyarakat Dalam Kehidupan Pers Undang-undang nomor 40 tahun 1999.

Namun berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Ternyata, tidak semua media di Indonesia yang menerapkan Sistem Pers Tanggungjawab Sosial. Terbukti pada salah satu tabloid bernama Monitor. Keberadaan tabloid ini digugat keberadaannya karena dianggap tidak mengindahkan etika dan moralitas.

Media ini menampilkan berita atau gambar yang berbau pornografi seperti; “Setelah 2 Kali kapok deh”, “Yang Penting Sudah Ngerasain”, “Seks tidak satu jenis”, dan judul-judul lainnya yang menjurus kepada hal-hal yang berbau pornografi. Tidak hanya tabloid Monitor, media lain juga melakukan hal yang sama bahkan terkesan lebih parah dari yang diberitakan oleh tabloid Monitor seperti; FHM, Playboy Indonesia, Lipstik, Boom, dan lain sebagainya.

Itulah sebabnya, M. Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan pernah mengatakan. “Apabila kita ikuti jalan pikiran dari buku Four Theories of The Press, bolehlah kita menambah satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab Pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siebert, Peterson dan Schramm itu”. Dengan ideologi Pancasila yang dianut oleh Negara Indonesia, turut mempengaruhi sistem pers itu sendiri, yaitu Pers Pancasila (hal ini juga merujuk pada hasil keputusan Dewan Pers Dalam Sidang Pleno 7-8 Desember 1984). Artinya, Pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Dengan demikian tugas wartawan dan praktisi media lainnya harus lebih memperhatikan tugas, fungsi, hak dan kewajibannya karena dinilai oleh masyarakat dan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa juga terhadap pembentukan moral bangsa Indonesia. Jangan ada lagi istilah wartawan amplop, wargad (wartawan gadungan), WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar) dan Muntaber (Muncul Tanpa Berita) lagi di Indonesia, karena semua ini akan membuat media pers di Indonesia semakin tidak dipercayai oleh masyarakat bahkan lebih parahnya akan memperbodoh masyarakat sehingga tidak ada lagi moral dan etika di masyarakat.

2.3. Fenomena Kebebasan Pers Orde Baru

Kehidupan pers di tengah derasnya iklim demokrasi dan struktur masyarakat yang harus dipatuhi membuat posisi pers menjadi terhimpit. Disatu sisi tuntutan masyarakat mengharuskannya memotret realitas sosial sehingga pers menjadi alat kontrol social, namun di sisi lain pers menjadi institusi yang tidak lepas dari pemerintah.

Pers yang mendapat peringatan dari pemerintah dapat dikatakan pers tersebut memiliki otonominya sendiri. Sebab, ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat. Contohnya pembredelan tiga penerbitan pers sekaligus pada 21 Juni 1994 (Tempo, Editor, DeTik) adalah salah satu semangat pers untuk memelihara otonominya walau akhirnya terbentur dengan “keperkasaan” negara. Adapun kenyataan tentang pers Indonesia yang tidak bisa bebas, pernah diungkapkan oleh majalah Editor dengan melakukan poling terhadap 131 responden. Hasil poling tersebut menunjukkan bahwa pers kita masih banyak menyembunyikan fakta.

Terdapat dua fakta posisi terhadap fungsi pers. Pertama, pers sebagai katarsis. Dengan melalui masyarakat menyalurkan uneg-unegnya, ketidakpuasan, protes, dan komentarnya terhadap suatu kejadian. Dengan demikian pers menyuarakan kenyataan yang dihadapai masyarakat. Kedua, pers harus mampu menerjemahkan kebijaksanaan pemerintah yang berupa pembangunan kepada masyarakat. Artinya pers memiliki hubungan yang vertikal kepada pemerintah. Dengan demikian, untuk menjaga hubungan trikotomi yang harmonis antara pers, pemerintah dan masyarakat, sudah saatnya pers diberikan otonomi yang lebih yakni pemberian kemandirian untuk menentukan pilihan arah medianya sendiri. Artinya, pers harus diberi keleluasasan dan lepas dari himpitan terik menarik kepentingan pemerintah dan masyarakat.

Demi menghindari ketidakseimbangan yang terus berkepanjangan, maka konsep kebebasan pers harus diberikan dalam kadar lebih. Sebab, pers hanya bisa berjalan sesuai dengan realitas ideal manakala ia mempunyai kebebasan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep kebebasan nantinya harus dibenturkan dengan keberadaan sistem politik. Sebab kebebasan tanpa kendali menyebabkan pers dijadikan mobilitas rakyat yang marah di jalan-jalan.

Melihat realitas kondisi yang bisa dikatakan menghimpit keberadaan pers di Indonesia, maka kebebasan pers pun harus dikonstruksi ulang. Menurut Alfian (1989), Kebebasan yang pernah berkembang di Indonesia adalah kebebasan ala gelang karet, artinya kebebasan yang ada di Indonesia selalu tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan baik pemerintah maupun masyarakat.

Pers Indonesia harus mampu menuntut kebebasan lebih ketika pemerintah membuka keran keterbukaan. Tetapi dalam posisi lain (misalnya ketika pemerintah “marah”) pers harus mampu mengkerut seperti gelang karet. Hal ini perlu diwujudkan mengingat pemerintah kelihatan “angin-anginan” kadang baik hati, kadang juga sangat jahat.

2.4. Kehidupan Pers Pasca Reformasi

Pers dianggap sebagai fourth estate (kekuatan keempat) pada suatu negara. Artinya pers dapat meruntuhkan suatu pemerintahan atau melanggengkannya. Hari ini pers dapat membuat seorang pahlawan menjadi pecundang demikian pula sebaliknya pers dapat membuat seorang pecundang menjadi pahlawan yang dipuja-puja masyarakat. Ini pula yang dilakukan pers Indonesia pada era orde baru. Meski pemerintah semakin menekan pers, namun pers bukanlah ”boneka” yang cuma bisa diam. Pers semakin gencar memberitakan kelemaha-kelemahan pemerintah. Penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah terus diungkap, hingga akhirnya pada bulan Mei tahun 1998 rezim orde baru runtuh.

Munculnya era Reformasi bukan berarti kebebasan pers serta merta dapat diraih. Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) memang dihilangkan namun bukan berarti adanya kebebasan pers. Sebab, Departemen Penerangan (Deppen) yang menjadi “kepanjangan tangan” pemerintah menjadi pengontrol terhadap pers. Selama masa pemberlakuan SIUPP, Deppen selalu mengambil langkah terdepan dalam “menertibkan” pers. Berdasarkan like and dislike Deppen dapat memutuskan secara sepihak, apalagi mendapat persetujuan dari Dewan Pers.

Ketika masa pemerintahan Gus Dur - Mega pada tahun 1999 akhirnya Deppen dibubarkan. Terdapat beberapa alasan dibubarkannya lembaga ini. Pertama, mewujudkan kebebasan pers. Meskipun SIUPP sudah dihapuskan, akan sulit terwujud jika pemerintah terus ikut campur tangan dalam dunia pers. Urusan pers biarlah diserahkan pada praktisi media, karena mereka lebih tahu. Deppen hanya berpihak kepada pemerintah saja, selanjutnya menjadi momok yang menakutkan oleh lembaga pers. Kedua, sebagai test case pada kalangan pers sebab selama ini yang mati-matian memperjuangkan kebebasan pers adalah kalangan pers sendiri. Maka dari itu pers harus menjaga dengan baik kebebasan yang telah diberikan. Solidaritas terhadap sesama pers, masyarakat dan pemerintah adalah salah satu strategi menjaga kebebasan pers agar pers tetap objektif dan memiliki integritas tinggi dalam menyiarkan berita sehingga tidak terkhianati oleh kepentingan sesaat dari kalangan pers sendiri. Ketiga, menghindari keputusan politis dan perlunya penegakan hukum. Mengingat bahwa Deppen memutuskan perkara selalu dengan keputusan politis (tanpa peringatan terlebih dahulu, sepihak, dan tidak adil). Kesalahan yang dilakukan wartawan bukan diadili, akan tetapi berujung pada ditutupnya organisasi wartawan yang bersangkutan.

Oleh karena itu, melalui keputusan Presiden No. 153/ 1999 dibentuklah Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) yang berfungsi:

  1. Penetapan kebijakan di bidang Pelayanan Informasi dan Komunikasi Nasional sesuai kebijakan umum ynag ditetapkan Presiden;
  2. Pelayanan Informasi dan Komunikasi kepada masyarakat;
  3. Pemantapan terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat di bidang pelayanan dan komunikasi nasional;
  4. Pengkoordinasian kegiatan dilingkungan Badan Informasi dan Komunikasi Nasional;
  5. Pengelolaan sumber daya bagi terlaksananya tugas Badan Informasi dan Komunikasi Nasional secara berdaya guna dan berhasil guna.

Dari fungsinya, lembaga ini hanya sekedar sebagai badan koordinasi terhadap berbagai macam proses komunikasi nasional di Indonesia. Berkedudukan dan bertanggung jawab langsung terhadap Presiden yang dikoordinasi oleh Menteri Negara Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam).

Ditengah usaha Pemerintah untuk tidak campur tangan terhadap dunia pers, justru banyak media-media yang berguguran seperti Tajuk, Kapital, Siaga, Suara Bangsa, Monitor dan Jakarta-Jakarta. Dari kebebasan pers tersebut, muncul pula media media online seperti www.detik.com, www.kompas.com, dan www.suratkabar.com. Juga situs berita online seperti www.berita.com, www.indonesiaheadline.com dan www.asiagateway.com. Dengan adanya situs- situs berita online tersebut, dengan cepat masyarakat dapat mengetahui berita terbaru.

Terbukanya keran kebebasan pers itu sendiri harus dibarengi dengan keprofesionalan pers dan jurnalisnya. Berpijak pada etika yang tertuang dalam kode etik jurnalistik menjadi barometer profesionalitas tersebut. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia-salah satu organisasi jurnalis-ada ratusan kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan. Pelanggaran-pelanggaran kode etik adalah bukti bahwa merosotnya prestasi pers Indonesia. Dengan pemberitaan yang sedikit melanggar kode etik, diharapkan dapat meningkatkan oplah harian/mingguan/bulanan. Memanglah media butuh makan, tapi tindakan melanggar kode etik tidak dapat dibenarkan pula. Pers harus tetap berada pada koridornya bahwa kontrol sosial berada di tangan pers itu sendiri.

Kode Etik Jurnalistik, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UUD 1945 pasal 28 adalah landasan hukum yang menjadi pedoman pers dalam menjalankan pekerjaannya. Gambaran bahwa pers pasca reformasi diberikan kebebasan tanpa banyak campur tangan pemerintah sudah memang berada di tangan pers itu sendiri. Apa yang menjadi perjuangan insan pers selama bertahun-tahun kini sudah diraih, tinggal bagaimana mereka menjaga kebebasan itu agar tetap pada koridornya.

Daftar Pustaka

Buku:

Dwi Laksono, Dandhy (2009). Menyingkap Fakta. Aliansi Jurnalis Independen: Jakarta

Effendy, Onong Uchjana (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. PT Citra Aditya Bakti: Bandung.

Nurudin (2005). Sistem Komunikasi Indonesia. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Rousydiy, Lathief, T.A. (1989). Dasar-Dasar Rhetorica Komunikasi dan Informasi. Rimbow: Medan.

Prof. Onong Uchyana Effendy (2003). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Website:

http://adiprakosa.blogspot.com/2008/01/sistem-pers-indonesia.html

http://fahrimal.blogspot.com/

http://www.google.com