Senin, 07 Maret 2011

Kuala Baru: Pesona yang Terlupakan

Malam ini aku duduk menghadap laut. Hamparan luas samudera membentang di depan mataku. Aku berpikir bahwa Tuhan itu memang Maha Adil. Ia menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna, tak kurang satu apapun. Tidak ada ciptaan-Nya yang keliru, sangat-sangat sempurna karena Tuhan memang arsitek yang luar biasa.
Kerlap-kerlip lampu jalanan menambah semarak malam yang tak berbintang. Memang langit agak mendung. Tertutup dengan gumpalan mega hitam. Sama seperti hatiku yang beberapa hari lalu diselimuti rasa perih dan miris melihat kampungku masih seperti dulu.

Kuala Baru, nama desaku. Desa yang tenteram jauh dari peradaban kota. Desa yang terpencil jauh dari hiruk pikuk kota. Desa kecil tempat ayahku dilahirkan dan dibesarkan. Perawakannya masih sama seperti dulu, tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa polesan di sana-sini agar layak dikatakan ibu kota sebuah kecamatan.
Aku pernah menghabiskan masa kecilku di desa ini. Desa yang jauh masuk ke pelosok. Melewati sungai Singkil yang terkenal ganasnya. Dikelilingi rimba rawa leuser tempat berbagai margasatwa berkembangbiak. Air sungainya kuning, dengan kedalaman sepuluh meter lebih. Kabar terakhir yang kudengar, beberapa ekor buaya ditemukan di sungai ini. Sungai Singkil ini merupakan salah satu anak sungai Alas di Aceh Tenggara. Pantas saja warna air dan luas sungainya sama. Ganasnya juga sama.

Aku dibawa ke desa ini sejak usiaku 3 bulan. Aku diasuh oleh kedua orang tuaku bersama dengan keluarga besar ayahku juga kedua orang nenek dan kakekku. Hingga usiaku tiga tahun, baru aku dibawa ke Tapaktuan. Waktu itu Tapaktuan adalah ibu kota kabupaten, sedangkan Singkil masuk ke dalam wilayah administrasinya sebagai sebuah kecamatan. Baru sekitar tahun 1999 pascareformasi dan kewenangan otonomi daerah mulai digelar di daerah-daerah, Singkil memisahkan diri dari Aceh Selatan menjadi kabupaten sendiri.

Pemekaran ini diharapkan mampu memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konon dulu ketika masih dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan semua anggaran pembangunan harus ditentukan oleh kabupaten. Kadang pembagiannya agak sedikit untuk Kecamatan Singkil. Saya tidak tahu pasti berapa pembagian yang diberikan kepada Singkil, karena waktu itu saya masih seorang siswa sebuah sekolah dasar di Tapaktuan. Namun yang saya tahu saat ini adalah, plot anggaran itu tidak akan cukup untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat Singkil. Plot anggaran yang kecil harus dibagi lagi kepada beberapa mukim dan desa yang ada di Kecamatan Singkil waktu itu.

Kadang aku berpikir, Aceh Selatan terlalu kejam. Agaknya pikiranku ini beralasan. Aku tahu Singkil kaya akan sumber daya alam. Daerah Singkil yang dikelilingi hutan belantara tempat berbagai jenis pohon dan tumbuhan hidup. Hasil bumi andalan Singkil adalah kayu hutan dan sawit. Siapapun tahu yang namanya bisnis kayu dan sawit sangat menguntungkan. Inilah hasil bumi Singkil. Hasil bumi yang dikeruk oleh kabupaten induknya dulu. Sementara, Singkil hanya mendapat bagian kecil dari hasil buminya sendiri.

Aku tidak ingin menciptakan sentimen dan tidak pula bermaksud mengungkit luka masa lalu. Aku putra Aceh Selatan. Aku lahir di sana dan aku dibesarkan dari perut buminya. Tapi darahku tetap Singkil, karena ayahku mewariskannya dalam tubuhku.
Jangankan Aceh Selatan, negara kita Republik Indonesia saja memberlakukan Aceh seperti itu juga. Aceh kaya akan sumber daya alam. Membentang dari unjung Banda hingga ujung Tamiang di Timur dan Ujung Singkil di Selatan. Namun, Aceh tetap mendapat hasil bagi yang kecil. Tak khayal ini mengundang pemberontakan oleh rakyat Aceh terhadap republik karena menganggap republik terlalu serakah dan tamak.
Tapi itu dulu kawan, jauh sebelum negara ini mengalami reformasi. Jauh sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen oleh wakil kita di Senayan. Jauh ketika belum ada otonomi penuh kepada daerah dalam mengelola sumber dayanya sendiri.

Kuala Baru, kita masih membahas desa itu. Menempuhnya saja harus menaiki perahu bermotor laiknya speedboard dengan mesin tempel di belakangnya. Hanya saja, speedboard terbuat dari fiber sedangkan perahu mereka hanya terbuat dari kayu.
Jarak tempuhnya juga sangat jauh, sekitar dua jam perjalanan dari daratan Singkil. Sebenarnya ada jalur lain untuk bisa sampai ke Kuala Baru. Jalur yang lebih pendek dan tidak perlu melewati sungai Singkil yang ganas itu. Jalur yang sudah ditemukan sejak bertahun-tahun lalu. Jalur itu adalah Bulussema-Kuala Baru. Bulussema adalah sebuah desa terpencil di daerah Trumon, Aceh Selatan. Sayangnya, jalur ini dalam sengketa bagi para aktivis dan lembaga pecinta hewan dan tumbuhan.

Bagi para aktivis lingkungan, jalur ini dinyatakan masuk ke dalam ekosistem gunung leuser. Sehingga tidak boleh diganggu sedikitpun. Jika jalan dibuka maka habitat akan terganggu. Akibatnya, kepunahan bagi ekosistem. Di satu sisi tidak salah juga jika para aktivis ini berpikiran seperti itu. Disaat berbagai habitat mulai punah di bumi ini, maka leuserlah salah satu tempat yang masih bisa diharapkan. Hanya saja aku menyayangkan mereka lebih sayang seekor monyet dari pada seorang manusia. Bagi mereka (aktivis lingkungan) menyelamatkan habitat hewan dan tumbuhan lebih mulia dari pada menyelamatkan nyawa manusia.

Sangat picik kawan. Inilah yang menyebabkan kampungku terus terisolir. Tidak hanya terisolir dari segi fisik karena tidak ada akses jalan selain sungai, namun juga terisolir pola pikir masyarakatnya. Bagaimana tidak terisolir, dari sejak mereka lahir hingga ajal akan menjemput, mereka hanya berada di daerah miskin ini. Mereka menikah sesame mereka. Anak-anak mereka pun mengecap pendidikan seadanya. Hanya orang-orang yang punya pemikiran maju saja yang akan menyekolahkan anak-anak mereka keluar dari kampung ini. Walaupun para orang tua harus kerja banting tulang untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Inilah kampungku kawan. Kampung kaya tapi miskin. Tidak ada penerangan kalau siang hari. Hanya malam saja lampu hidup dari aliran listrik negara. Tapi itu pun kadang tidak selamanya hidup karena bahan bakar yang tidak mencukupi.
Itu cerita sekitar sepuluh tahun yang lalu kawan. Sekarang ada pembangunan di kampungku karena sudah menjadi sebuah kecamatan. Aku bersyukur kawan, sudah ada kemajuan di sana. Walaupun akses jalan belum juga dibuka. Sedangkan tim pemantau dari berbagai kalangan sudah datang untuk melihat badan jalan itu. Dari kepala dinas kabupaten hingga menteri sudah pernah berkunjung ke Kuala Baru untuk melihat badan jalan itu. Hanya Presiden saja yang belum turun ke lapangan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun jalan itu belum juga dibuka. Entah siapa yang bermain di sini. Mungkin juga ini sarat dengan kepentingan elit politik.

Tahun 2011 ini adalah tahun pemilihan kepala daerah. Semua bakal calon sudah memasang spanduk dan membagi-bagikan kelender dan poster dirinya. Dari bisik-bisik yang ku dengar, tiap bakal calon berjanji akan membuka akses jalan Kuala Baru – Bulussema. Semoga saja ini akan menjadi kenyataan. Semoga saja mereka mengerti bahwa janji adalah hutang.

Banda Aceh, 24 Februari 2011

ANDAI DIPO TAHU: TAK SELAMANYA MEDIA ITU INDAH

Ada saja kondisi yang tidak mengenakkan melanda pers di Indonesia. Setelah di penghujung tahun 2010 lalu terjadi penyerangan kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Sulawesi disusul pemukulan wartawan di Bener Meriah saat tahun 2011 baru berjalan beberapa hari saja. Sekarang muncul lagi statement dari seorang pejabat pemerintahan untuk memboikot media-media yang selalu mengritik pemerintah. Adalah Dipo Alam orangnya. Saat ini beliau sedang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2.

Pernyataan Dipo Alam tersebut banyak dikecam oleh berbagai pengamat dan praktisi media. Lebih-lebih para pekerja media yang dinyatakan Dipo masuk dalam “catatan hitam”-nya. Ternyata Dipo Alam gerah bercampur geram tiap kali membaca surat kabar, mendengar radio, dan menonton televisi yang isinya selalu mengritik pemerintah SBY. Selalu saja yang disoroti oleh media adalah bobrok pemerintah. Tidak pernah media melihat sisi positif pemerintah. Kondisi ini bagi Dipo Alam merupakan ancaman dan momok yang menakutkan. Pilihannya hanya satu, hilangkan mereka. Mereka disini adalah media-media yang dianggap bermasalah tadi.

Ada tiga media yang dinyatakan Dipo bermasalah, yaitu, Metro TV, TV One, dan Media Indonesia. Dua dari tiga media itu berada dalam satu perusahaan yang sama dengan pemilik yang sama pula, yakni Metro TV dan Media Indonesia berada dalam naungan Media Group, pimpinan Surya Paloh. Sedangkan TV One dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Bagi Dipo Alam, ketiga media ini sudah berada pada stadium tinggi untuk mengritik pemerintah. Jika dibiarkan media-media ini akan terus menggrogoti bobrok pemerintah tanpa mau melihat keberhasilannya.

Tak khayal Dipo diserang habis-habisan oleh awak media, bahkan Metro TV sudah menyomasi Dipo Alam. Lantas apa kata Dipo Alam atas somasi Metro TV itu? Dipo Alam tidak pernah takut terhadap somasi itu karena menganggap ia tidak salah dan siap dengan pembelaannya.

Agaknya Dipo Alam lupa bahwa salah satu fungsi utama pers adalah kontrol sosial. Artinya pers menjalankan fungsi kontrol terhadap suatu kesalahan dan penyelewengan wewenang dalam sebuah sistem sosial. Dalam ranah studi komunikasi dikenal istilah Miror Theory. Teori ini mengatakan bahwa apa saja yang diberitakan oleh media adalah kondisi yang terjadi di masyarakat. Dipo bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu akan hal ini. Konon lagi Dipo merupakan salah satu tokoh penggerak reformasi yang gencar meneriakkan kebebasan berpendapat, namun sekarang malah ia yang tidak senang dengan kebebasan itu dan berbalik menentangnya. Semoga saja Dipo tahu bahwa tak selamanya media itu indah. He-he-he.