Minggu, 07 November 2010

Maimunah Ingin Jadi Guru dan Ibu yang Baik

Dia tidak pernah minta dilahirkan ke dunia ini dari keluarga yang kurang mampu. Saat anak-anak seusianya sedang asyik-asyiknya bermain dan bercengkrama bersama keluarga, ia justru harus menjelah kota, menjadi peminta-minta.

***

Senja masih temaram. Azan baru saja selesai dikumandangkan. Namun jalanan masih penuh sesak oleh kendaraan. Sebagian adalah mereka yang pulang dari kantor, sebagian lagi hanya warga yang ingin berjalan-jalan sore.

Lampu-lampu kota telah dihidupkan, siap menambah semarak ibu kota di malam hari. Beberapa pintu toko terlihat tertutup setengahnya, guna menghormati umat Islam yang sedang beribadah, menyembah sang khalik, Allah azza wa jalla. Negeri ini memang negeri syari’at, telah dikumandangkan sejak tahun 2003.

Beberapa orang bergegas hendak menunaikan kewajiban shalat maghrib, namun tidak sedikit juga yang merasa tidak peduli dengan panggilan azan. Apakah mereka muslim atau tidak, entahlah. Hanya mereka yang tahu.

Di sebuah café warung kopi (25/10), tepat di salah satu sudut jalan Daud Beureueh, Banda Aceh, tiga orang anak berjalan mendekat dari meja ke meja. Tangannya menengadah ke setiap orang yang duduk. Berpindah dari satu meja ke meja lainnya. Sampai pada akhirnya salah satu dari mereka sampai di meja tempat ku duduk bersama tiga orang teman.

Baru saja aku hendak berdiri untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslim, tiba-tiba disebelahku berdiri seorang anak perempuan.

“Bang, sedekahnya bang,” ujarnya sambil menyodorkan kertas, belakangan akhirnya aku tahu itu adalah surat tanda miskin. Dalam surat itu tertulis nama ibu si anak. Surat itu juga dibubuhkan tanda tangan kepala desa tempat ia tinggal. Namun sayang, ketika aku sedang membaca surat itu, seorang anak yang lain mengisyaratkan untuk mengambil surat miskin itu dari tanganku. Seperti ada yang mereka sembunyikan.

Ku perhatikan wajah anak itu baik-baik. Pakiannya lusuh, wajahnya tidak terlalu kumal, kulitnya coklat pekat seperti tersengat matahari, menggunakan jilbab hijau sedang rambut bagian belakangnya sesekali keluar dari dalam jilbab. Ia membawa tas biru sebagai tempat menyimpan uang.

Tidak jauh dari kami sebuah pamflet dari besi berwarna putih berdiri. Di situ tertulis himbauan dari Muspika Kota Banda Aceh kepada warga kota agar tidak memberikan sumbangan kepada para peminta-minta di jalan-jalan, rumah makan, atau warung kopi. Salah satu yang dimaksud dalam himbauan itu juga berarti jangan memberi sumbangan kepada anak yang dari tadi berada di depanku ini.

“Duduk dulu dik,” tawarku. “Makan kue ini,” lanjutku lagi.

Ia menggeleng. Ia seperti salah tingkah. Badannya digoyang-goyangkan kesana kemari. Mulutnya tak henti-henti menggigit tali jilbab. Setelah sedikit ku desak, akhirnya ia duduk juga.

“Mau minum teh dingin?”

“Boleh bang, kalau abang kasih,” jawabnya tersenyum.

Maimunah namanya. Umurnya baru 11 tahun. Warga desa Lam Rukam, Peukan Bada, Aceh Besar. Sudah lama ia menjalani profesi sebagai pengemis anak di kota Banda Aceh. Menurutnya ia mengemis karena tidak ada biaya untuk sekolah. Sedangkan ayah mereka sudah meninggal karena tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004.

Sekarang hanya tinggal dia, ibu, adik, dan abang di sebuah rumah di Lam Paseh. Sedangkan seorang abangnya yang lain pergi meninggalkan rumah dan tak tahu kemana. Ia juga punya kakak dan sudah menikah. Kakaknya tidak lagi tinggal bersama mereka.

Ia, ibu, dan adiknya berprofesi sebagai peminta-minta dijalanan. Ia dan adiknya Maisarah (10 tahun) yang bertugas meminta-minta di cafe, warung kopi, dan rumah makan. Sedang ibu mereka bertugas meminta di persimpangan. Faktor ekonomi menjadi dasar mengapa mereka menjadi peminta-minta.

***

Maimunah masih asyik dengan teh dinginnya. Tak berapa lama, air dalam gelasnya pun habis. Hanya tinggal batu es yang masih tetap dihisapnya dengan sedotan putih.

“Kenapa mau minta-minta?” tanyaku.

“Untuk bantu ibu bang,” jawabnya singkat sambil masih memainkan sedotan bekas tehnya.

“Lain apa lagi yang bisa saya kerjakan bang,” lanjutnya kecut.

“Masih sekolah?”

“Masih bang, di SD (sekolah dasar-red) terbuka di Keudah,” ujarnya.

“Bagaimana kamu belajar kalau kamu seharian di jalan?”

“Nanti jam sepuluh pulang bang, lagian kami cuma kerja dari siang sampai malam. Kalau pagi kami sekolah,”

Maimunah memiliki cita-cita yang mulia. Ia ingin menjadi seorang guru, meskipun ia pernah tinggal kelas selama satu tahun. Ini pula sebab sekarang ia sekelas dengan adiknya, Maisarah. Maisarah duduk di kelas 4 SD.

“Saya ingin jadi guru bang, biar bisa ngajar anak-anak,” tambahnya cepat sambil tersenyum, sedang tangannya kali ini sibuk memutar-mutar tali jilbab. Manis nian senyumnya. Tersungging dari balik wajah hitam manisnya.

Sesaat pembicaraan kami terhenti. Tiba-tiba perlahan ia dekatkan wajahnya ke telingaku. Ia membisikkan sesuatu. Aku pun semakin mendekatkan telinga ke mulutnya.

“Saya ingin punya ibu yang baik bang,” katanya pelan.

Ku perhatikan wajahnya. Tidak ada lagi senyuman dan tawa. Mimik serius kini ia tunjukkan. Mungkin mencoba meyakinkanku.

“Kenapa?”

“Ibu kami yang sekarang jahat,”

“Apa beliau ibu tiri kalian?”

“Tidak bang, dia ibu kandung kami tapi dia seperti tidak sayang kami,”

“Kadang saya sedih bang kalau datang ke rumah teman, mereka punya ibu yang baik dan sayang pada mereka. Saya juga mau seperti mereka bang,” lanjutnya.

Menurut Maimunah setiap hari ia dan adiknya dipukuli bahkan ditendang kalau mereka tidak bisa membawa pulang uang sebanyak Rp50 ribu. Bahkan kadang mereka tidak bisa tidur karena menahan sakit yang sangat.

“Malam kemarin adik saya tidak tidur bang karena dipukul ibu, kami hanya bisa ngasih uang Rp7.000,” katanya.

Maimunah terpaksa meminta-minta pun karena disuruh oleh ibunya. Dari hasil meminta-minta, Maimunah bahkan sudah bisa membeli sebuah sepeda motor Yamaha Mio Sporty, yang dipakai oleh abangnya.

“Motornya masih kredit, setiap bulan harus setor Rp700 ribu,” tuturnya tertawa.


***


Maimunah merupakan salah satu dari sekian pengemis anak di Banda Aceh. Menurut pakar hukum, Saifuddin Bantasyam saat ditanya melalui surat elektronik mengatakan kondisi yang dialami oleh Maimunah dan mungkin sejumlah pengemis anak yang disuruh orang tuanya untuk mengemis merupakan salah satu bentuk eksploitasi anak, yang dilarang oleh UU N0. 32/2003 tentang Perlindungan Anak (lihat Pasal 77 dan Pasal 88). Perbuatan demikian dapat menghambat perkembangan sosial anak, dan dapat mengganggu pisik dan psikis anak.

“Eksploitasi anak adalah kejahatan memanfaatkan anak untuk mengambil keuntungan tertentu dari anak tersebut, bisa dalam bentuk eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual,” terang Saifuddin yang juga dosen pada Fakultas Hukum Unsyiah.

Melihat semakin banyaknya pengemis anak di Banda Aceh, Saifuddin mengatakan bahwa Keadaan ini menandakan lemahnya pemahaman orang tua terhadap hak-hak anak seperti yang diatur dalam Konvensi Internasional mengenai Hak Anak dan UU Perlindungan Anak.

Kondisi ini menandakan juga bahwa ada masalah kemiskinan yang akut, yang mendorong keluarga melakukan eksploitasi terhadap anak. Kondisi ini juga pertanda bahwa negara belum sepenuhnya mampu melaksanakan kewajibannya dalam bentuk menyejahtrakan anak, dalam bentuk menindak orang tua yang melakukan eksploitasi terhadap anak,” ujar Saifuddin.

Saifuddin menambahkan kondisi ini juga pertanda tipisnya kepedulian antarsesama. Orang-orang yg memberi sedekah kepada pengemis anak di pinggir jalan juga menjadi faktor penyebab yang mendorong anak yg tidak mampu, menjadi pengemis.

“Sanksinya 5 tahun penjara, denda Rp 100 juta atau 10 tahun penjara, denda Rp 200 juta (pasal 77 dan pasal 88 UU No. 23 tahun 2003),” kata Saifuddin. (Yuhdi Fahrimal)