Selasa, 06 Oktober 2009

Surat Untuk Zarkawi

Senja menyinsing. Matahari perlahan turun dari singgasannya, menuju satu titik perubahan menjadi malam hari. Kemilau emas bertaburan di permukaan air laut. Ombak bermain-main kecil menuju pantai. Burung-burung putih berimigrasi, entah kemana. Nelayan memacu perahunya agar sesegera mungkin sampai ke pantai. Di tepian, sudah ada anak-anak yang menunggu mereka, bersiap mengangkut jala dan jaring yang mereka bawa. Memberesi ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap, lalu bergegas pulang ke rumah untuk menyantap ikannya.

Suasana yang hampir menjadi rutinitas harian warga desa Kuala Baro, Aceh Singkil. Sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Bukan karena kemauan, tapi karena letak geografis desa ini yang mengharuskan seperti itu. Kuala Baro ibarat pulau kecil. Diapit oleh laut dan sungai. Jaraknya lumayan jauh dari Singkil. Mencapai desa ini harus menggunakan perahu bermotor sebagai alat penyeberangan. Masyarakat setempat menyebutnya robin. Sebenarnya robin adalah motor penggerak perahu.

Malam pun menghampiri. Lampu berbinar-binar dari rumah warga. Hanya ada satu mesin pembangkit listrik berkekuatan rendah dari PLN. Jika siang, listrik mati dan baru dihidupkan lagi saat malam hari.

Jalan perkampungan masih ditutupi pasir. Jika angin bertiup kencang, pasir-pasir itu akan beterbangan. Rumah-rumah warga pun semi permanen, karena sangat susah mengangkut semen dan material lain dari Singkil.

”Sudah makan kau nak?”, tanya Siti Hajar pada anak bungsunya

”sudah mak”, jawab Zarkawi

Siti Hajar adalah janda 4 anak yang berprofesi sebagai penenun benang emas. Setiap sulamannya dijual seharga Rp.150.000,-. Malam itu ia sedang mengerjakan sulaman benang emasnya. Besok ia harus membawanya ke Singkil untuk dijual. Sementara Zarkawi bungsu yang sangat disayangnya sedang menghaluskan bambu untuk dijadikan layang-layang. Besok pulang sekolah ia akan bermain layang-layang sepuasnya di lapangan dekat rumah mereka. Ia akan berlari bebas menikmati angin yang menerbangkan layangannya setinggi mungkin, setinggi cita-citanya yang ia gantungkan.

”kawi, mak besok akan ke Singkil”

”buat apa mak ke Singkil besok?”, tanya Zarkawi terus menghaluskan bambu.

Ia harus hati-hati menghaluskan bambunya. Jika tidak maka layangannya tidak akan jadi, dan ia harus membuatnya lagi. Itu berarti ia harus mencari bambu lagi, di hutan seberang sungai dengan biawak-biawak sebesar paha orang dewasa.

”besok kan ada pekan Singkil, mak mau menjual hasil tenunan ini, siapa tahu besok mak dapat rejeki. Mak bisa beli baju sekolah baru untuk Kawi. Jadi, do’akan mak ya semoga besok Allah memberi kita rejeki”, ujar Siti Hajar sambil membetulkan letak duduknya

Kawi hanya menggangguk. Siti Hajar tersenyum melihat putra bungsunya. Anak laki-laki berusia 9 tahun dan duduk di kelas 4 sekolah dasar satu-satunya di Kuala Baro. Dalam hati yang dalam ia berharap anaknya ini kelak akan menjadi orang yang sukses dan berguna bagi agama serta keluarga. Ia teringat amanah almarhum suaminya. Kelak saat suaminya tidak ada lagi, pendidikan anak-anak tetap menjadi nomor satu. Jangan biarkan anak-anak tidak bersekolah. Jika tidak sanggup untuk menyekolahkan ke empat anak mereka, sekolahkan saja satu diantara mereka.

Pesan terakhir suaminya itu diingat lekat-lekat oleh Siti Hajar. Karena faktor ekonomi mereka yang pas-pasan. Maka ia hanya memprioritaskan pendidikan bagi Kawi. Tentunya ini merupakan hasil kesepakatan bersama keluarga. Kakak-kakak Zarkawi sudah besar-besar. Mereka hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah menengah atas. Selanjutnya mereka memilih bekerja menjadi nelayan.

”mak menangis?”, pertanyaan Zarkawi memecah lamunan siti hajar

Ia tidak menyadari anaknya memperhatikannya dari tadi.

”mak kenapa menangis?”, pertanyaan lugu dari bocah kesayangannya

Siti Hajar hanya tersenyum. Ia merasa tidak perlu memjawab pertanyaan ini. Diletakkannya sisa tenunan benang emas, dirangkulnya anaknya.

”Kawi, kamu harus menjadi seorang yang sukses. Dulu Abu berpesan pada mak agar menyekolahkanmu hingga kau berhasil”, mata Siti Hajar terus basah. Tetesan airnya jatuh di tangan Kawi. Tidak ada kata-kata lagi bisa diucapkan Siti Hajar. Dipeluknyan erat-arat bungsunya.

***

Azan subuh menggema di belantara desa. Embun pagi menyibak di atas rerumputan dan dedaunan. Suara gemercik air terdengar dari rumah-rumah yang penghuninya sudah bangun untuk mengerjakan perintah tuhannya. Angin bertiup sepoi tapi menusuk. Menambah kenikmatan untuk memperpanjang tidur bagi mereka yang tak tersentuh hatinya oleh panggilan Illahi.

Siti Hajar bangkit dari tempat tidurnya. Meraba-raba skring lampu di dinding kamar. Ia tersenyum melihat Kawi yang mengernyitkan matanya karena silau oleh cahaya lampu. Siti Hajar mendekat ke sisi tempat tidur. Dibelainya rambut Kawi dengan lembut.

”Kawi...bangun. shalat subuh dulu”, ujar Siti Hajar membangunkan anaknya

Kawi menggeliat. Matanya masih tertutup. Tangannya meraba kesana kemari mencoba menemukan selimut. Setelah dapat, ditariknya selimut itu lalu dilanjutkannya tidurnya.

”Kawi...bangun nak. Orang-orang yang tidak shalat itu berdosa. Apa Kawi mau jadi anak yang berdosa”

Kawi kembali menggeliat. Membuka sebelah matanya. Lalu menggangguk.

”sebentar lagi mak”, ujar Kawi

Siti Hajar bangkit dari tempat tidur menuju belakang rumah. Mengambil air sembahyang. Kawi berjalan sedikit sempoyongan karena masih didera kantuk. Ia menyusul ibunya ke belakang. Mengambil air sembahyang. Tidak berapa lama ia sudah bergabung bersama ibu dan kakak-kakaknya yang sudah mengatur shaf. Shalat dipimpin oleh Syafrizal, kakak kedua Kawi.

Shalat ditegakkan dengan khusyuk. Semua orang larut dalam takjub menyembah Rabbnya. Takbirratur Ihram, rukuk, ’itidal, sujud, hingga salam dilaksanakan dengan tertib. Usai salam, Kawi bergegas bangkit dari tempat duduknya, berlari ke dalam kamar melanjutkan kembali tidurnya.

Sementara ibunya, Siti Hajar mempersiapkan tenunan benang emas untuk dibawa ke Singkil. Hari ini adalah hari pekan besar Singkil. Hampir semua warga Kuala Baro pergi ke Singkil untuk berjualan atau hanya sekedar belanja. Memang sudah menjadi tradisi di masyarakat Singkil, ada dua hari pekan. Pekan kecil pada hari Senin, sedangkan pekan besar pada hari Kamis.

***

Kawi kecil beranjak remaja saat negeri leluhurnya dilanda konflik. Kala itu ia masih duduk di kelas 2 sekolah menengah atas.

Banyak warga sipil hilang dan besoknya ditemukan mati. Tidak satu orang pun yang tahu siapa pelakunya. Semua orang saling menyalahkan.

Sebenarnya kampung Kawi tidak terlalu terkena imbas konflik. Tidak ada suara dentuman senjata. Tidak ada kabar orang hilang. Tidak ada mayat tanpa identitas ditemukan. Semuanya tentram.

Namun keharmonisan ini terpecah ketika sekumpulan orang yang mengatasnamakan organisasi pembebasan rakyat masuk ke kampungnya. Mereka mulai mempengaruhi satu persatu orang-orang kampung untuk ikut memberontak seperti mereka. Sasaran utama perekrutannya adalah para pemuda kampung. Kawi tak luput dari ajakan.

Kawi diajak oleh temannya untuk ikut pertemuan di surau nanti sore. Ini kali pertamanya ikut pertemuan kelompok yang ia sendiri tak tahu arah dan tujuan pergerakannya. Ba’da ashar pemuda yang diundang hadir dalam pertemuan itu sudah berkumpul di dalam surau. Ada sekitar 50 orang, salah satu diantara mereka adalah Kawi.

Kawi mengambil tempat duduk di dikat pintu keluar surau. Matanya tajam melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya. Kata temannya mereka adalah para pejuang bangsa yang tangguh. Mereka yang akan mengangkat marwah bangsa kita yang sudah lama dijajah oleh Jakarta. Mereka yang akan membalaskan dendam anak yang ayahnya dibunuh. Dendam istri yang suaminya dihilangkan. Dendam gadis remaja yang diperkosa.

”Assalamu’alaikum, wahai saudara bangsa Aceh yang saya cintai”, ujar seorang laki-laki bertubuh kekar. Janggut dan kumisnya tebal. Laki-laki itu memakai baju kaos warna hitam. Celananya loreng. Ada kain merah bergambar bulan dan bintang diikat dikepalanya. Kawi tidak tahu apa makna kain itu. Dalam benaknya, orang dihadapannya terlihat seram.

”Saudara-saudara ku”, suara laki-laki itu lantang

”kita harus meneruskan perjuangan guna membela bangsa Aceh yang kita cintai ini”, kata-kata laki-laki itu tegas. Menyihir semua peserta pertemuan sore itu.

Kawi mengikuti pertemuan itu dengan seksama. Konsentrasinya terpecah ketika seorang pria pendek tergopoh-gopoh memasuki surau. Badannya basah karena keringat. Kelihatannya ia berlari tadi.

”Assalamu’alaikum panglima”, ujar pria pendek itu

”wa’alaikumsalam”, jawab semua orang serentak

”Tentara republik baru saja merapat di dermaga simpang empat. Kita harus segera melarikan diri”, tukas pria itu dengan nafas yang masih susah diatur

Sontak semua orang yang ada disurau itu berhamburan keluar. Tidak ada lagi waktu untuk memakai alas kaki. Keadaan sangat kacau. Kepanikan terlihat jelas diwajah mereka. Beberapa orang membopong senjata laras panjang. Hanya laki-laki berbadan tegap tadi yang memiliki pistol, dan tiga buah granat manggis yang diikatkan di pinggangnya.

Mereka berlari ke arah pantai. Disana sudah ada dua orang dan sebuah boat yang menunggu. Kawi juga ikut dalam rombongan itu. Ia tidak tahu mengapa mereka lari. Ia tidak tahu kemana mereka akan pergi. Ia sudah bertanya kepada orang-orang yang dikenalnya. Namun mereka juga tidak tahu.

***

Matahari baru saja bangkit dari peraduannya. Sisa-sisa embun masih melekat di rerumputan. Kicauan burung menyemarakkan pagi.

Seorang pria menatap dalam sebuah nisan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia baru sampai di desa itu setelah 5 tahun berkelana di rimba Aceh.

Pria itu mengenal persis nama di batu nisan itu. Orang yang sangat ia cintai terkubur disitu.

”Zarkawi”

Pria itu menoleh ke belakang. Disana sudah berdiri seorang laki-laki tua. Kawi mendekat. Kaki-kakinya tidak mampu menopang berat tubuhnya. Ia tersungkur di depan laki-laki itu. Tangannya memegang paha laki-laki itu dengan erat. Semua jemarinya mencengkram erat celana laki-laki itu. Air matanya tumpah. Membasahi tanah yang masih lembab karena hujan semalam.

”sudahlah, kau jangan menangis’, ujar laki-laki tua itu

”pak... tolong ceritakan pada saya mengapa ibu meninggal”, ujar kawi terisak

”marilah ke rumah dulu, nanti bapak ceritakan”, ajak laki-laki itu

Di beranda rumah yang semi permanen. Lelaki itu menceritakan semua hal kepada kawi. Keadaan kampung mereka yang dijadikan daerah merah setelah kejadian di surau sore itu. Penyebab ibu kawi meninggal.

”Ibumu diserang penyakit”, ujar lelaki tua itu membetulkan letak pecinya

”Ia tidak mau makan. Berobat pun tidak mau. Kakak-kakakmu sudah membujuknya. Tapi ia tetap bersikeras tidak mau. Ibumu memikirkanmu. Kata orang kampung kau juga ikut memberontak kepada republik. Kabarnya kau sudah jadi panglima untuk wilayah Bulussama dan Barus. Terakhir ibumu mendengar kau tertangkap dalam sebuah penggerebekan. Lalu kau dibawa ke penjara di Tapaktuan. Ibumu menyusulmu ke Tapaktuan, berharap dapat berjumpa denganmu. Saat ibumu sampai ke Tapaktuan, kau malah dipindahkan ke Kuala Simpang. Penyakit ibumu semakin bertambah. Pamanmu di Tapaktuan sudah mengobatinya. Tapi ibumu minta pulang ke kampung saja. Baru dua hari ibumu sampai dikampung ini. Ajal menjemputnya. Kakak-kakakmu sudah pindah ke singkil semua”, lelaki tua itu mengakhiri ceritanya

Asap kretek mengepul dari mulut laki-laki tua itu. Diambilnya peci usang yang menutupi kepalanya. Dikeluarkannya secarik kertas.

”ini wasiat dari ibumu”, ujar lelaki itu menyodorkan kertas yang dikeluarkannya tadi kepada kawi

Kawi membuka surat itu, di dalamnya tertulis

”Kawi

Kau harapan abu. Kau juga harapan mak. Dalam kepergianmu, mak selalu berdo’a semoga Allah menjagamu. Tidak ada harta yang mak wariskan padamu. Hanya saja sebuah Al-qur’an yang dapat mak berikan. Semoga kau tetap berpegang teguh kepadanya. Jika mak sudah tak ada, susullah kakak-kakakmu ke singkil. Tuntutlah kembali ilmu. Jadilah kau seperti harapan abu dan mak”.

Setelah membaca surat wasiat ibunya, kawi melipat surat itu. Disimpannya di saku kemejanya. Matanya kembali basah. Ia bangkit dari tempat duduknya, menyalami lelaki tua tadi. Berpaling dan meneruskan langkah hidupnya.

(Banda Aceh, 05 Oktober 2009)