Jumat, 24 Juli 2009

”Damai di Jambo”

”Berdo’a saja, semoga tidak ada lagi perang di Aceh, semoga damai tetap terjaga di Aceh”

Matahari baru naik. Sengatan sinarnya belum terlalu panas. Tidak ada angin sedikit pun bertiup. Tidak ada dedaun yang bergoyang. Hanya ada beberapa petani yang sedang menanam bibit padi di sawahnya ditemani kerbau-kerbau juga ikut meramaikan. Pemandangan ini yang dapat ku tangkap ketika berjalan ke sebuah desa terpencil di Kabupaten Aceh Besar.

Cot Jambo, nama desa itu. Desa yang berjarak 16 kilometer dari pusat kota Banda Aceh ke arah bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan rawa. Sungai yang sedikit jernih masih mengalir lancar ke setiap sawah desa itu.

Suasana itu persis sama dengan beberapa tahun lalu, ketika Aceh dilanda konflik. Konflik kemanusiaan yang menelan banyak korban. Pada masa konflik Aceh, hampir di semua daerah dipenuhi oleh TNI dan Polisi. Banyak pos yang dibangun, dengan alasan pertahanan keamanan dan kedaulatan Indonesia. Daerah-daerah terpencil yang diduga menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diberi julukan dengan istilah daerah merah atau daerah hitam. Banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak TNI/Polri, GAM, bahkan masyarakat sipil.

”Desa kami tidak pernah kacau”, ujar Ramli, 33 tahun, seorang warga desa Cot Jambo, Aceh Besar. Belakangan baru ku ketahui bahwa dia adalah Keuchik desa Cot Jambo.

Ramli mengisahkan dulu ketika Aceh dilanda konflik desa mereka diberikan lampu hijau (petanda daerah aman). Tidak ada pos TNI/Polisi yang didirikan disana. Namun, sekali-kali mereka juga berpatroli untuk berjaga-jaga.

Setiap harinya tidak ada bedil yang menyalak minta korban. Letusan bom juga tidak terdengar bahkan nyaris mereka tidak merasa Aceh, daerah mereka, sedang dilanda konflik.

”Kalau daerah sekitar kita ini baru rawan”, tambah Ramli sambil menunjuk ke arah beberapa desa lain yang berbatasan dengan desa mereka. Desa-desa yang ditunjuk oleh Keuchik Ramli terlihat kecil dari kejauhan karena berada disekitar kaki gunung Seulawah.

”Apakah warga di desa ini ada yang terlibat GAM?”, tanyaku

”Sepengetahuan saya selama saya menjadi Keuchik tidak ada satu orang pun warga desa ini yang terlibat GAM”, jawabnnya tegas.

”Mengapa bisa demikian?, tanyaku lagi

”Para pemuda desa kami semua memiliki kerja, jadi tidak bisa dipengaruhi untuk ikut yang seperti itu”, ujar Ramli yang hampir 8 tahun menjadi Keuchik Cot Jambo.

”Kami tidak pernah memihak siapa pun”, tambah Ramli sambil membakar kretek yang dari tadi di pegangnya.

”Sama TNI kami kawan, sama GAM juga”, lanjutnya menghembuskan asap kretek dari mulutnya.

Menurut Ramli, dulu ketika lagi panas-panasnya konflik warga desa mereka memberikan bantuan kepada GAM. Pemberian itu dilakukan karena mereka (GAM) yang meminta bantuan. Bantuan yang diberikan dalam bentuk makanan.

Sebelum bantuan diberikan, seorang anggota GAM keluar dari markas mereka, lalu datang ke desa Cot Jambo menuju rumah Ramli. Setelah bantuan terkumpul Ramli yang akan pergi mengantarkan bantuan itu ke basis GAM di bawah komando Mukhlis, seorang panglima sagoe GAM wilayah Blang Bintang.

”Saya sendiri yang pergi mengantarkan bantuan warga itu ke basis mereka”, ungkap Ramli

Basis, yang menurut Ramli, berada di sebuah pesantren di daerah kaki gunung Seulawah. Disitulah semua kombantan Gerakan Aceh Merdeka yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh berkumpul dan bertahan. Sekali-kali mereka pindah jika TNI/Polri melakukan penyerangan dan penyisiran.

Tanggung jawab Ramli sebagai seorang pemimpin di desanya sangat besar. Pernah suatu ketika Ramli harus bolak-balik ke Pos TNI, Komando Rayon Militer Blang Bintang, Polsek Blang Bintang, hanya untuk membei jaminan warga yang ditangkap karena dicurigai terlibat GAM.

”Saya bolak-balik ke Pos TNI dan harus membuat beberapa surat jaminan atas nama saya, ini saya lakukan karena saya yakin warga yang saya beri jaminan bukanlah anggota GAM”, tutur Ramli kemudian mempersilakan aku minum yang dari tadi sudah disiapkan oleh istri Ramli.

Segelas air sirup merah yang memikat hati, lumayan bisa melepaskan dahaga ku karena hari mulai panas. Belakangan ini cuaca selalu panas, hampir sama dengan cuaca politik yang sedang hangat-hangatnya terjadi. Hanya baru beberapa bulan pemilihan umum legislatif berlangsung, masyarakat sudah dihadapkan oleh pemilihan presiden.

Sepanjang jalan menuju Cot Jambo, belum ada pamflet, baliho, spanduk, dan poster untuk kampanye presiden. Hanya terlihat beberapa poster calon legislatif yang masih memenuhi pohon dan tiang listrik.

Semangat warga desa Cot Jambo untuk mengikuti pemilu presiden nanti akan sama ketika pemilu legislatif yang lalu. Pada pemilu yang lalu warga sangat antusias megikutinya. Dan pemilu berjalan dengan sukses. Tidak ada intimidasi sedikitpun. Tidak ada bentrokan baik besar maupun kecil. Meskipun di beberapa tempat diisukan terjadi intimidasi oleh beberapa tim sukses caleg dan partai.

”Secara lahir warga desa Cot Jambo akan memilih SBY nanti”, ujar Ramli

”Kalau hati siapa tahu”, tambah Ramli tertawa

Bagi warga Cot Jambo SBY merupakan sosok pemimpin yang pantas dipilih kembali. Di mata warga Cot Jambo ditangan SBY-lah Aceh mendapat damai. Jika bukan karena kepemimpinan SBY, maka konflik Aceh pasti akan memanas dan tidak akan pernah berakhir.

”Berdo’a saja, semoga tidak ada lagi perang di Aceh, semoga damai tetap terjaga di Aceh”, harap Ramli mengakhiri pertemuan kami hari itu dengan senyuman. (yf)