Selasa, 25 Januari 2011

Mobil Menteri






Sabtu (8/1/2011), cuaca siang tidak begitu bersahabat, meskipun pada pagi harinya tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Seperti biasa saya harus ke kampus karena hari ini adalah ujian terkahir untuk semester ganjil. Persiapan sudah dilakukan, tinggal bertarung saja dengan soal-soal yang akan menguras otak untuk menjawabnya.

Sepenuhnya konsetrasi saya tidak pada soal yang ada di atas kursi dengan meja yang menyatu ke penyangga kursi. Buyarnya konsentrasi ini karena ada pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya sudah “meneken” kontrak kerja sama dengan Panitia Pelantikan Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Aceh. Sebenarnya sih tidak ada perjanjian hitam di atas putih untuk pekerjaan ini, tapi saya sudah “disewa” untuk memotret prosesi pelantikan ini. Menjadi “fotografer” memang menjadi pekerjaan sampingan saya saat ini. Dengan kamera single lens reflex yang murah, saya beli waktu ada pameran elektronik di Banda Aceh.

Lima belas menit sudah berlalu. Telepon selularku bergetar pertanda ada panggilan masuk. Benar saja, panitia pelantikan sudah menunggu saya di Asrama Haji Banda Aceh. Namun apa boleh buat, soal-soal ujian belum semuanya saya jawab. Saya berusaha secepatnya untuk menyelesaikan soal-soal itu. Dalam waktu lebih kurang 25 menit saya rampungkan semua pertanyaan. Syahdan saya menyerahkan lembar jawaban kepada pengawas ujian. Selanjutnya bergegas menuju Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda guna memotret prosesi penjemputan menteri yang akan melantik DPW. Anda pasti tahu siapa menteri yang saya maksud. Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Beliau adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang sebelumnya dipimpin oleh Gus Dur.

Sebenarnya sempat terjadi pertikaian antara kedua kubu PKB, massa PKB Gus Dur versus massa PKB Muhaimin. Tapi saya tidak hendak menceritakan kronologis pertikaian itu. Biarlah media-media arus utama yang mengekspos apa yang terjadi. Toh sekarang mereka sudah damai. PKB sudah jadi satu kembali.

Kembali ke Pak Muhaimin. Beliau baru masuk kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 saat SBY terpilih untuk kedua kalinya menjadi Presiden Republik Indonesia. Pak Muhaimin menjadi pembantu presiden untuk mengurusi tenaga kerja Indonesia dan sistem transmigrasi masyarakat Indonesia. Berbagai kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri menjadi urusan Pak Muhaimin. Bisa anda banyangkan bagaimana sibuk dan lelahnya Pak Muhaimin mengurus itu semua. Tapi itulah kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kemaslahatan rakyat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, saya baru sampai di desa Meunasah Manyang, sekitar 7 kilometer dari bandara. Apa lacur, hujan menerpa. Menghentikan laju sepeda motor saya. Saya harus berteduh karena kamera yang saya bawa. Jika saya melanjutkan perjalanan maka kamera akan basah. Jika kamera basah maka saya tidak bisa bekerja lagi. Saat berteduh, telepon selular saya bergetar kembali. Lagi-lagi telepon dari panitia. Saya meminta maaf karena tidak bisa melanjutkan perjalanan ke bandara. Artinya saya tidak bisa memotret prosesi penyambutan kedatangan Pak Muhaimin. Terdengar nada kecewa dari seberang telepon. Saya sudah pasrah, kalau-kalau pekerjaan ini dibatalkan. Untungnya itu tidak terjadi. Saya disuruh untuk kembali saja ke Asrama Haji.

Asrama Haji sudah dipadati beberapa orang yang akan menyasikan prosesi pelantikan. Ada juga yang berasal dari salah satu pesantren di Aceh Besar, sepertinya warga pesantren ini adalah simpatisan PKB. Beberapa pengurus yang tidak ikut menjemput ke bandara bersiap menyambut menteri. Sekitar pukul 13.30 WIB terdengar kabar kalau menteri beserta rombongan hampir sampai ke Asrama Haji. Semua bersiap. Penari Ranup Lam Puan juga bersiap. Tari Ranup Lam Puan merupakan tarian penerima tamu yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut tamu.

Menteri berada di dalam sebuah mobil berwarna hitam. Detil saya menangkap merek mobil tersebut. Toyota Alpard dengan nomor plat RI 28. Anda tahu harganya kan? Jika saya tidak keliru, di pasaran Toyota jenis Alpard dibandrol seharga Rp1 Miliyar. Kepada anda semua pembaca yang budiman, saya akan bagikan hasil jeprat-jepret saya. Semoga bermanfaat. He-he-he.

Media Oh Media

Perkembangan media massa dewasa ini sangat pesat. Berbagai media muncul secara simultan dan seakan tidak terbendung. Kondisi ini menyebabkan arus informasi setiap hari mengalir tak henti ke tengah masyarakat.

Media cetak merupakan media tertua di dunia. Sudah ada sejak 100-40 SM, ketika Julius Caesar berkuasa di Romawi kuno. Para jurnalis yang pada masa itu dikenal dengan nama diurnari bekerja atas perintah sang Raja untuk mencari berbagai informasi di empat penjuru mata angin (barat, timur, utara, dan selatan). Semua informasi yang terkumpul dituliskan pada sebuah papan besar di alun-alun kerajaan. Setiap orang yang mau membacanya harus datang ke alun-alun. Acta diurna, nama papan besar itu. Di situ rakyat mengetahui apa yang terjadi setiap harinya. Lambat laun media cetak semakin berkembang. Pada tahun 1950-an, seorang berkebangsaan Jerman, Johannes Gutenberg membuat sebuah penemuan yang fantastis sekaligus mengubah wajah dunia cetak dunia. Gutenberg menemukan sebuah mesin cetak, sedang ia heran terhadap temuannya ini yang bisa menggandakan tulisan. Pada mulanya mesin cetak buatan Gutenberg hanya digunakan untuk mencetak bible (injil). Lama kelamaan mesin cetak ini digunakan untuk memperbanyak buku dan majalah. Hingga akhirnya mesin cetak Gutenberg ini menyebar hamper ke seluruh dunia. Tapi sayang, Gutenberg tidak pernah menikmati hasil temuannya itu. Ia mati setelah beberapa waktu menemukan mesin cetaknya.

Media elektronik mulai merambah masyarakat pada kisaran tahun 1920-an. Bermula di benua Amerika kemudian masuk ke benua Eropa. Sementara itu, radio-lah yang masuk terlebih dahulu di tengah masyarakat. Agaknya, masyarakat antusias menerima media baru seperti Radio. Siaran yang disukai oleh masyarakat ketika itu adalah opera sabun. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1960-an muncul media televisi yang siap menyaingi popularitas radio. Ini sangat mungkin dilakukan oleh televisi karena ia merupakan media pandang-dengar yang memiliki kelebihan dari pada radio, sebagai media dengar.

Meski sedikit tersingkirkan, toh radio masih tetap bertahan. Masyarakat masih mau menyukai radio karena keefisienannya. Radio bisa dinikmati dimana saja. Tidak ada batasan ruang. Berbeda dengan televisi, kita harus menyediakan waktu untuk duduk dan menonton tayangan yang disuguhkan. Dibandingkan dengan radio, televisi memiliki dampak yang lebih besar pada khalayak. Masyarakat cenderung melihat dan meniru apa yang ditampilkan di televisi. Tidak jarang tindak kekerasan dalam masyarakat dipengaruhi oleh tayangan televisi. Masyarakat khususnya anak-anak dan remaja menginterpertasikan bahwa apa yang ditayangkan oleh televisi adalah benar adanya. Misalnya, tokoh Superman, Batman, Spiderman, dan lain sebagainya. Penonton usia anak-anak cenderung mempersepsikan bahwa ia pun dapat terbang seperti tokoh hero pujaannya itu. Tak khayal dewasa ini banyak kematian anak akibat jatuh dari tingkat tinggi, jika ditanya kepada temannya maka akan dijawab karena ingin seperti super heronya tadi.

Pada era berikutnya muncul media online, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Seakan tak mau kalah dengan pendahulunya, media baru ini mencoba mencaplok semua peran media yang lahir sebelumnya. Di online kita bisa membaca berita, menonton TV, serta mendengar streaping radio. tanpa harus susah-susah membeli atau berlangganan media cetak dan elektronik itu satu persatu. Namun disayangkan jika media online juga membawa malapetaka bagi masyarakat. Akses informasi yang tak terbatas dan tak berjarak membuat masyarakat cenderung mengakses informasi yang seharusnya tidak layak untuk diakses, misalnya, situs-situs porno. Selain itu, tindak kejahatan cyber juga sering terjadi di media online.

Media memang berkembang pesat. Beberapa dekade lagi entah media apa lagi yang akan lahir. Hanya saja perlu proteksi bersama guna menjaga diri dari terpaan dahsyat media. Jika tidak disaring mana informasi atau tayangan yang layak dan mana yang tidak layak, maka niscaya akan lahir masyarakat modern yang dikuasai oleh media. Bukan media yang menguasai manusia tapi manusialah yang menguasai media. Media hanya produk dari modrenitas manusia. Seharusnyalah manusia melakukan kontrol kepadanya. Manusia berhak mengatur media dan menata media agar lebih baik. Bukan hanya menyerahkannya kepada selera pasar. Medialah yang sebenarnya menentukan selera pasar. Rendah atau tinggi, murahan atau berkelasnya selera pasar sangat tergantung pada informasi dari media. (yfh)

Media dan Pak SBY

“Saya lebih memilih media tanpa negara daripada negara tanpa media”, Napoleon Bonaparte)

Belakangan ini masyarakat santer membicarakan “curhat” presiden tentang gajinya. Berbagai media massa secara intensif memberitakannya pula. Agaknya apa yang disampaikan oleh Presiden SBY dalam sambutannya pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri beberapa waktu yang lalu adalah keluh kesah presiden tentang gajinya yang “kecil”. Berita ini headline di sejumlah media. Tidak hanya media arus utama (mainstream), media online juga ikut-ikutan mengambil angle liputan masing-masing, yang penting berita hot issue. Bayangkan saja apa tidak “gila” seorang presiden curhat mengenai gajinya yang rendah, meskipun jumlah gaji presiden adalah Rp6o juta lebih dengan tunjangan senilai Rp2 milyar. Wah, angka yang fantastis untuk ukuran mahasiswa seperti saya. He-he-he.

Lupakan sejenak angka-angka itu. Terlalu panjang perkalian matematikanya jika harus bicara mengenai angka-angka “gila” itu. Biarkan saja ini menjadi urusan Menteri Keuangan dan Badan Urusan Rumah Tangga Kepresidenan. Toh, itu memang sudah menjadi tugas mereka. Kalau tidak, sia-sia mereka digaji dengan uang rakyat. He-he-he.

Mari kita kembali pada masalah Media dan Presiden. Oleh berbagai pakar politik dan komunikasi, Presiden SBY dikenal suka dengan politik pencitraan. Salah satu komunikator dalam komunikasi politik adalah aktor politik. Nah, siapa aktor politik itu? Termasuk di dalamnya adalah presiden, anggota DPR, bupati, pejabat, dan lain sebagainya. Aktor politik ini menggunakan media massa sebagai partner guna mencitrakan diri mereka sebagai yang terbaik. Imbalannya, media mendapatkan berita setiap hari tanpa harus pusing-pusing membuat rapat redaksi, meskipun rapat redaksi tetap penting dalam manajemen media massa. Selain itu, media juga akan kebanjiran iklan kalau medianya dekat dengan pemerintah. Artinya ada simbiosis mutualisme, media dan aktor politik saling menerapkan azas manfaat.

Demikian pula halnya dengan Pak SBY. Beliau adalah presiden yang juga berarti sebagai aktor politik. Artinya beliau adalah “sasaran empuk” bagi media massa, baik sasaran untuk mengungkit kegagalan atau sasaran untuk mencitrakan kesuksesannya. Kebetulan kali ini Pak SBY menjadi sasaran kontroversi ala media. Sebenarnya bukan hanya kali ini saja Pak SBY menjadi sasaran media, hampir setiap tindakan dan perkataan Pak SBY seakan menjadi celah bagi media untuk diangkat ke permukaan. Masyarakat pun dibuat terprovokasi olehnya.

Bagi mahasiswa yang fakir ilmu seperti saya, setidaknya ada analisis yang dapat saya ajukan kepada pembaca yang budiman. Ini hanya analisis kecil-kecilan. Terbuka ruang untuk tidak setuju dengan pendapat saya ini. Toh, negara kita menganut paham demokrasi yang salah satu kriteria bagi sebuah negara demokrasi adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat. Lets we play.

Dari semua berita yang dimuat di media massa baik cetak maupun elektronik mengenai pernyataan Pak SBY di depan para Permira Tinggi (Pati) TNI/Polri, saya menganggap itu hanya akal-akalan media saja. Tidak ada pernyataan secara eksplisit maupun implisit yang dilontarkan oleh Pak SBY mengenai permintaannya agar gajinya dinaikkan. Tidak pernah sama sekali. Hatta Rajasa, Menteri Sekretari Negara pun membantah bahwa Presiden SBY tidak pernah meminta gajinya dinaikkan. Pak SBY hanya mengatakan bahwa selama 7 tahun menjabat sebagai presiden gajinya tidak pernah naik. Pak SBY mungkin ingin mengingatkan para Pati itu untuk tidak meminta kenaikan gaji sementara tugas dan tanggung jawab belum dilaksanakan dengan benar. Hanya itu saja.

Yang saya tahu, Pak SBY itu adalah orang yang perfectionist. Bahkan kalau tampil di depan media massa, di depan puluhan sorot kamera. Sangking perfectionist-nya, Pak SBY selalu hati-hati dalam menyusun kalimatnya. Jangan sampai ada kontroversi dari tiap kalimat yang diutarakannya, apa lagi menyinggung hati orang lain termasuk rakyatnya. Dalam bukunya, Dr. Dino Patti Djalal, salah seorang staf khusus kepresidenan yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat yang berjudul Harus Bisa, Seni Memimpin Ala SBY, menuliskan, Pak SBY itu orangnya sangat teliti bahkan untuk pidatonya sekalipun. Pak SBY selalu mengecek ulang naskah pidato yang sudah disiapkan sebelumnya. Hal ini tak khayal membuat Pak Dino harus bolak balik untuk mengajukan draft pidato kepada presidenan. Tiap ada koreksi dari presiden, Pak Dino harus memerbaikinya. Pak Dino juga mencatat bahwa suatu ketika Pak SBY pernah mengoreksi tulisan pidatonya lima menit sebelum tampil di mimbar kehormatan itupun dengan meminjam bahu ajudannya. Bukan hanya Pak Dino, Prof. Dr. Tjipta Lesmana, dalam bukunya Dari Soekarno Sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa (2009), juga menuliskan bahwa sebagai seorang sosok yang perfectionist, SBY selalu berbicara hati-hati. Bahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah diartikulasikan secara cermat. Bahasanya jelas dan sangat konseptual sekali.

Berpijak kepada apa yang disampaikan oleh Dr. Dino dan Prof. Lesmana tersebut, tanpa ada maksud memihak, dapat disimpulkan bahwa Pak SBY adalah sosok yang sangat peduli pada apa yang akan diucapkannya. Dengan demikian, apa yang disampaikan SBY dalam Rapim TNI/Polri itu sudah dipikirkan masak-masak. SBY sudah berupaya untuk tidak melahirkan sebuah kontroversi dalam tiap ucapannya. Namun, media agaknya menghendaki lain. Tuturan singkat dari bibir Pak SBY itu diartikulasikan sebagai curhat presiden terhadap gajinya yang “kecil”. Parahnya, masyarakat ikut-ikutan terpengaruh dengan berita ini.

Media memang “super”. Maka tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa “siapa yang menguasai media berarti menguasai dunia”. Media dapat membuat pahlawan menjadi pecundang, sedang pecundang bisa menjadi pahlawan. Media bisa membuat konflik menjadi perdamaian, sedang media juga bisa memicu munculnya konflik baru. Selama ini paradigma media massa tidak hanya di Indonesia masih cenderung konservatif (kolot). Awak media masih memegang jargon bad news is good news (berita buruk adalah berita yang baik). Artinya semakin “murahannya” berita itu, maka semakin bagus untuk terus diekspos. Semakin ada kontroversi dalam berita itu, maka semakin bagus untuk dibesar-besarkan.

Apesnya Pak SBY adalah karena media di Indonesia sudah sangat bebas. Pascareformasi keran kebebasan memang terbuka lebar. Tidak ada lagi Surat Ijin Penerbitan Pers (SIUPP) yang sangat terkenal pada masa Orde Baru. Ini membuat media banyak bermunculan. Siapa pun dapat mendirikan media baru asalkan punya uang. Silakan anda hitung sendiri berapa jumlah media yang muncul pascareformasi Indonesia. Kondisi ini sebenarnya menjadi bukti bahwa Indonesia sudah menerapkan demokrasi. Namun demokrasi yang diterapkan agaknya sudah kebablasan. Kebebasan disalurkan tidak pada tempatnya. Sehingga tidak jarang kita lihat unjuk rasa yang berakhir anarkis dan media massa yang berselera rendah.

Awak media selalu tidak mau disalahkan. Mereka selalu mengatakan bahwa media hanya mereduksi apa yang terjadi di masyarakat. Dalam komunikasi massa memang dikenal istilah Mirror Theory, dimana isi media dianggap sebagai cerminan apa yang terjadi dalam masyarakat. Media menjalankan liputan terhadap keseharian masyarakat. Media memang berfungsi sebagai pembawa informasi dan kontrol sosial. Namun bukan berarti media massa selalu menyodorkan berita-berita “sampah” kepada masyarakat. Media juga tidak bisa menafsirkan seenaknya sendiri terhadap apa yang disampaikan oleh aktor politik. Alih-alih sebagai kontrol sosial, media tidak harus menceritakan dan selalu mengungkit kejelekan atau kegagalan pemerintah.

Untuk berita mengenai “curhat” Pak SBY ini, media lagi-lagi berhasil menciptakan opini publik. Opini masyarakat digiring kepada suatu kesimpulan tertentu. Alih-alih media menyajikan pemberitaan yang berimbang (cover both side), di balik itu semua sebenarnya media berupaya menggiring masyarakat kepada apa yang dikehendaki media. Ibarat sebuah film, pemberitaan juga sudah diskenariokan terlebih dahulu. Hanya saja skenarionya merupakan sebuah realitas dalam masyarakat.

Untungnya Pak SBY “tidak menggubris” apa yang disampaikan media. Agaknya, Pak SBY tidak mau mencoreng citranya hanya untuk meladeni berita yang tidak penting ini. Maka orang-orang lingkaran dalam Pak SBY-lah yang melakukan klarifikasi ini semua. Anda tahu kan bagaimana Mensesneg, Hatta Rajasa dan Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menglarifikasi semua pemberitaan “curhat” presiden.
Pak SBY selalu “menyayangi” media walaupun keburukannya selalu diungkit. Mungkin Pak SBY tahu media adalah teman, atau mungkin Pak SBY tahu bahwa media punya kekuatan yang besar sebagai sarana untuk mencitrakan dirinya. Mungkin juga Pak SBY takut kalau-kalau media akan bertindak lebih buruk lagi jika beliau melawannya. He-he-he. Silakan anda interpretasikan sendiri mengapa Pak SBY tidak mau membalas apa yang dilakukan media terhadapnya.

Pak SBY dan media memang dua hal yang beda tapi sulit dipisahkan. Sebagai seorang pemimpin Pak SBY memerlukan media sebagai “corong” dalam mengabarkan kepada rakyat mengenai suatu kebijakan yang dibuatnya. Sementara media memerlukan Pak SBY sebagai sumber berita guna menaikkan oplah medianya. Kembali kepada pernyataan di awal tadi, sismbiosis mutualisme memang sedang terjadi. Meski terkadang media cenderung agak “nakal”, namun bukan berarti media harus diberangus atau ditekan. Meski pun Pak SBY adalah aktor politik, bukan berarti media selalu terus berupaya mengungkit yang “buruk” guna diberitakan kepada masyarakat. masyarakat juga harus peka terhadap apa yang sedang terjadi sebenarnya. Saya percaya masyarakat sudah tidak bodoh lagi. Tapi jangan biarkan kita dibodoh-bodohi oleh berita dan isu murahan.
Oh iya, sebagai penutup tulisan ini, saya teringat pada wasiat seorang pemimpin dan saya akan bagikan kepada anda semua, pembaca yang budiman. Gratis, tidak perlu bayar. He-he-he.

“Saya lebih takut kepada satu media massa daripada ribuan tentara musuh”.
Selamat menjadi masyarakat yang cerdas. Salam demokrasi. He-he-he. (yfh)