Rabu, 30 Maret 2011

HARUS BELAJAR LAGI DARI JEPANG!

Baru beberapa minggu saja duka negeri sakura berlalu. Setelah bencana gempa disusul gelombang tsunami setinggi 10-15 meter menerjang negeri matahari terbit itu. Setelah jumlah korban terus bertambah, dari sepuluh menjadi seratus lalu seribu, kemudian sepuluh ribu. Mungkin juga akan sampai seratusan ribu jiwa yang terenggut oleh bencana mahadahsyat itu.

Rumah luluh lantak. Gedung hancur lebur. Pohon tercerabut dari akarnya. Tiang listrik tumbang. Jalanan retak dan amblas ke dalam tanah. Reaktor nuklir menyebar teror kepada setiap warga yang selamat. Setiap insan bersiap terkena radiasi nuklir yang akan merenggut nyawa mereka. Krisis bahan bakar minyak terjadi. Setiap masyarakat mendapat jatahnya masing-masing.

Kelaparan juga mengancam meski bantuan sembako dan obat-obatan terus berdatangan. Arus pengungsian tidak terbendung. Ribuan orang berada di bandara untuk dievakuasi. Namun sebelumnya mereka harus di periksa dengan menggunakan alat detektor nuklir. Ini dilakukan untuk mengantipasi adanya radiasi nuklir di tubuh mereka.
Kejadian ini menyulut api kemanusian negara sahabat. Mereka siap membantu; materi, tenaga, maupun pengalaman. Ada yang mengirim bantuan uang. Ada yang mengirim bantuan tenaga ahli nuklir. Ada yang mengirim tenaga ahli penanganan bencana. Dan yang terakhir ini adalah Indonesia.

Indonesia mengirim Kuntoro Mangkusubroto untuk berbagi pengalaman dalam menangani daerah pascagempa dan tsunami. Kalau urusan itu, Kuntoro tidak mungkin diragukan lagi. Track record beliau sebagai Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias telah menjadikannya sarat pengalaman. Pengalaman dalam membangun kembali daerah yang luluh lantak karena gempa dan tsunami.

Agaknya Indonesia masih harus belajar dari Jepang meskipun sudah mengirim ahli “Rehab dan Rekon”-nya ke sana; Kuntoro. Rakyat Jepang yang selamat tidak mengeluh saat mereka tidak dapat makan dalam beberapa hari. Sementara rakyat Indonesia selalu mengeluhkan ini-itu. tidak peduli perut mereka kenyang atau lapar, rakyat Indonesia selalu menuntut.

Di Jepang, jalan bisa dibangun dalam enam hari. Jalan yang rusak karena gempa bisa diperbaiki dalam enam hari saja. Sementara jalanan di Aceh yang dilanda bencana yang salam akhir 2004 silam sampai saat ini belum juga rampung. Bahkan aspal pertama untuk akses jalan baru dilakukan pada tahun 2008, empat tahun pascabencana. Entah salah siapa. Padahal bantuan sangat banyak diberikan oleh negara sahabat.

Hampir tidak ada kericuhan dan desak-desakan saat dilakukan evakuasi korban yang selamat. Sementara di Indonesia semua urusan harus di selesaikan dengan kericuhan akibat saling dorong atau desak-desakan. Untuk pembagian sembako saja rakyat Indonesia saling berebut. Lebih parah lagi kalau lagi kalau pembagian zakat. Untuk membeli tiket nonton bola saja korban juga berjatuhan. Salah siapa?
Indonesia masih harus belajar dari Jepang meskipun mereka bekas penjajah kita.
Apa pendapat anda?

Jeulingke, 29/03/2011