Kamis, 12 Maret 2009

Geliat Pers Mahasiswa

Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia (dari perang kemerdekaan hingga reformasi)

Keberadaan pers mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia merupakan bukti aktualisasi diri mahsiswa guna merespon isu-isu yang beredar di tubuh mahasiswa dan di tengah masyarakat. Pers mahasiswa merupakan wadah yang menampung ide kreatif mahasiswa yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Mahasiswa terkenal dengan idealismenya yang kuat dan kental dalam memperjuangkan hak rakyat yang tertindas. Hal ini juga merupakan perjuangan yang dilakukan oleh para kuli tinta mahasiswa dalam pergerakannya. Pers mahasiswa merupakan pers alternatif namun tidaklah jauh berbeda dengan pers umum lainnya. Hanya dari segi redaksi dan rubrikasi yang tampak perbedaan diantara keduanya. Media pers mahasiswa lebih condong kepada peliputan seputar mahasiswa dan kebijakan pemerintah yang pada tahap pemberitaannya sangat kritis, keras, dan pedas demi mempertahankan idealismenya sebagai mahasiswa.

Lahirnya pers mahasiswa tidak terlepas dari sejarah perjuangan mahasiswa itu sendiri. Pers mahasiswa lahir sebagai media alternatif untuk penyebaran informasi kepada masyarakat khususnya masyarakat kampus. Berbeda dengan pers profesional lainnya, mayoritas pers mahasiswa menyebarkan informasi terkait dengan isu-isu di kampus mereka masing-masing. Sejarah pers mahasiswa itu sendiri sama dengan sejarah pers pada umumnya. Berawal dari ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, kebangsaan Jerman pada tahun 1456. Penemuan ini merupakan penemuan terbesar seorang tukang emas seperti Gutenberg. Awalnya Gutenberg heran penemuannya bisa melipat gandakan tulisan. Lambat laun temuannya ini menjadi promotor didirikannya percetakan di beberapa Negara di eropa. Sesuai perkembangan jaman, banyak perusahaan penerbitan pers lahir, tidak terkecuali pers mahasiswa.

Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1914-1941, pers mahasiswa Indonesia muncul bersamaan dengan lahirnya Gerakan Kebangkitan Nasional Indonesia yang diprakarsai oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa. Sesuai dengan konteks waktu pada saat itu, pers mahasiswa lahir sebagai sarana untuk penyebaran ide-ide dan pemikiran yang disebarkan kepada masyarakat akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Penciptaan kesadaran di tengah masyarakat ini sesuai dengan fungsi pers itu sendiri yaitu untuk penyebaran informasi (to inform) dan melakukan kontrol sosial (social control) dan juga untuk mempengaruhi (to influence) khalayak dalam hal ini masyarakat pribumi Indonesia. Pada masa ini bermunculan beberapa organisasi pers pemuda, pelajar, dan mahasiswa seperti Hindia Putra (1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (1938). Organisasi pemuda, pelajar, dan mahasiswa lainnya yang memiliki kesamaan tujuan adalkah Moehammadiah (Pemuda Moehammadiah), Partai Sjarekat Islam Indonesia (Pemoeda Moeslimin), Nahdatul Oelama (Pemuda Ansor) yang melakukan penerbitan secara berkala. Pers mahasiswa ini melakukan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Namun, pada era ini pula pers mahasiswa dianggap kurang professional. Hal ini sesuai pendapat dari Nugroho Notosusanto yang mengatakan bahwa pada masa perang kemerdekaan Indonesia, pers mahasiswa belum memiliki keprofesionalan dalam hal pergerakannya sebagai pers mahasiswa.

Geliat pergerakan pers mahasiswa baru terlihat pada masa setelah kemerdekaan. Di era ini pemuda dan mahasiswa diberikan kesempatan untuk membentuk lembaga seperti halnya lembaga pers mahasiswa. Seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan pers mahasiswa sangat pesat. Ditandai dengan munculnyanya beberapa lembaga pers mahasiswa setelah tahun 1950 seperti Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) yang saat itu diketuai oleh T. Jacob, ada pula Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) yang diketuai oleh Nugroho Notosusanto. Selanjutnya dua lembaga ini digabungkan menjadi sebuah lembaga pers mahasiswa yaitu Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1958. Penggabungan atas dasar pemikiran sulit dibedakannya kegiatan perusahaan pers mahasiswa dan kegiatan kewartawanan pers mahasiswa itu sendiri.

Amir Effendi Siregar dalam bukunya yang berjudul Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1983 mencatat bahwa pada kisaran tahun 1950-an banyak lahir pers mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia. Di Jakarta lahir beberapa pers mahasiswa seperti Akademika, Mahasiswa, Forum, Vivat, Fiduca, Pemuda Masyarakat, PTD-Countrier, Ut Ommes Umum Sint. (GMNI), Pulpus, dan Aesculapium (kedokteran). Mahasiswa di Bandung telah melahirkan lembaga pers mahasiswa juga seperti Bumi Siliwangi (IKIP), Gema Physica, Gunadaharma, Intelegensia (Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung), Mesin, Suluh Pengetahuan, IDEA (PMB, Scientia (FIPIA), Scythesia (CMB-CMI) dan Ganeca. Mahasiswa di Yogyakarta pun tak mau ketinggalan. Mereka berhasil membentuk pers mahaisswa seperti Criterium (IAIN), Gajah Mada (UGM), GAMA (UGM), Media (HMI), Tunas, Pulpus (PMKRI, Pantai Thei (Perhimi), Uchuwah (Islam), Universitas (Komunis). Di Surabaya juga lahir pers mahasiswa yaitu Ut Omnes Umum Sint (GMKI) dan Ta Hsueh Ta Chih. Sedangkan di Makasar lahir pers mahasiswa Duta Mahasiswa (Dema Hasannudin). Di Medan lahir pers mahasiswa Vidia dan Gema Universitas. Di Padang juga lahir pers mahasiswa yaitu Tifa Mahasiswa (Dema Universitas Andalas).

Tantangan dan Hambatan Pers Mahasiswa

Pasca runtuhnya Demokrasi Terpimpin, tampuk kepemimpinan bangsa ini dipegang oleh Soeharto, seorang Jenderal yang berhasil meredam dan membungkam pergerakan PKI pada tahun 1965. Perpolitikan Indonesia memasuki era Orde Baru. Penguasa pada masa itu menjanjikan sebuah kehidupan liberal kepada mahasiswa dan masyarakat. Pada implementasinya penguasa malah memberikan iklim politik yang otoriter. Sistem politik bangsa Indonesia ini akhirnya berdampak kepada pergerakan dan aktifitas para aktifis mahasiswa yang harus kembali ke kampus (back to campus). IPMI yang notabenenya merupakan aliansi mahasiswa Indonesia mengalami krisis identitas. Dengan sangat terpaksa atas dasar peraturan yang diberlakukan pemerintah orde baru IPMI melepas Harian KAMI dan selanjutnya menjadi pers umum. Lambat laun media pers mahasiswa yang ada di luar kampus harus berguguran satu persatu.

Pemerintahan yang otoriter mengancam keselamatan semua lembaga pers. Tidak hanya lembaga pers mahasiswa, pers umum pun terancam keselamatannya. Bagi pers yang melakukan pemberitaan yang keras dan menyudutkan pemerintah akan dikenakan sangsi pembredelan. Tak khayal beberapa pers umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, serta Indonesian Times dibredel karena pemberitaannya terkesan pedas dan keras. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan bagi setiap lembaga pers agar mempunyai Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini guna meredam tulisan-tulisan provokatif yang dilakukan oleh insan pers terhadap pemerintah. Tidak ubahnya dengan keadaan pers mahasiswa. Setelah terjadinya peristiwa pada tanggal 15 Januari 1974 yang sangat tragis dikenal dengan Peristiwa Malari, pemerintah memberlakukan sistim NKK/BKK yang dikeluarkan melalui SK No. 0156/U/1978 oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoet Joesoef pada tanggal 19 April 1979 tentang NKK disusul instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi 002/DK/Inst/1978 tentang pembentukan BKK.

Dikeluarkannya dua surat keputusan ini memaksa semua pers mahasiswa untuk kembali ke “kandang” mereka. Kebijakan ini sengaja dikeluarkan untuk menutup gerak pers mahasiswa yang kritis, pedas, dan berani dalam membeberkan kesalahan-kesalahan pemerintah yang dinilai menyengsarakan rakyat. Dengan kebijakan ini, banyak pers mahasiswa yang dibredel dan akhirnya tidak mampu untuk hidup kembali.

Sementara di Aceh sendiri juga lahir beberapa pers mahasiswa pada era 80-an dan awal 90-an seperti Ar-Raniry Post, Fosma Unsyiah, Ulul Albab IMM, Gebrak, Forum Dakwah (Senat Fakultas Dakwah), Sinar Darussalam, dan lain sebagainya. Namun, dengan sendirinya semua pers mahasiswa ini mundur dengan sendirinya.

Pasca reformasi 1998, gaung pergerakan pers mahasiswa kembali memudar. Keadaan ini menjadi sangat menyedihkan ditengah kebebasan arus informasi dan komunikasi pers mahasiswa malah mengalami kemunduran. Sangat jarang ditemukan mahasiswa menghasilkan sebuah tulisan yang kritis, tajam, dan berimbang. Sangat jarang didapati tulisan dari mahasiswa yang mampu membentuk opini publik. Kalaupun ada, media yang mereka terbitkan kurang atau bahkan tidak lagi diminati oleh masyarakat. Ini terjadi karena pers tidak lagi dijadikan sarana untuk mengaktualisasikan idealisme yang dimiliki oleh mahasiswa.

Jika dulu semua pers mahasiswa memiliki kesatuan ide dan gagasan mengenai pengangkatan isu seputar demokratisasi, keadilan hukum, dan kesenjangan sosial di Indonesia. Sekarang pers mahasiswa sudah terkotak-kotak pada idealisme yang dianut oleh lembaga mereka. Diperparah oleh adanya kelompok mahasiswa yang underbow suatu gerakan politik tertentu. Jika ini terus terjadi maka tidak ada lagi kesatuan pikiran intelektual muda sehingga tidak salah jika kita sering melihat terjadi bentrok antar mahasiswa. Pers mahasiswa saat ini seperti kehilangan rohnya. Tidak ada lagi semangat perjuangan mereka yang berkecimpung dalam pers mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri, saat ini media yang diterbitkan mahasiswa dikalahkan oleh media umum, baik dari segi isi berita yang dihasilkan, banyaknya oplahan, serta target dan strategi distribusinya.

Masih banyak lagi hambatan dan kendala yang dialami oleh pers mahasiswa. Secara umum hambatan dan kendala itu terdiri dari: Internal, Eksternal, dan Finansial. Keadaan internal selalu menjadi permasalahan utama bagi sebuah lembaga pers mahasiswa. Lemahnya kaderisasi, kurangnya SDM, dan konflik internal menjadi contoh kecil dari hambatan itu. Permasalahan inilah yang sampai sekarang sebagian besar pers mahasiswa belum mampu mengatasinya. Belum lagi intervensi (tekanan) dari luar baik berasal dari rektorat, dosen, sesama mahasiswa menjadi kendala eksternal yang mengancam kehidupan sebuah lembaga pers mahasiswa. Meskipun pasca reformasi pers mahasiswa tengah mencari kebebasan dan coba terlepas dari tekanan dari berbagai pihak, namun disisi lain tekanan dari pihak kampus tidak dapat terelakan.Permasalahan finansial selalu menjadi ujung tombak terhadap kompleksitas kendala yang dimiliki oleh pers mahasiswa. Apalagi pers mahasiswa hanya sebagian kecil dari masyarakat kampus dan selalu mendapat suntikan dana utama berasal dari pihak rektorat, semua ini bermuara pada sisi pemberitaannya. Tidak ada lagi pemberitaan yang membongkar aib rektorat karena takut tidak ada lagi ssuntikan dana dan berdampak pada matinya sebuah lembaga pers mahasiswa.

Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat mendesak para aktivis pers mahasiswa untuk terus menggeluti dunia cyber. Ini menjadi solusi bagi sebuah lembaga pers yang memiliki permasalahan di atas khususnya permasalahan finansial. Meskipun tidak terbit cetak, semua berita yang diperoleh penggiat pers mahasiswa dapat di-online-kan. Pembuatan situs website dan blog akan mempermudah dalam penyebaran informasi dan berita karena internet memiliki kelebihan kecepatan dan daya jangkau yang yang luas. Siapa saja biasa mengakses situs tersebut dan memperoleh beritanya. Inilah yang menjadi cikal bakal pers cyber yaitu pers yang menggunakan dunia maya dalam hal penyebaran informasinya. Alhasil, informasi yang sudah dijadikan berita oleh wartawan mahasiswa dapat dinikmati oleh masyarakat luas pengguna internet

Referensi:

Didik Supriyanto, “Menggagas Media Kampus Online.” Makalah disampaikan pada Seminar Cyber Media : Menuju Media Campus Online, 24 Februari 2000 di Kampus UGM Bulaksumur yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan Majalah Mahasiswa UGM Balairung, diakses pada tanggal 2 Maret 2009.

Amir Effendi Siregar. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia. Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: PT. Karya Unipress. Hlm 41.

Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia. 1971. Jakarta: SPS Pusat. Hlm. 91-95.

Didik Supriyanto, 1998. op cit, diakses 2 Maret 2009.

Blog Bungkapit21, diakses 2 maret 2009.

Blog Agus Gussan Susantoro (Presidium Nasional PPMI periode 2000-2001 dari wilayah Jawa Timur), diakses 2 Maret 2009.

Muhammad Hamzah (Mantan Ketua AJI Aceh), disampaikan pada Kegiatan Evaluasi dan ProyeksiPenguatan Program Pers Mahasiswa oleh ACSTF dan YAPIKA di Sabang, 22-25 Februari 2009.

Said Mahyiddin Muhammad, S.Pd.I (Biro Kemahasiswaan Unmuha Aceh), disampaikan pada Kegiatan Evalusi dan Proyeksi Penguatan Pers Mahasiswa oleh ACSTF dan YAPIKA di Sabang, 22-25 Februari 2009.

Tidak ada komentar: