Minggu, 14 November 2010

Nyawa itu hampir saja pergi

Oleh: DM. Ari Dwi Wahyuni

Semua tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Orang-orang masih dalam emosinya masing-masing. Hingga akhirnya mereka sadar jika nyawa mereka sedang terancam.

“Prang,” ruang tunggu pesawat hening saat bunyi kaca pecah sekitar pukul 14.03 menit. Semua mata tertuju pada sumber suara. Tak jauh dari tempat dudukku, kira-kira berjarak lima meter seorang lelaki berkumis, kurus, berjaket hitam, dengan seorang anak yang tidur pulas di pundaknya berdiri dengan wajah yang masam di depan meja petugas bandara. Mulutnya menggerutu, kaca meja ground staff Bandara Soekarno-Hatta (31/10) pun ia pecahkan.

Bukan hanya lelaki itu. Semua penumpang yang sudah menunggu dari pagi untuk diterbangkan ke Medan tersulut api emosi. Mereka emosi karena sudah tiga kali penerbangan di tunda. Penerbangan yang seyogyanya berangkat pukul 09.05 akhirnya harus berangkat pukul 17.20. Waktu yang tidak singkat untuk menunggu sebuah penerbangan.

Penumpang tumpah tuah ke meja petugas bandara. Makian, sumpah serapah terlontar dari mulut massa. Sejauh ini belum ada konfirmasi dari petugas bandara penyebab penerbangan ini ditunda. Hanya terlihat jari-jari mereka sibuk menekan tombol telepon di hadapan mereka. Entah siapa yang mereka telepon, aku pun tidak tahu pasti. Yang aku tahu massa sudah di puncak emosinya.

“Kenapa kami tidak dipindahkan ke pesawat lain saja,” teriak yang satu.

“Apa kalian berani ganti 10 kali lipat uang kami. Kalau begitu balikkan saja uang kami,” sahut yang lain lagi.

Suasana memang sangat kacau. Tidak ada yang bisa mengontrol. Ada yang marah, ada pula yang menangis. Termasuk salah seorang ibu yang dikerumuni oleh orang-orang. Anak gadis disebelahnya mencoba menenangkan. Dielus-elusnya pundak si ibu.

Aku mencoba mendekat ke arah ibu itu. Namun karena disesaki penumpang lainnya, akhirnya aku hanya bisa berdiri beberapa meter dari tempat ibu yang menangis tadi. Penasaran, aku pun bertanya kepada orang disebelahku.

“Mengapa ibu itu menangis,”

“Orang tua ibu itu meninggal dan tidak akan dikebumikan sebelum ibu itu sampai,” jawabnya.

Miris memang. Setidaknya dalam agama Islam mempercepat pemakaman bagi jenazah adalah hal mulia. Mungkin itu juga yang dipikiran ibu yang menangis itu. Ia muslim tergambar dari jilbab yang dipakainya.

Sesaat ku lihat ibu itu berbicara di telepon genggamnya. Sayup-sayup ku dengar apa yang ia bicarakan.

“Gimana mau berangkat, ini ga ada pesawatnya,” ungkapnya terisak. Beberapa penumpang lain yang juga ikut mendengar turut meneteskan air mata. Ini menyiratkan kepedihan yang mendalam.

Sebenarnya pada pukul 14.30 penumpang sudah dipanggil untuk naik pesawat. Satu per satu menyerahkan boarding pass kepada petugas yang berjaga di pintu, lalu berjalan menuju kabin pesawat.

Ada pemandangan aneh yang ku lihat saat menapaki jembatan penghubung ke pintu pesawat. Di bawah pesawat yang kami naiki, terlihat beberapa petugas teknis sedang duduk. Meskipun hanya duduk saja namun ini terlihat cukup aneh.

Semua penumpang sudah berada di kabin pesawat. Perlahan pesawat bergerak mengambil sikap untuk lepas landas. Pramugari juga bersedia di tempat mereka guna memeragakan prosedur penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan pada pesawat.

Suhu di dalam kabin sangat panas. Air conditioning (AC) tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Semua orang merasa gerah, namun pesawat tetap melaju pelan.

Tiba-tiba pesawat memutar arah, kembali ke tempat ia semula diparkirkan. Semua penumpang tersentak. Mungkin dalam pikiran mereka bertanya apa lagi yang terjadi. Sampai akhirnya terdengar suara pramugari dari pengeras suara mengatakan pesawat sedang dalam kondisi rusak. Aku dan penumpang lainnya kaget buka kepalang. Kami harus menunnggu pesawat ini diperbaiki untuk beberapa saat yang kami tidak ketahui.

Selama pesawat diperbaiki, para penumpang ditempatkan kembali di ruang tunggu bandara. Namun lagi-lagi penumpang marah. Mereka sudah tidak sabar menunggu. Meja ground staff dibajak oleh massa. Tidak ada seorang petugas pun disana. Massa berteriak-teriak, tidak ada yang mengkomandoi.

Akhirnya, sekitar pukul 17.20 terlihat petugas memasuki ruang tunggu pesawat. Ia mengumumkan bahwa pesawat sudah selesai diperbaiki dan penumpang disuruh naik kembali.

Penumpang bergerak dengan barang bawaan mereka ke pesawat. Semua mencari tempat duduk sesuai nomor ditiket. Seperti biasa, lagi-lagi pramugari memeragakan tata cara penyelamatan. Pesawat mulai bergerak. Siap mengambil posisi take off. Lalu melesat kuat dan terbang ditengah cuaca yang buruk.

Awalnya pesawat mengudara dengan baik. Meski dari kaca pesawat terlihat awan hitam yang menggumpal dan kilat yang bersahut-sahutan. Tekanan udara yang kuat di luar pesawat membuat pesawat bergetar kuat. Raut kekhawatiran muncul di wajah tiap penumpang. Pesawat seperti akan jatuh dan tiba-tiba saja lampu mati. Sontak terdengar istighfar dari mulut penumpang yang muslim. Semua penumpang ingat akan Tuhan saat itu.

Pilot berusaha menyeimbangkan kembali posisi pesawat. Akhirnya berhasil juga. Setidaknya ini membuat para penumpang tenang, meski beberapa orang masih membaca surat Yaasin.

Pesawat masih melaju. Getaran sesekali masih terasa. Sampai akhirnya pesawat perlahan turun dan semakin dekat dengan tanah. Roda-roda pesawat dikeluarkan. Pilot bersiap menarik rem agar pesawat berhenti. Pesawat Sriwijaya Boeing mendarat juga di Bandara Polonia, Medan. Semua penumpang turun dengan nafas lega dan syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan pada mereka. (edt: yfh)

Tidak ada komentar: