Jumat, 16 Oktober 2009

Pesan Seorang Sahabat

Nafasnya terengah-engah. Seluruh badan dirasakannya sangat letih. Otot-ototnya menegang. Bajunya basah oleh keringat. Diletakkannya ransel di dekat tempat tidur. Lalu ia bergegas ke kamar mandi. Mencuci mukanya. Lalu kembali lagi ke dalam kamar.

”baru pulang aksi lagi kau fir?”, tanya Umam

Firdaus hanya mengangguk. Tangannya meraih handuk yang digantung di atas pintu. Dilapnya wajahnya yang basah.

”hari ini kantor mana lagi yang kau demo?”, tanya Umam lagi

”Dinas Pendidikan”, jawab Firman singkat

Ia berjalan menuju lemari. Diambilnya baju ganti untuk mengganti bajunya yang basah oleh keringat tadi. Ia tidak terlalu mempedulikan Umam, teman satu kosnya yang dari tadi berdiri di depan pintu kamarnya dengan berbagai pertanyaan.

Setelah mengganti pakaian, Firman membuka ranselnya. Dikeluarkannya sebuah laptop. Lalu menghidupkannya untuk mencari beberapa data yang diperlukan untuk aksi besok.

”besok apa lagi yang akan kau demo?”, Umam kembali bertanya

”rencananya kantor DPRA”

Tangan Firman sibuk menekan-nekan tombol laptop. Entah dari mana ia mendapatkannya. Matanya seperti tidak merasa lelah setelah berdiri di tengah panas seharian. Berteriak-teriak di antara massa demonstran. Umam beranjak dari tempatnya. Ia paham betul, kawannya yang satu ini tidak bisa diganggu kalau sedang mengerjakan sesuatu. Ia pernah dimarahi oleh Firman. Ketika itu Firman sedang membuat sebuah makalah untuk presentasi di kampusnya. Umam sedang mencari selotip untuk membungkus kotak yang akan dikirimnya ke kampungnya. Lantas ia bertanya kepada Firman. Tiga kali ia bertanya. Semuanya tidak dijawab oleh Firman. Saat bertanya lagi, Firman menatap tajam padanya dan keluar makian dari mulut Firman. Ia tidak balas marah. Ia tidak mau permasalahan semakin berlarut-larut. Toh..dari pada persahabatan mereka rusak.

Umam kembali ke kamarnya. Mengambil sebuah buku dari kotak penyimpan bukunya. Ia lebih memilih membaca beberapa artikel dari pada melihat pekerjaan Firman yang tidak jelas. Hampir setiap saat ia berdemo. Entah untuk siapa dan untuk kepentingan siapa. Jika ditanya kepada Firman, pasti jawabannya untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas.

***

”Kau mau masuk fakultas apa nanti fir?”, tanya Umam saat sedang istirahat jam sekolah

”Aku mau masuk fakultas teknik, aku mau jadi teknokrat, biar bisa bangun kampung kita ini”, jawab Firman sambil tertawa. Ia membayangkan akan menjadi seorang insinyur yang akan membangun kampungnya.

”kau sendiri akan masuk fakultas apa mam?”, balas Firman

”aku mau masuk fakultas keguruan. Aku mau jadi guru. Kata ibuku jadi guru itu merupakan tugas mulia”, jawab Umam tersenyum

Umam teringat masa-masa mereka masih menjadi siswa putih abu-abu dulu. Ia dan firman adalah sahabat. Mereka sudah berteman sejak kecil. Orang tua mereka sama-sama berprofesi sebagai petani. Mereka sadar bahwa harapan orang tua mereka ada di pundak mereka. Cita-cita keluarga berada di tangan mereka. Merekalah yang akan merubah nasib keluarga agar lebih baik.

***

Pagi belum sempurna betul. Matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Tanah masih basah karena sisa hujan tadi malam. Umam sudah bangun. Ia mengambil wudhu lalu mengerjakan shalat fardu dua raka’at. Setelah selesai shalat. Ia menuju kamar Firman. Didapatinya pintu kamar tidak terkunci. Ditolaknya pintu kamar pelan. Dilihatnya sahabatnya itu masih tertidur pulas. Beberapa kertas bertumpuk dilantai kamarnya.

”Fir bangun. Shalat dulu. Sudah subuh nih”, Umam menguncang-guncang pelan tubuh firman

”iya mam”, Firman menggeliat, mengubah posisi tidurnya

Umam keluar kamar. Mengambil kitab suci, lalu membaca beberapa lembar ayatnya. Setelah selesai membaca Al-qur’an, Umam kembali ke kamar. Tiba-tiba rasa kantuk menderanya. Untunglah hari ini tidak ada jadwal kuliah. Jadi ia bisa bangun agak siangan.

Ketika banngun, Umam melihat sebuah surat lebih tepat disebut memo. Ini dari Firman. ”aku tidak akan pulang untuk beberapa hari. Setelah selesai aksi di DPRA, aku akan berangkat keluar kota untuk beberapa hari”. Itulah isi memonya.

Dalam benak Umam bertanya, kemana sahabatnya itu akan pergi. Untuk beberapa hari pula. Lantas untuk kepentingan apa. Apakah untuk tugas kampus. Entahlah, ia tak mau terlalu terlibat dalam hal ini.

***

Umam terperangah saat membaca koran pagi. Headline-nya menyebutkan bahwa kemarin telah terjadi bentrok antara mahasiswa dan aparat kepolisian. Demo yang berpusat di gedung DPR-RI tersebut berakhir rusuh. Dipastikan korban tewas berjumlah 4 orang dari kubu mahasiswa. Sementara 7 orang luka berat, baik dari kubu mahasiswa maupun polisi.

Umam membaca dengan seksama berita itu. Hingga matanya berhenti pada satu tulisan yang menyebutkan nama-nama korban yang tewas.

”Firman”. Umam merasa aliran darahnya begitu kuat dipompa. Kakinya bergetar. Ia teringat surat Firman 5 hari lalu. Firman akan pergi untuk beberapa saat. Namun sekarang ia pergi untuk selama-lamanya.

Umam merasa getaran hebat menguncang tubuhnya. Detak jantungnya semakin tak terkendali. Tubuhnya hoyong ke tanah.

(Lingke, 6 Oktober 2009)

Tidak ada komentar: