Kamis, 03 Desember 2009

Museum Aceh dan Komunikasi Budaya


Oleh: Yuhdi Fahrimal*

Berbicara mengenai museum, berarti kita sudah memasuki koridor sebuah perjalanan sejarah. Kita ketahui atau mungkin beberapa belum mengetahui isi dari sebuah museum. Disini saya menuliskan pandangan saya pribadi terhadap apa yang terdapat di dalam sebuah museum. Biasanya di dalam museum disimpan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu atau penemuan-penemuan yang berkaitan dengan sejarah.

Di Indonesia saja sangat banyak museum yang menyimpan bukti-bukti sejarah bangsa Indonesia. Semua tertata rapi agar generasi masa depan dapat melihat dan mengenal atau bahkan mengenang peristiwa sejarah yang dialami oleh negara dan bangsanya. Di Aceh terdapat sebuah museum yang menyimpan benda-benda peninggalan sejarah Aceh. Meskipun tidak semua benda-benda peninggalan sejarah Aceh tidak semua terdapat disini, karena banyak benda-benda peninggalan sejarah Aceh yang dibawa oleh bangsa Belanda ketika mereka “eksodus” ke negaranya, dan menyimpannya di museum yang ada di negaranya.


Demikian juga halnya dengan Museum Aceh. Bangunan yang terletak di pusat kota Banda Aceh, berdekatan dengan Meuligo Gubernur Aceh, di pinggir Krueng Daroy ini menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah kerajaan dan perang di Aceh. Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Kaisar Cina. Meriam-meriam yang digunakan selama perang berkecamuk. Rumoh Aceh lengakap dengan peralatan adat Aceh di dalamnya. Foto-foto raja dan pahlawan asal Aceh. Senjata-senjata tradisional Aceh, dan lain sebagainya.


Semua alat ini bukanlah dengan sengaja hadir di museum ini. Ada sebuah garis sejarah yang harus dirunut agar kita tahu bagaimana benda-benda bersejarah ini bisa ada. Ada sebuah alur sejarah yang harus dipelajari agar kita tahu bagaimana bentuk kebudayaan Aceh dulu.


Aceh merupakan daerah yang memiliki kearifan lokal. Tidak hanya itu kebudayaan yang ada di Aceh juga berbeda dengan daerha lainnya di Indonesia. Watak yang dimiliki masyarakatnya jauh berbeda dengan masyarakat daerah lainnya. Semangat juang yang dimiliki oleh rakyatnya sangat berbeda dengan rakyat daerah lainnya. Keberanian dan ketangguhan rakyat Aceh dalam berperang khususnya untuk mempertahankan kedaulatan bangsanya tidak dapat dipungkiri, bahkan kolonial Belanda mengakui ketangguhan ini. Ada beberapa kutipan dari penulis Belanda yang menggambarkan tentang watak orang Aceh. Seperti yang dikatakan oleh A. Doup dalam Gedenkboek van het korps marechaussee 1890-1940, KoetaRadja, p. 248:


”Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakannya selama ’Perang Aceh’ menimbulkan rasa hormat di pihak Marsose serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanannya dan daya tahanny yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya ketika menciptakan dan melaksanakan siasat yang sejati, sementara itu daya pengamatannya sangat tajam. Mereka mengamat-amati setiap gerak gerik pemimpin brigade dan tahu benar tang mana melakukan patroli dengan ceroboh atau yang mana pula yang siap siaga dan terjun teratur”. (Tgk. A.K. Jakobi. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949. hal. xxxvi).


Terlihat jelas bahwa bagaimana karakter orang Aceh yang bersedia mati-matian untuk membela harga diri dan bangsanya dari penjajah. Semangat yang terdapat dalam diri orang Aceh tidak terlepas dari filosofi hidup yang diyakininya, yaitu Hikayat Prang Sabi. Satu kalimat pembangkit semangat yang tertera dalam hikayat ini; ”Hudep saree, matee syahid”. Rakyat Aceh lebih mau memilih mati dari pada harus hidup dibawah pendudukan penjajah yang selalu menyengsarakan rakyat dan memonopoli perdagangan. Karena ketangguhan dan keberanian dengan filosofi Hikayat Prang Sabi inilah yang menyebabkan Aceh tidak pernah berhasil dikuasai secara penuh oleh Belanda.


Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Aceh yang sangat terkenal adalah penerapan Syari’at Islam, dan Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan hukum Islam ini. Jika kita lihat sejarahnya. Penerapan Syari’at Islam ini bahkan telah jauh ada ketika kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya. Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia dan merupakan kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara. Bukti bahwa penerapan Syari’at Islam secara kaffah di kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika Sultan Iskandar Muda menghukum anaknya Meurah Pupok yang ketahuan berzina dengan memancung kepala putra mahkota satu-satunya.


Lantas, apa hubungannya dengan komunikasi?. Inti dari suatu komunikasi adalah terjadinya kesepahaman antara komunikator dan komunikannya. Komunikator disini adalah rakyat Aceh pada masa kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya atau rakyat Aceh yang bertempur melawan Belanda, sedangkan komunikannya adalah masyarakat Aceh saat ini dan masa depan. Semua catatan sejarah dan benda-benda peninggalan sejarah merupakan media untuk mengkomunikasikan suatu kebudayaan dan sejarah. Substansi pesan yang disampaikan adalah adanya transfer kearifan dan bentuk-bentuk kebudayaan yang hingga saat ini masih terjaga dan berkembang dengan utuh. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat Aceh dahulu mewariskan sesuatu kepada masyarakat Aceh saat ini. Museum Aceh hanya merupakan media atau sarana untuk menyampaikan pesan dari masyarakat Aceh terdahulu. Selanjutnya masyarakat Aceh saat ini yang akan menginterpretatif pesan tersebut dan akan meneruskannya kepada gernerasi setelahnya.

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisip, Unsyiah dan Pimpinan Umum Lembaga Publisistik Komunikasi, Fisip, Unsyiah.


Tidak ada komentar: