Jumat, 14 Januari 2011

Long Life Education



Sekilas menapaki jalanan Kota Banda Aceh malam ini sama seperti malam-malam biasanya. Hanya saja mala mini jalan agak sedikit ramai, barangkali karena tidak kurang dari 24 jam lagi tahun akan berganti. Entahlah, semua orang bisa saja punya kesibukan dan urusan masing-masing.

Saya menuju ke sebuah warung kopi (warkop). Seperti biasa mengendarai motor yang tadi siang harus masuk bengkel gara-gara putus gear-nya. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, begitu mungkin gambaran nasib apes saya tadi siang. Di akhir bulan seperti ini bagi anak kos mengeluarkan uang sejumlah Rp200.000 sangat “menyakitkan”. Tapi apa daya, demi tunggangan uang sejumlah itu bukan jadi masalah. He-he-he-he.

Waktu baru menunjukkan pukul 20.08 WIB. Saya akhirnya sampai di parikiran warung kopi yang terletak di perlimaan kota. Saya sebut perlimaan karena memang ada lima simpang yang bisa ditempuh dari berbagai penjuru dengan sebuah tugu berdiri kokoh di tengahnya.

Semula pemandangan di dalam warkop biasa-biasa saja. Ya, seperti lumrahnya setiap warkop di Banda Aceh pasti ramai orang yang duduk apalagi ditambah fasilitas wifi yang belakangan jadi trend di warkop. Orang-orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam duduk menghadap computer jinjing mereka yang sudah terkoneksi dengan internet. Hanya memesan segelas air minum plus kue-kue sebagai cemilan, terserah berapa lama anda mau duduk. (itupun kalau anda tidak tahu malau). He-he-he-he.

Sampai pada suatu ketika mata saya menangkap pemandangan ganjil – minimal untuk diri saya sendiri. Kalau anda terserah mau memaknai hal ini ganjil atau tidak. Keganjilan itu adalah seorang kakek yang separuh badannya lumpuh, mungkin karena stroke. Berjalan pun dibantu oleh kruk, memakai jaket biru tua dengan peci haji yang miring dudukannya. Di depannya tergeletak selembar koran. Ia buka perlahan. Kata demi kata ia baca. Matanya mengikuti alur tulisan koran. Melihat hal ini saya menjadi geli sendiri. Tak kuasa menahan kegelian ini, saya mengeluarkan kamera dan menjepret beberapa frame foto secara diam-diam (kakek maafkan saya).

Saya teringat hadis Nabi Muhammad SAW. Kalau saya tidak keliru begini bunyinya:
“Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat”
Apa yang disampaikan oleh hadis ini seolah sama seperti yang dilakukan oleh kakek tua itu. Belajar memang tidak pernah ada batasnya (long life education). Segala yang ada di ujung langit dan di dalamnya bumi disuruh pelajari. Cari dan terus cari, hingga kita mengetahui. Hakikat belajar adalah menciptakan hamba yang taqwa kepada Tuhannya.

Pemerintah kita sudah lama menggiatkan berbagai program guna meningkatkan pendidikan di Indonesia. Ada yang namanya Indonesia Cerdas, Wajib Belajar 9 Tahun, dan lain sebagainya. Dengan slogan-slogan kampanye yang bombastis, pemerintah mencoba mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama membuat Indonesia cerdas. Mendidik anak-anak sebagai generasi penerus bangsa agar giat belajar. Untuk mendukung semua program pendidikan ini, pemerintah tak lupa menganggarkan dana. Karena keterbatasan pengetahuan saya, kalau tidak salah hanya sekitar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperuntukkan bagi pendidikan. Terserah anda mau menilai alokasi anggaran ini cukup atau tidak. Memang semua terserah anda. Saya tidak berhak mengintervensi anda untuk berpendapat karena negara kita kan negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.

Jadi, malam ini pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan berhenti untuk belajar. Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina.
Selamat belajar.

Yuhdi Fahrimal Hazmi
31 Desember 2010

1 komentar:

putri pratiwi mengatakan...

suka sama yg ini,,

yg lain bhas tntg pmerintah terus..
ini bru kren..
:))