Selasa, 25 Januari 2011

Media dan Pak SBY

“Saya lebih memilih media tanpa negara daripada negara tanpa media”, Napoleon Bonaparte)

Belakangan ini masyarakat santer membicarakan “curhat” presiden tentang gajinya. Berbagai media massa secara intensif memberitakannya pula. Agaknya apa yang disampaikan oleh Presiden SBY dalam sambutannya pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri beberapa waktu yang lalu adalah keluh kesah presiden tentang gajinya yang “kecil”. Berita ini headline di sejumlah media. Tidak hanya media arus utama (mainstream), media online juga ikut-ikutan mengambil angle liputan masing-masing, yang penting berita hot issue. Bayangkan saja apa tidak “gila” seorang presiden curhat mengenai gajinya yang rendah, meskipun jumlah gaji presiden adalah Rp6o juta lebih dengan tunjangan senilai Rp2 milyar. Wah, angka yang fantastis untuk ukuran mahasiswa seperti saya. He-he-he.

Lupakan sejenak angka-angka itu. Terlalu panjang perkalian matematikanya jika harus bicara mengenai angka-angka “gila” itu. Biarkan saja ini menjadi urusan Menteri Keuangan dan Badan Urusan Rumah Tangga Kepresidenan. Toh, itu memang sudah menjadi tugas mereka. Kalau tidak, sia-sia mereka digaji dengan uang rakyat. He-he-he.

Mari kita kembali pada masalah Media dan Presiden. Oleh berbagai pakar politik dan komunikasi, Presiden SBY dikenal suka dengan politik pencitraan. Salah satu komunikator dalam komunikasi politik adalah aktor politik. Nah, siapa aktor politik itu? Termasuk di dalamnya adalah presiden, anggota DPR, bupati, pejabat, dan lain sebagainya. Aktor politik ini menggunakan media massa sebagai partner guna mencitrakan diri mereka sebagai yang terbaik. Imbalannya, media mendapatkan berita setiap hari tanpa harus pusing-pusing membuat rapat redaksi, meskipun rapat redaksi tetap penting dalam manajemen media massa. Selain itu, media juga akan kebanjiran iklan kalau medianya dekat dengan pemerintah. Artinya ada simbiosis mutualisme, media dan aktor politik saling menerapkan azas manfaat.

Demikian pula halnya dengan Pak SBY. Beliau adalah presiden yang juga berarti sebagai aktor politik. Artinya beliau adalah “sasaran empuk” bagi media massa, baik sasaran untuk mengungkit kegagalan atau sasaran untuk mencitrakan kesuksesannya. Kebetulan kali ini Pak SBY menjadi sasaran kontroversi ala media. Sebenarnya bukan hanya kali ini saja Pak SBY menjadi sasaran media, hampir setiap tindakan dan perkataan Pak SBY seakan menjadi celah bagi media untuk diangkat ke permukaan. Masyarakat pun dibuat terprovokasi olehnya.

Bagi mahasiswa yang fakir ilmu seperti saya, setidaknya ada analisis yang dapat saya ajukan kepada pembaca yang budiman. Ini hanya analisis kecil-kecilan. Terbuka ruang untuk tidak setuju dengan pendapat saya ini. Toh, negara kita menganut paham demokrasi yang salah satu kriteria bagi sebuah negara demokrasi adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat. Lets we play.

Dari semua berita yang dimuat di media massa baik cetak maupun elektronik mengenai pernyataan Pak SBY di depan para Permira Tinggi (Pati) TNI/Polri, saya menganggap itu hanya akal-akalan media saja. Tidak ada pernyataan secara eksplisit maupun implisit yang dilontarkan oleh Pak SBY mengenai permintaannya agar gajinya dinaikkan. Tidak pernah sama sekali. Hatta Rajasa, Menteri Sekretari Negara pun membantah bahwa Presiden SBY tidak pernah meminta gajinya dinaikkan. Pak SBY hanya mengatakan bahwa selama 7 tahun menjabat sebagai presiden gajinya tidak pernah naik. Pak SBY mungkin ingin mengingatkan para Pati itu untuk tidak meminta kenaikan gaji sementara tugas dan tanggung jawab belum dilaksanakan dengan benar. Hanya itu saja.

Yang saya tahu, Pak SBY itu adalah orang yang perfectionist. Bahkan kalau tampil di depan media massa, di depan puluhan sorot kamera. Sangking perfectionist-nya, Pak SBY selalu hati-hati dalam menyusun kalimatnya. Jangan sampai ada kontroversi dari tiap kalimat yang diutarakannya, apa lagi menyinggung hati orang lain termasuk rakyatnya. Dalam bukunya, Dr. Dino Patti Djalal, salah seorang staf khusus kepresidenan yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat yang berjudul Harus Bisa, Seni Memimpin Ala SBY, menuliskan, Pak SBY itu orangnya sangat teliti bahkan untuk pidatonya sekalipun. Pak SBY selalu mengecek ulang naskah pidato yang sudah disiapkan sebelumnya. Hal ini tak khayal membuat Pak Dino harus bolak balik untuk mengajukan draft pidato kepada presidenan. Tiap ada koreksi dari presiden, Pak Dino harus memerbaikinya. Pak Dino juga mencatat bahwa suatu ketika Pak SBY pernah mengoreksi tulisan pidatonya lima menit sebelum tampil di mimbar kehormatan itupun dengan meminjam bahu ajudannya. Bukan hanya Pak Dino, Prof. Dr. Tjipta Lesmana, dalam bukunya Dari Soekarno Sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa (2009), juga menuliskan bahwa sebagai seorang sosok yang perfectionist, SBY selalu berbicara hati-hati. Bahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah diartikulasikan secara cermat. Bahasanya jelas dan sangat konseptual sekali.

Berpijak kepada apa yang disampaikan oleh Dr. Dino dan Prof. Lesmana tersebut, tanpa ada maksud memihak, dapat disimpulkan bahwa Pak SBY adalah sosok yang sangat peduli pada apa yang akan diucapkannya. Dengan demikian, apa yang disampaikan SBY dalam Rapim TNI/Polri itu sudah dipikirkan masak-masak. SBY sudah berupaya untuk tidak melahirkan sebuah kontroversi dalam tiap ucapannya. Namun, media agaknya menghendaki lain. Tuturan singkat dari bibir Pak SBY itu diartikulasikan sebagai curhat presiden terhadap gajinya yang “kecil”. Parahnya, masyarakat ikut-ikutan terpengaruh dengan berita ini.

Media memang “super”. Maka tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa “siapa yang menguasai media berarti menguasai dunia”. Media dapat membuat pahlawan menjadi pecundang, sedang pecundang bisa menjadi pahlawan. Media bisa membuat konflik menjadi perdamaian, sedang media juga bisa memicu munculnya konflik baru. Selama ini paradigma media massa tidak hanya di Indonesia masih cenderung konservatif (kolot). Awak media masih memegang jargon bad news is good news (berita buruk adalah berita yang baik). Artinya semakin “murahannya” berita itu, maka semakin bagus untuk terus diekspos. Semakin ada kontroversi dalam berita itu, maka semakin bagus untuk dibesar-besarkan.

Apesnya Pak SBY adalah karena media di Indonesia sudah sangat bebas. Pascareformasi keran kebebasan memang terbuka lebar. Tidak ada lagi Surat Ijin Penerbitan Pers (SIUPP) yang sangat terkenal pada masa Orde Baru. Ini membuat media banyak bermunculan. Siapa pun dapat mendirikan media baru asalkan punya uang. Silakan anda hitung sendiri berapa jumlah media yang muncul pascareformasi Indonesia. Kondisi ini sebenarnya menjadi bukti bahwa Indonesia sudah menerapkan demokrasi. Namun demokrasi yang diterapkan agaknya sudah kebablasan. Kebebasan disalurkan tidak pada tempatnya. Sehingga tidak jarang kita lihat unjuk rasa yang berakhir anarkis dan media massa yang berselera rendah.

Awak media selalu tidak mau disalahkan. Mereka selalu mengatakan bahwa media hanya mereduksi apa yang terjadi di masyarakat. Dalam komunikasi massa memang dikenal istilah Mirror Theory, dimana isi media dianggap sebagai cerminan apa yang terjadi dalam masyarakat. Media menjalankan liputan terhadap keseharian masyarakat. Media memang berfungsi sebagai pembawa informasi dan kontrol sosial. Namun bukan berarti media massa selalu menyodorkan berita-berita “sampah” kepada masyarakat. Media juga tidak bisa menafsirkan seenaknya sendiri terhadap apa yang disampaikan oleh aktor politik. Alih-alih sebagai kontrol sosial, media tidak harus menceritakan dan selalu mengungkit kejelekan atau kegagalan pemerintah.

Untuk berita mengenai “curhat” Pak SBY ini, media lagi-lagi berhasil menciptakan opini publik. Opini masyarakat digiring kepada suatu kesimpulan tertentu. Alih-alih media menyajikan pemberitaan yang berimbang (cover both side), di balik itu semua sebenarnya media berupaya menggiring masyarakat kepada apa yang dikehendaki media. Ibarat sebuah film, pemberitaan juga sudah diskenariokan terlebih dahulu. Hanya saja skenarionya merupakan sebuah realitas dalam masyarakat.

Untungnya Pak SBY “tidak menggubris” apa yang disampaikan media. Agaknya, Pak SBY tidak mau mencoreng citranya hanya untuk meladeni berita yang tidak penting ini. Maka orang-orang lingkaran dalam Pak SBY-lah yang melakukan klarifikasi ini semua. Anda tahu kan bagaimana Mensesneg, Hatta Rajasa dan Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menglarifikasi semua pemberitaan “curhat” presiden.
Pak SBY selalu “menyayangi” media walaupun keburukannya selalu diungkit. Mungkin Pak SBY tahu media adalah teman, atau mungkin Pak SBY tahu bahwa media punya kekuatan yang besar sebagai sarana untuk mencitrakan dirinya. Mungkin juga Pak SBY takut kalau-kalau media akan bertindak lebih buruk lagi jika beliau melawannya. He-he-he. Silakan anda interpretasikan sendiri mengapa Pak SBY tidak mau membalas apa yang dilakukan media terhadapnya.

Pak SBY dan media memang dua hal yang beda tapi sulit dipisahkan. Sebagai seorang pemimpin Pak SBY memerlukan media sebagai “corong” dalam mengabarkan kepada rakyat mengenai suatu kebijakan yang dibuatnya. Sementara media memerlukan Pak SBY sebagai sumber berita guna menaikkan oplah medianya. Kembali kepada pernyataan di awal tadi, sismbiosis mutualisme memang sedang terjadi. Meski terkadang media cenderung agak “nakal”, namun bukan berarti media harus diberangus atau ditekan. Meski pun Pak SBY adalah aktor politik, bukan berarti media selalu terus berupaya mengungkit yang “buruk” guna diberitakan kepada masyarakat. masyarakat juga harus peka terhadap apa yang sedang terjadi sebenarnya. Saya percaya masyarakat sudah tidak bodoh lagi. Tapi jangan biarkan kita dibodoh-bodohi oleh berita dan isu murahan.
Oh iya, sebagai penutup tulisan ini, saya teringat pada wasiat seorang pemimpin dan saya akan bagikan kepada anda semua, pembaca yang budiman. Gratis, tidak perlu bayar. He-he-he.

“Saya lebih takut kepada satu media massa daripada ribuan tentara musuh”.
Selamat menjadi masyarakat yang cerdas. Salam demokrasi. He-he-he. (yfh)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hmm... Spakat begete dg opini Yudi..
I just tninking klo media kita udah ga sehat, ga fair dan cenderung 'lebay'...

Anonim mengatakan...

hehehe..
semua tergantung kepada kita menyikapinya...